Semua Bab Pewaris Tahta Kerajaan : Bab 21 - Bab 30
133 Bab
21. Singgah di Sebuah Desa
Mereka terus berbincang hangat, sambil menunggu matahari terbit. Hari itu, mereka akan melanjutkan perjalanan menuju utara wilayah kepatihan Waluya Jaya. "Sebaiknya kita harus mencari jalan yang lebih aman lagi. Jangan menyusuri jalan yang ini!" kata Junada menyarankan, pandangannya terarah ke sebuah jalan yang ada di pinggiran hutan tersebut. "Kita akan sampai ke daerah mana jika melewati jalur lain, Paman?" tanya Sami Aji mengerutkan kening sambil menatap wajah pria paruh baya itu. "Setelah melewati jalur yang hendak kita tuju, kita akan langsung tiba di sebuah desa kecil yang ada di wilayah utara kepatihan Waluya Jaya dan akan langsung tiba di sebuah padepokan yang ada di desa selanjutnya, setelah melewati desa kecil itu!" jawab Junada menerangkan. "Tapi kalian jangan kaget! Ketika para pendekar sakti yang ada di desa tersebut menyambut kita dengan sikap penuh kecurigaan. Tentu mereka akan berhati-hati terhadap tamu yang tidak mereka kenali," tambah Junada menuturkan. Saketi dan
Baca selengkapnya
22. Cerita Tentang Kematian Pendekar Serigala
Pria paruh baya itu tidak lantas menjawab pertanyaan dari sang pangeran. Ia justru merasa kaget dan tercengang dengan kehadiran tiga orang yang tidak dikenalnya itu. Tak dapat dipungkiri bahwa "Tenang, Ki Sanak! Kami para pendekar pengelana, Ki Sanak tidak usah takut! Kami bukan orang jahat." Saketi berusaha meyakinkan pria paruh baya itu. Dengan demikian, pria paruh baya itu mulai bernapas lega. Ia maju dua langkah mendekati Saketi, lantas pria paruh baya itu balas bertanya, "Kalian berasal dari mana, Raden?" Saat itu bukanlah Saketi yang menjawab. Akan tetapi Junada, ia melangkah maju, kemudian menjawab lirih pertanyaan dari pria paruh baya itu dengan sikap ramahnya, "Mohon maaf, Ki Sanak. Kami adalah tiga pendekar pengembara. Tujuan kami datang ke desa ini hanya untuk singgah barang sebentar, karena kami hendak membeli seekor kuda untuk melanjutkan perjalanan kami ke wilayah kepatihan Waluya Jaya," timpal Junada dengan suara lirihnya. "Ya, aku percaya. Tampang kalian tidak menun
Baca selengkapnya
23. Empat Pendekar Jahat
Dengan demikian, Ki Burilang pun langsung menceritakan semua kejadian tersebut kepada Saketi dan yang lainnya yang pada kesempatan itu tengah duduk bersamanya di beranda rumah tersebut. Ki Burilang pun menceritakan peristiwa terbunuhnya Lungkiwa—Pendekar Serigala Hitam dan hilangnya pusaka-pusaka peninggalan nenek moyang penduduk desa tersebut, para tokoh masyarakat mulai saling mencurigai, saling menyelidik satu sama lain. Bahkan di antara mereka ada yang saling tuduh, hingga menimbulkan perpecahan di antara kelompok para pendekar dan juga warga desa itu. Kericuhan pun terjadi dalam segala hal.Walau demikian, pusaka-pusaka yang telah raib itu tak pernah dapat ditemukan lagi dan jejak pelakunya pun tidak diketahui oleh para penduduk dan pihak prajurit khusus dari kerajaan yang sengaja diutus dari kepatihan Waluya Jaya untuk menyelidiki kasus tersebut. Mendengar apa yang telah dituturkan oleh orang tua yang merupakan tokoh masyarakat yang sangat dihormati di desa itu, Junada pun sud
Baca selengkapnya
24. Kesakitan yang Dimiliki Oleh Saketi
