All Chapters of BUKAN KISAH SEMPURNA: Chapter 31 - Chapter 40
54 Chapters
31. Adinda menyerah
Kehidupan yang Adinda jalani tentu saja tidak terasa baik. Beberapa kali ia memergoki Alvaro yang tampak menahan sakit. Namun, setiap kali ditanya, laki-laki itu pasti akan menjawab jika semuanya baik-baik saja. Obat dari rumah sakit pun habis, dan Adinda tidak lagi memiliki tabungan untuk menebus resep baru. Uang yang ia miliki sekarang hanya bisa ia pakai untuk membeli bahan makanan yang tentu saja seadanya. Adinda sudah berkali-kali keluar untuk mencari pekerjaan baru, tetapi belum ada panggilan untuk interview. “Sayang ….” Panggilan itu Adinda dapat saat dirinya tengah berkutat di dapur untuk memasak. Ia pun menoleh dan mendapati wajah Alvaro begitu pucat. “Va, muka kamu?” Wanita itu pun menyudahi kegiatannya untuk mendekati Alvaro yang kini duduk di meja dapur. Meski menunjukkan senyuman, tetapi Adinda tahu laki-laki ini tengah menahan rasa sakit. “Aku nggak
Read more
32. SURAT CERAI
Adinda meraba dadanya yang terasa sesak. Sudah dua hari semenjak kepergian Alvaro dari rumahnya, tetapi pemikiran tentang laki-laki itu belum sepenuhnya hilang. Wanita itu benar-benar khawatir dengan kondisi Alvaro saat ini. Ia takut terjadi sesuatu yang mungkin saja—tidak, Adinda menggelengkan kepalanya demi menghilangkan pemikiran buruk yang masih saja terus hadir. Jika memang terjadi sesuatu yang buruk pada laki-laki—masih bolehkah ia sebut kekasih? Rasanya tidak. Semenjak ia memutuskan untuk mengkhianati Alvaro dengan menikahi Alvin, rasanya ia tidak lagi pantas menyandang gelar itu. Meski alasan di balik semua pengkhianatan itu adalah demi Alvaro sendiri. Wanita dengan lesung pipi sebelah kanan itu menghela napas, mencoba untuk terus berpikir positif. Jika memang terjadi sesuatu pada Alvaro, pasti kedua orang tua laki-laki itu akan menemuinya, menyalahkannya, seperti yang selalu ia dapatkan selama ini. Dengan tidak munculnya sosok yang berhubung
Read more
33. BENAR-BENAR BERAKHIR
Hari-hari berat yang Adinda lalui nyatanya tidak juga berakhir. Ia pikir, setelah segala kesulitan yang pernah dirinya alami, ia bisa melewati kesulitan yang kini ia hadapi dengan lebih tegar. Namun, ia lupa jika dirinya ini hanyalah manusia biasa yang memiliki rasa lelah. Adinda benar-benar berada pada titik lelah saat ini. Andaikan saja yang terjadi saat ini serupa permainan, dirinya sudah melambaikan tangan untuk mengisyaratkan berhenti saat ini juga. Mengikuti proses persidangan bukan hal yang mudah karena dengan itu ia harus terus bertemu dengan Alvin. Setiap kali menjejakkan kaki ke dalam lokasi ini dirinya seperti dipaksa untuk berlari kiloan meter. Ia dan Alvin sepakat untuk mengikuti proses persidangan dengan tertib dan sesuai prosedur agar semuanya berjalan cepat. Entah mengapa Adinda merasa Alvin seperti ingin cepat-cepat menyudahi pernikahan mereka. Padahal adakalanya wanita itu menginginkan Alvin menatap matanya, bertanya apakah
Read more
34. KEBAHAGIAAN ADINDA
