Semua Bab BUKAN KISAH SEMPURNA: Bab 41 - Bab 50
54 Bab
41. SAMA-SAMA TERPURUK
"Pak!" teguran itu menyentak fokus Alvin yang sejak tadi tengah melamun. Bahkan Tari yang sejak tadi ada di hadapannya terus laki-laki itu abaikan. "Maaf, tapi ini berkasnya harus segera ditanda tangani," ujar wanita itu dengan ringisan sungkan. Bukan sekali dua kali ini Alvin tampak kehilangan fokus. Dan Tari sadar semua itu terjadi semenjak berita perceraian bosnya ini tersebar di kantor. Padahal, wanita itu sudah memiliki harapan besar pada hubungan laki-laki ini dengan Adinda. Keduanya terlihat begitu cocok dan sayang sekali saat harus dipisahkan dengan perceraian. "Sebentar saya periksa," ujar laki-laki itu dengan sorot layu. Tidak datar, tetapi juga seperti kehilangan semangat hidup. Terlihat jelas jika Alvin sangat kehilangan Adinda. Bagaimana kabarnya wanita itu sekarang, Tari sungguh penasaran. "Setelah ini saya ada jadwal mendesak, Tar?" Alvin menyorongkan berkas yang sudah ia periksa dan tanda tangani.
Baca selengkapnya
42. MEMBUKA MATA
"Saya Ibu Alvin, kamu pasti sudah tidak asing dengan nama itu." Alvaro sempat terlihat terkejut dengan kalimat pemberitahuan itu. Namun, secepatnya laki-laki itu bisa menguasai perasaannya yang mendadak resah. Sepertinya ia sudah bisa menebak apa tujuan wanita ini menemuinya. Tentu saja pastinya berhubungan dengan Adinda. Maka, meski perasaannya terasa tidak keruan, laki-laki itu tetap tersenyum ramah. "Ada yang bisa saya bantu, Tante?" Senyum ramah berusaha untuk Alvaro munculkan meski sungguh hatinya tidak baik-baik saja. Keberadaan wanita ini sama saja mengorek luka yang sempat muncul saat dirnya mengetahui fakta jika Adinda pernah menikah. "Kamu pasti sudah bisa menebak, apa tujuan saya datang ke tempat ini," ujar Marlina sabar, mata wanita itu terus mengamati wajah laki-laki muda di depannya. Dalam hati ia mengakui jika laki-laki dengan mata sipit ini adalah anak yang baik. Mungkin Adinda bisa hidup bahagia dengan l
Baca selengkapnya
43. KEPUTUSAN YANG TEPAT
"Varo?" Adinda terkejut saat melihat sosok Alvaro berdiri di depan pintu rumahnya pukul sepuluh malam. Ia baru saja ingin memejamkan mata saat terdengar pintu rumahnya diketuk pelan. Adinda pikir ia sedang bermimpi, tetapi ternyata malah laki-laki ini yang sedang berdiri di sana. "Kamu udah mau tidur?" Alvaro memindai penampilan Adinda yang sudah mengenakan setelah piyama bergambar bunga. "Iya, kamu ada perlu apa?" Adinda mengamati wajah Alvaro yang entah mengapa tampak keruh. Seperti tengah menahan beban yang begitu berat. "Mau ngabisin malam ini sama aku?" Pertanyaan ambigu yang membuat Adinda bingung dan juga waswas. Melihat jika Adinda mungkin  saja salah paham dengan kalimatnya, Alvaro tertawa lirih. Diraihnya tangan wanita itu dan meremasnya lembut. "Jangan mikir yang aneh-aneh, aku cuman mau ngajak kamu muter." Alvaro mengamati wajah Adinda yang tampak kebingungan. "A
