Semua Bab Selubung Memori: Bab 31 - Bab 40
503 Bab
30. UJI SENJATA #2
Selang dua detik, di tengah gelanggang pedang kami sudah beradu.Aku langsung melompat maju—dan Lavi melakukan hal yang sama. Maka instingku bergerak begitu saja. Pedangku perlu terayun dari bawah karena pedang Lavi tampak akan terayun dari atas. Dan itu keuntungan mutlak untuk Lavi. Pedang kayu miliknya terasa begitu berat seolah didorong sesuatu yang kuat. Tumbukan keras terdengar, menimbulkan suara yang cukup menyakitkan didengar.Rasanya pedang kami beradu kekuatan cukup lama, tetapi ketika aku segera membelokkan tumpuan gaya berat pedang, baru kusadari kami hanya beradu dalam sekejap mata. Lavi terkejut. Beban pedangnya yang tertahan di pedangku berbelok, membuatnya oleng—sementara pedangku menyusup dari depan matanya, langsung menyerang ke wajahnya seiring gerakanku yang maju melewatinya.Namun, segalanya terkejap.Tiba-tiba Lavi berhasil mematahkan serangan, menatap tajam mataku bak melihat buruan baru. Aku berani sumpah dia baru hilang
Baca selengkapnya
31. UJI SENJATA #3
Lavi mencengkeram kerahku. “Aku memang perlu minta maaf, tapi saat kau datang dengan Jesse—saat kau melihatku penuh curiga, aku tidak menganggapmu musuh sedikit pun—apa-apaan? Kau pikir aku menganggapmu musuh?”“Lavi,” pinta Dokter Gelda. “Biarkan dia diperiksa dulu.”“Sekali lagi aku dengar kau teriak aku musuhmu,” Lavi sungguhan di depan bola mataku. “Aku takkan segan menyetrum sampai rambut berantakan ini berdiri. Mengerti?” Aku mengangguk cepat, dia melepasku. Hanya saja, dia menggerutu. “Aku tahu kau marah, tapi musuh, musuh, musuh saja yang kau ucap.”“Yah, tapi, kan, Kapten ikut menekannya,” kata Dalton.Mereka berdebat lagi, meski kali ini Lavi lebih banyak menggerutu. Hanya saja, aku tidak terlalu mendengar karena Dokter Gelda sedang memeriksa.Aku tak tahu apa yang terjadi di gelanggang setelah uji senjata karena Lavi langsung membawaku ke klin
Baca selengkapnya
32. UJI SENJATA #4
Layla masuk ruangan bersama Dalton, wajah ceria, baki berisi mangkuk dan gelas beraroma menggoda, lalu wajah sekaligus senyum ceria menenangkan, plus satu kabar: “Kara meminta Dokter Gelda segera ke Balai Dewan.”Jadi, Dokter Gelda memberi beberapa instruksi padaku kalau Isha yang akan memberiku orientasi peralatan medis dan prosedur seandainya kembali dari misi atau terluka. Dokter Gelda punya kemuliaan hati luar biasa karena setelah semua pertanyaan yang memberatkan hatinya masih bisa membuatnya tersenyum.“Aku menantikan pertanyaan lain darimu, Forlan.”Kemudian Dokter Gelda keluar, sementara aku menatap baki yang dibawa Layla. Layla mengangkat alis. “Bilang apa?”“Terima kasih, Pahlawan,” kataku. Dia tertawa jail.Dalton mengerutkan kening melihat kami. Mangkuk Layla berisi sup, tetapi punya campuran daging dan sayur seimbang dengan rasa yang membuatku ingin terus melahapnya. Aku tidak pernah meny
Baca selengkapnya
33. RAPAT DEWAN #1