Adinda tersenyum miris pada kisah hidupnya yang tak ubahnya seperti cerita sinetron. Orang tua meninggal, terlilit hutang, dihina oleh orang tua kekasih, lalu harus melakukan pengorbanan demi kesembuhan orang yang sangat mencintainya. Dan sekarang, ia harus menyandang status janda di usianya yang baru menginjak 25 tahun. Adinda terkadang berpikir, apakah akan ada hal buruk lain yang menimpanya? Jika iya, mampukah ia bertahan untuk hidup atau pun sekadar untuk berdiri tegak? Sekarang saja kehidupan yang ia jalani terasa hampa. Adinda seperti tidak memiliki tujuan hidup selain bekerja dan membayar utang yang masih tersisa. Entah mengapa utang yang ia bayar ke omnya seperti tidak ada habisnya. Apakah laki-laki yang berstatus adik ayahnya itu menipunya? Sayangnya, Adinda tidak memiliki kuasa untuk menuntut atau pun sekadar mendebat. Adik ayahnya itu terkenal sebagai rentenir yang ditakuti. Dan tidak segan-segan berbuat kasar jika orang-orang tid
Read more
35. TERUNGKAPNYA KEBENARAN
"Kamu sudah bangun?" Pertanyaan itu muncul bersama dengan pintu kamar yang terbuka. Di mana di ruangan yang didominasi warna abu dan cokelat itu kini tengah duduk seorang laki-laki dengan cat rambut yang mulai memudar. Keinginan untuk merapikan hal yang dulu sangat ia utamakan kini tidak lagi ada. Bahkan wajah yang biasanya ceria itu kini tampak suram. "Mami sudah potongkan buah, kamu makan, ya." Bahkan ucapan wanita yang telah melahirkan laki-laki itu pun tidak mendapat respon. Sudah seperti itu yang terjadi semenjak dua minggu belakangan ini. Atau lebih tepatnya semenjak laki-laki itu dijemput paksa untuk pulang ke rumah yang rasanya masih sama. Penuh kepalsuan dan begitu memuakkan. "Mami mau nyiapin bubur sama obat dulu." Tanpa memedulikan tanggapan dingin yang menguar dari diamnya Alvaro, Gisel tampak melenggang ke luar. Namun, kakinya terhenti di ambang pintu saat mengingat sesuatu. "Oh ya, nanti jangan lupa kamu ad
Read more
36. BEBAN BARU
Adinda tahu ini salah, tidak seharusnya ia memberi Alvaro harapan, di saat hatinya sendiri mulai gamang. Tidak lagi ada getar hebat setiap kali laki-laki itu ada di dekatnya. Tidak lagi ada jantung yang berdebar, setiap kali laki-laki itu memeluknya. Yang ada hanya seperti beban dalam hidupmya kian bertambah semenjak ia mengangguk sebagai jawaban tidak tersirat dari permohonan yang Alvaro minta. "Makasih, ya, Din. Aku akan berjuang lebih lagi kali ini." Alvaro tersenyum lebar, lalu segera memesan minuman kekinian di sebuah kedai yang cukup ramai. Sementara Adinda hanya mengerjabkan matanya. Dari tempat ia duduk untuk menunggu, ditatapnya punggung Alvaro dengan perasaan kosong. Adinda tidak mengerti kenapa ia selalu saja dengan sengaja menjatuhkan dirinya pada lubang masalah. Dan kali ini lagi-lagi lubang masalah yang menganga itu ada pada diri Alvaro. Seharusnya ia menolak permohonan itu, seharusnya ia bisa tegas mengatakan jika hubungan ini
Read more
37. ADINDA BERUBAH
Kosong, sepi, dan tidak memiliki tujuan hidup. Semua rasa itu membuatnya tidak lagi bersemangat dalam menjalani hari. Yang ia lakukan setiap harinya hanya kerja, kerja dan juga kerja. Untuk hal yang satu ini ia tidak boleh lengah karena mengancam kehidupan banyak orang. Juga kehidupan keluarganya yang tidak boleh ikut susah hanya karena dirinya yang terus bersedih dengan keadaan. Sesekali laki-laki itu akan mendatangi makam Sofia jika rindu itu terasa memberat. Entah rindu untuk siapa yang membebaninya kini. Namun, yang jelas semua itu membuat dada Alvin terasa sesak. "Kenapa yang aku cintai selalu pergi?" ujar laki-laki itu suatu hari di depan makam Sofia. "Apa aku nggak berhak merasakan bahagia dengan hidup bersama seseorang?" lanjutnya dengan wajah sendu. Memori saat bersama Sofia dan Adinda saling tumpang tindih membentuk sakit oleh hal yang Alvin sulit jabarkan. "Dulu kamu, sekarang dia." Laki-l