Baca selengkapnya
44. RENCANA MARLINA
"Saya sudah melepas Adinda." Tidak perlu bertanya siapa orang di balik nomor asing yang menghubunginya kini, Marlina sudah bisa menebaknya. Satu senyum muncul di bibir wanita itu, akhirnya kesempatan untuk mempersatukan Adinda dengan anak laki-lakinya memiliki celah. "Terima kasih Nak Alvaro, ternyata kamu memang orang baik." Terdengar desahan kecil dari seberang. Hal yang menandakan jika ini bukanlah perkara mudah. Melepaskan Adinda untuk bahagia dengan laki-laki lain tentu saja memerlukan perjuangan hati yang begitu berat. "Saya melakukan ini bukan untuk anak Tante. Saya rela melepas Adinda karena saya tahu dia tidak akan pernah bahagia jika hidup dengan saya. Tapi …." Alvaro seperti dengan sengaja menggantung kalimatnya. Merlina yang bisa menebak kalimat seperti apa yang akan terucap oleh laki-laki muda itu lantas berkata, "Saya mengerti, saya tidak akan menyia-nyiakan
Baca selengkapnya
45. KEMBALI BERJUANG
Terjadi canggung yang cukup mengganggu. Masing-masing dari kedua orang dewasa yang kini duduk berhadapan itu bingung harus membahas apa. Sejak tadi keduanya hanya diam, saling melempar senyuman aneh lalu kembali hening. "Ibu sakit apa, Mas?" Pertanyaan itu akhirnya muncul setelah hening yang merajai mulai terasa aneh. Lagi pula, pertanyaan ini seharusnya muncul sejak tadi. Bukannya menjawab, Alvin malah terlihat bingung. "Sakit?" Adinda mengangguk pelan, lalu berkata, "Tadi siang Ibu kirim pesan ke saya kalau beliau sakit." Awalnya Alvin mengerutkan kening, tetapi senyum itu muncul saat tahu jika ibunya tengah memainkan sebuah rencana. "Kamu ketipu kayaknya," ujar laki-laki itu. Adinda tentu saja bingung mendengar kalimat yang Alvin ucapkan. "Maksudnya?" "Setahu saya ibu sehat sejak tadi. Dan sampai beberapa jam yang lalu saya telpon, beliau juga masih sehat,
Baca selengkapnya
46. MEMULAI DENGAN CARA YANG BENAR
Adinda bisa merasakan sesuatu yang baik baru saja terjadi pada dirinya. Jika kemarin ada rasa tidak nyaman setiap kali ia bangun dari tidurnya yang tidak pernah terasa lelap. Maka kali ini rasanya sangat berbeda. Entah malam tadi ia bermimpi atau tidak. Namun, dirinya seperti merasakan kehadiran Alvin di kamar Marlina. Laki-laki itu seperti mengucapkan banyak kalimat menenangkan, dan mengecup keningnya sebelum pergi. Adinda tidak tahu itu mimpi atau bukan. Dan misalkan semua itu mimpi, sungguh itu mimpi paling nyata yang pernah ia rasakan. Maka saat dirinya keluar kamar, dan bertepatan dengan sosok Alvin yang juga baru keluar dari kamar sebelah, Adinda tidak bisa untuk tidak gugup. Namun, hal berbeda ditunjukkan oleh Alvin. Laki-laki itu tampak santai dengan senyum yang terus mengembang di bibir. Meski malam ini tidak bisa tidur dengan lelap karena terus memikirkan wanita yang sedang dihampirinya itu, tetapi Alvin merasakan jika perasaannya semakin membaik.