Orientasi tim medis berakhir, Dalton mengajakku ke pondok utama.Di padang rumput ada yang baru bermain bola. Sepertinya darah biru. Tidak ada pemilik kemampuan yang kulihat bergabung. Jadi, saat kami melewati padang rumput, mereka curi-curi pandang pada kami.“Mereka ada masalah denganmu?” tanyaku.“Yah, kau tahu persis jawabannya. Jesse sudah memberitahumu.”Kami menaiki tangga menuju pondok utama, melihat pohon pinus di sekitar. “Aslan itu Kapten tim stok,” jelas Dalton. “Dia yang mengurus persediaan bahan makanan, mulai menanam, panen, sampai penyimpanan. Dan bukan cuma bidang pertanian. Perkebunan, perikanan, peternakan—dia juga yang bertanggung jawab. Persediaan itu dipakai tim tungku masak. Pembagiannya, rata-rata diisi darah biru. Cowok, tim stok. Cewek, tim tungku. Kecuali Tara, dia cerdas sampai diminta Isha ke tim medis. Kau akan tahu dia nanti. Dia cukup mencolok.”“Cantik?&rdq
Baca selengkapnya
34. RAPAT DEWAN #2
Dari dekat, Pendopo seperti ruang sidang.Selagi turun, aku mengoceh pada Dalton orientasiku belum selesai, yang itu artinya aku bahkan belum siap beraktivitas secara normal di Padang Anushka. Dia bilang kalau aku lebih siap beraktivitas di luar Padang Anushka. Tentu aku protes. Dalton bilang sebaiknya aku mengatakan itu di Rapat Dewan. Aku sudah bertekad protes habis-habisan di Rapat Dewan, tetapi suasana Pendopo membuatku ingin buang air kecil. Barangkali tempat itu memang terbuka. Semua orang bisa melihat hutan pinus dengan mata telanjang. Bunga-bunga mengitari tempat, menimbulkan aroma yang sedikit menenangkan jiwa. Namun, susunan bangku ini—tujuh orang di depanku, lalu tiga di setiap sisi masing-masing dewan. Melingkar membentuk setengah oval. Betul. Tujuh bangku itu memang punya satu kursi kosong. Hanya saja, Jenderal berhadapan denganku—meski topi datar itu masih belum terbuka dan selubung hitam semakin gelap karena malam. Kara, Dokter Gelda, Profesor Neil,
Baca selengkapnya
35. RAPAT DEWAN #3
Di belakang Pendopo ada semacam ruangan kecil seperti dapur yang punya banyak piring berjejer. Saat aku masuk, hewan-hewan seperti kucing, anjing, atau kelinci bergantian masuk membawakan piring-piring itu ke Pendopo. Aku ragu itu kemampuan Nadir atau mereka memang punya akal melakukan itu.Jadi, aku duduk. Selang sepuluh menit, pintu terbuka. Isha.“Sudah menentukan tim, Forlan?”“Sejujurnya tim medis,” jawabku.Isha memakai jubah dokter yang ditutupi jubah seperti milik Jenderal, tetapi lencananya berbeda. Jubah itu ada di setiap kursi Kapten, jadi aku tahu itu jubah khusus Kapten. Isha menawariku piring, tetapi makanan Layla sudah membuatku kenyang dengan semua ketegangan Pendopo.“Kebingungan?” tanyanya, duduk di depanku. “Aku pasti menerimamu.”Aku memainkan jemari, layaknya sedang gugup. “Mungkin terdengar tidak beradab, tapi aku seperti memanfaatkan tim medis.”“
Baca selengkapnya
36. RAPAT DEWAN #4
Tampaknya Dalton bicara dengan Lavi dalam situasi yang serius.Ketika melihatku kembali dari ruangan bersama Isha, semua orang langsung memerhatikan kami. Namun, sebelum aku sempat bersuara, Isha mengumumkan, “Forlan sudah memilih.”“Kupikir aku harus memulai sesi konseling juga,” komentar Layla.“Kurasa Isha perlu membuka praktik psikolog di klinik,” kelakarku, yang disambut rona merah Isha dan tawa Dokter Gelda.“Baiklah,” kata Kara. “Harap kembali ke posisi.”Aku dan Dalton kembali di mimbar. Dia sempat menatapku seperti berniat bertanya apa yang sudah kupilih, tetapi sebelum aku menjawabnya—ketika dewan duduk di tempatnya, satu orang berdiri, berjalan menghampiriku, mengabaikan apa yang terjadi, hanya berdiri dengan aura mengerikan di hadapanku. Tidak ada orang idiot yang tidak menyadari perubahan suasana. Tiba-tiba semuanya terkesan begitu gelap, dingin, dan mencekam. Sesuatu se