Read more
38. KEEGOISAN ALVARO
"Kamu pakai ini, ya." Alvaro meletakkan sebuah tas kertas berisi pakaian serta sepatu dan juga tas dengan merk mahal. Adinda tahu jika apa yang Alvaro berikan adalah brand mahal dari logo yang tertera di tas kertas tersebut. Ditatapnya Alvaro dengan pandangan yang membuat laki-laki itu bingung. "Kenapa?" tanya laki-laki berwajah oriental itu pada akhirnya karena bukannya mengucapkan sesuatu, Adinda malah hanya diam sembari menatap dirinya. "Kamu tahu aku nggak suka cara kayak gini," ujar wanita itu dengan sorot kecewa yang tidak lagi bisa disembunyikan. Dirinya tidak suka dibelikan barang-barang mahal yang tidak bisa ia beli dari uang penghasilannya sendiri. Adinda tidak mau tambah dituduh sebagai wanita yang suka memeras kekasihnya. Apalagi kondisinya sekarang, orang tua Alvaro sudah tidak lagi memiliki penilaian bagus tentangnya. Alvaro yang sebenarnya tahu hal ini akan terjadi tersenyum masam. "Se
Read more
39. SEMAKIN LELAH
"Lama-lama mencurigakan juga, ya." Adinda bukan tidak mendengar bisikan itu. Namun, wanita yang sedang mengolah ayam di dapur rumah makan tempat ia bekerja itu pura-pura tidak mendengar. Sejak tadi ia berusaha untuk menulikan telinganya agar apa yang sedang dibicarakan oleh teman satu pekerjaannya ini tidak mengusik fokusnya. "Tapi masak lagi mata-matain rumah makan ini, si. Orang pelanggannya juga belum rame." Obrolan dengan nada berbisik itu masih terdengar, dan Adinda belum berniat untuk ikut masuk ke dalamnya. Fokusnya saja sudah mulai goyah, jangan sampai ia melakukan kesalahan. "Tapi ada dugaan juga kalau itu mobil bos. Sengaja tiap hari parkir di situ buat mantau dari kejauhan." Adinda memejamkan mata, mencoba membuang bayangan mobil putih yang terus terparkir di seberang rumah makan di jam sama. Yaitu beberapa waktu sebelum rumah makan ini tutup. Adinda bukan tidak tahu siapa pengendara di balik mobil yang tengah
Read more
40. KEINGINAN ADINDA
Adinda sangat menyukai pantai. Ada rasa hangat yang merambat setiap kali gulungan ombak itu seperti saling berkejaran, dan meleburkan diri ke pantai. Ibaratkan anak kecil, mungkin ombak-ombak yang tengah bergelung itu saling mengejar dan berteriak. Ada canda tawa yang tercipta. Hal yang mengingatkannya akan masa lalu, di mana kedua orang tuanya masih hidup. Mungkin karena ia anak tunggal, jadi Adinda tidak pernah merasakan bagaimana rasanya berbagi kasih sayang. Seluruh kasih sayang yang orang tuanya miliki adalah untuknya. Meski begutu, Adinda tidak pernah bersikap manja dan semaunya sendiri. Dulu, mama papanya selalu mengajarkan dirinya untuk bisa hidup mandiri. Tidak bergantung pada siapa pun. Mungkin itu juga suatau firasat, jika suatu hari ia akan hidup sendiri. Dan hari-hari itu sudah datang, bahkan sudah menemaninya selama beberapa tahun. "Kamu inget nggak, kita selalu ke sini setiap akhir minggu?" Pertanyaan itu menyentak lamunan Adi
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status