Baca selengkapnya
47. KOMITMEN
Senyum terus terpatri di wajah wanita itu sejak beberapa hari ini. Adinda lupa kapan tepatnya terakhir kali ia merasakan kebahagiaan seperti ini dalam hatinya. Terkadang rasa takut itu muncul. Wanita itu takut jika semua rasa menyenangkan ini hanyalah sesuatu yang semu, atau malah yang sebenarnya terjadi ini adalah mimpi. Namun, kemunculan Alvin yang setia menjemput dan mengantarkannya ke tempat kerja membuat keyakinan Adinda muncul. Ini bukan mimpi, Alvin memang tengah menjanjikan sebuah kebahagiaan untuk masa depan yang sudah ia impikan sejak lama. 'Kabahagiaan itu memang nggak abadi, adakalanya kita merasa sakit. Mungkin Tuhan hanya sedang menunjukkan bahwa Dia punya kuasa untuk membolak-balikkan kehidupan manusia pada titik mana pun. Lagi pula, bukankah kita akan mengenal rasa bahagia setelah kita merasakan sebuah sakit karena penderitaan?' Entah di mana Adinda pernah mendengar kalimat seperti itu. Rasa sakit ada untuk kita lebih belajar
Baca selengkapnya
48. CUKUP DIAM DAN MENUNGGU
"Wah, Dinda keren, ya, yang jemput mobilnya ganti-ganti terus," bisik salah satu rekan kerja Adinda. Tidak benar-benar berbisik sebenarnya. Terbukti dari jarak Adinda yang cukup jauh masih bisa mendengar obrolan tersebut. Bahkan salah satunya menghampiri Adinda yang sudah siap untuk melangkah ke luar karena Alvin memang sudah menunggunya. Dan lagi ini memang sudah waktunya pulang. "Yang jemput orangnya sama nggak, Din?" Nada kepo terdengar jelas dari bibir wanita yang kini berdiri di samping Adinda. Adinda hanya tersenyum, enggan menjawab karena tahu apa tujuan orang-orang ini mengurusi hidupnya. "Saya duluan, ya. Kalian hati-hati," ujarnya sembari meneruskan langkah, mencoba mengabaikan cibiran tidak menyenangkan yang terdengar dari belakangnya. "Capek?" Sambutan lembut dengan senyuman menenangkan ini sudah menjadi rutinitas yang Adinda dapat. Alvin memang selalu menyempatkan waktu untuk menjemputny
Baca selengkapnya
49. TAKDIR YANG UNIK
Adinda mengernyitkan dahi saat terdengar suara mobil yang tidak lagi asing berhenti di depan rumahnya. Mungkin  akan menjadi hal yang biasa jika mobil itu datang di jam biasa dirinya berangkat bekerja. Namun, kali ini jam masih menunjukkan pukul lima pagi dan wanita itu baru saja melipat mukenanya demi menjalankan salat subuh. Wanita yang masih mengenakan piyama bermotif bunga itu pun segera ke luar. Membuka pintu tepat sebelum sosok Alvin mengetuk pintu rumahnya. Kini, laki-laki itu sudah berdiri di sana sembari menunjukkan senyum menawan yang akhir-akhir ini mulai menjadi mimpi indah bagi seorang Adinda. "Mas Alvin ngapain?" tanya Adinda masih dengan wajah bingung. Bukannya langsung menjawab, laki-laki di depannya malah melihat ke jam yang melingkar di tangan, sebelum kembali menatap dirinya. "Kamu punya waktu sepuluh menit untuk bersiap." Alvin mengatakan itu tanpa beban, seolah Adinda tidak akan dibuat bingung.
Baca selengkapnya
50. PERDEBATAN
Rasanya masih tidak percaya dengan apa yang terjadi pada hidupnya kini. Bahkan, Adinda masih sering merasa takut jika kebahagiaan yang kini dirinya rasakan hanyalah sebuah mimpi. Namun, perdebatan yang kini tengah terjadi di sampingnya seolah menyentaknya pada kenyataan hidup, di mana roda tengah berputar di atas. Bukan tentang ekonomi, tetapi roda kebahagiaan yang ia rasakan kali ini porsinya melebihi dari sekadar jumlah uang dengan nilai tinggi. "Bu, Alvin sama Adinda sudah membahas ini sebelumnya, dan kami sepakat untuk menggelar pesta sederhana." Adinda yang mendengar penjelasan Alvin hanya bisa meringis bingung karena sedikit lagi akan ada yang mendebat. "Nggak bisa gitu, Vin. Kita juga harus memberi kenangan buat Adinda. Meski ini bukan pernikahan pertama, tapi Adinda juga pasti ingin mengalami sesuatu yang berkesan." Marlina masih kekeh dengan pendapatnya yang dirasa benar. Adinda yang ingin m
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status