Baca selengkapnya
37. ORIENTASI #1
Dalam kegelapan malam, api unggun berderak pelan, memberi kehangatan ke seluruh penjuru. “Selamat ulang tahun ketiga belas!” seru Nenek dan Aza.“Kau tidak bosan ulang tahun hanya dirayakan dengan ikan bakar?” tanya Aza. “Kita bisa masak hal lain kalau memang mau sesuatu yang baru.”“Ikan bakar saja cukup,” kataku.“Kau takut masakanku tidak enak, kan? Ada Nenek, kok.”“Tidak juga, sih.” Aku melahap ekor ikan. “Aku memang suka ikan bakar.”“Tidak mau ayam bakar?”“Itu enak juga, tapi aku mau ikan bakar.”Aza menghela napas pendek, mengusap rambutku sampai berantakan. Aku mau protes, tetapi Nenek mengangkat tiga tusuk lain dari api unggun. “Tiga tusuk ikan bakar lain siap masuk perut Forlan!”Jadi, aku terus mengambil tusuk sate. Nenek mulai memintaku menahan diri atau aku tidak akan kuat berlari naik-turun gun
Baca selengkapnya
38. ORIENTASI #2
Hal pertama yang mengejutkanku di pagi hari: Gerhaku berubah.Aku tidak ingat menggambar atau mendesain sesuatu di kotak surat Gerha, tetapi saat mataku terbuka, aku tidak lagi di ranjang keras yang membuatku terus meronta, melainkan kasur busa empuk yang membuatku tidak ingin segera bangkit. Tidak lagi kamar sederhana yang hanya punya satu jendela sempit, tetapi kamar tiga sisi tembok, dan satu sisi dinding kaca dua arah yang tertutup tirai lebar. Lantai punya lapisan karpet bulu kelabu, yang ketika diinjak membuat kakiku tenggelam. Tidak cukup dengan itu, lampu ruangannya estetik, dan satu set komputer canggih di meja minimalis membuatku menganga.Aku berjalan, terus mengedarkan pandangan. Gerha sederhana itu disulap menjadi kondominium lantai dua yang punya begitu banyak peralatan mewah. Di balik kaca dua arah itu, ada hutan pinus, tempat aku bisa melihat bayangan air terjun yang memanggilku. Saat kaca beranda terbuka, angin berembus, dan aku langsung melihat perbed
Baca selengkapnya
39. ORIENTASI #3
Kupikir aku bisa bersikap sangat keren, tetapi Layla marah. Dia bilang aku perlu menyelesaikan orientasi karena, secara teknis, hanya tersisa dua hari sebelum berangkat misi. Itu membuatku mengerutkan kening karena kupikir aku tidak perlu menyelesaikan orientasi, tetapi Layla jengkel. Aku tidak akan pernah menjadi wakil kapten yang sempurna kalau tidak mengenal tim yang lain.Jadi, kami sempat berdebat—sebagian karena aku tidak mau jadi sempurna, dan dia berakhir berkata, “Orientasi mungkin tidak lagi penting untukmu, tapi kau perlu kenal dengan beberapa Kapten!”Dia bersikap seperti tahu masa depanku, jadi aku menurutinya.Menemukan Aslan tidak sulit. Cari manusia paling bongsor yang kulitnya agak gelap. Dia di ladang kebun, memakai caping, tengah memanen sayuran dalam satu petak raksasa. Saat itu masih mentari pagi, tak terlalu terik, tetapi melihat Aslan sendirian di luasnya petak membuatku lelah.“Butuh bantuan?” tanyaku,
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
51
DMCA.com Protection Status