Demikianlah, Saketi sudah tidak dapat menahan diri lagi. Rasa emosi dalam jiwanya telah naik dan membumbung di atas kepala. Tanpa basa-basi lagi, ia langsung mengayunkan kaki kanannya dan menendang keras pria yang sudah membentak dirinya. Sehingga tubuh orang itu terpental beberapa tombak ke belakang akibat tendangan keras yang ia lakukan terhadap pria sombong itu. Pria tersebut mengerang kesakitan, dari mulut dan lubang hidungnya tampak mengalir deras darah segar berwarna merah sedikit kehitam-hitaman. "Ayo, kalian maju semua!" tantang Saketi dengan posisi kaki berpijak kuat dan bersiap siaga mengantisipasi adanya serangan mendadak dari orang-orang bertubuh kekar itu. Salah seorang dari mereka terus melangkah mendekati Saketi. "Di sini tidak ada yang berani menghalangi langkah kami dan hanya kau satu-satunya anak muda yang berani melakukan ini. Apakah kau tidak sayang dengan nyawamu?" tanya orang itu dengan sebuah ancaman halus terlontar dari mulutnya. "Kau bersikap terlalu jemawa
Baca selengkapnya
25. Hadiah Kuda dari Ki Burilang
Bukan hanya keempat orang pria itu saja yang merasa heran dengan sikap Saketi. Ki Burilang, Junada, dan Sami Aji pun merasa heran juga. Saketi sikapnya memang luar biasa penuh dengan kebijaksanaan setelah banyak belajar ilmu dari ayahnya, yakni Prabu Erlangga. Sikapnya sudah seperti ayahnya, berbudi luhur dan bijaksana. Saketi adalah calon pemimpin kerajaan yang bersahaja, kelak akan berlaku adil dan bijaksana terhadap rakyatnya. Hal tersebut sudah ia tunjukkan, sehingga orang-orang pun sangat mengagumi dirinya. Setelah pria paruh baya itu dilepas, Saketi menjura hormat kepada keempat pendekar tersebut. Lalu berkata, "Terima kasih, Ki Sanak. Kalian masih mempunyai jiwa kesatria dan sebagai imbalannya, aku persilakan kalian untuk duduk bersama dengan kami. Kita bicarakan langkah ke depan, agar di antara kelompok kalian dan penduduk desa ini tidak ada ketegangan lagi!" Demikianlah, para pendekar itu pun menyetujui usulan baik dari Saketi. Tanpa basa-basi lagi, Ki Burilang dan para p
Baca selengkapnya
26. Tiba di Rumah Ki Wilata
Kuda itu diberikan oleh Ki Burilang kepada Junada tanpa harus membelinya. Ki Burilang merupakan seorang tokoh masyarakat yang paling kaya di desa tersebut, sehingga tidak merasa keberatan memberikan hadiah kuda yang bernilai tinggi kepada Junada yang telah datang ke desanya bersama Saketi dan Sami Aji. Mereka sudah membantu melepaskan kemelut yang selama ini menjadi persoalan pelik yang tak kunjung selesai di desa itu. Persoalan tersebut sudah berlangsung lama dan banyak memakan korban jiwa di kalangan para penduduk desa. Semenjak kedatangan Saketi dan kedua kawannya. Akhirnya persoalan rumit itu dapat diselesaikan secara damai. "Apakah hadiah ini tidak terlalu istimewa untuk aku terima, Ki," ujar Junada sedikit merasa keberatan. "Terimalah! Anggap saja, ini adalah bentuk rasa hormat kami terhadap kalian. Semoga apa yang kalian cari dalam pengembaraan ini segera dapat ditemukan," jawab pria senja itu sambil tersenyum-senyum. Setelah itu, ia meraih dua kantung kain berwarna hitam ya
Baca selengkapnya
27. Ki Wilata Pemilik Pedang Sulaiman
Dengan demikian, Saketi, Junada, dan Sami Aji langsung menikmati makanan dan minuman tersebut. Mereka sangat senang dengan sikap ramah yang ditunjukkan oleh sang pemilik rumah. Mereka terus berbincang saling memperkenalkan diri satu sama lain. Ada banyak hal yang dibicarakan dalam perbincangan tersebut. "Jadi, Aki ini adalah pemilik pedang Sulaiman?" tanya Saketi di sela perbincangannya dengan Ki Wilata. "Iya, Raden. Aku adalah pemilik sah pedang pusaka itu. Tapi sayang sekali, pedang pusaka tersebut sudah diambil orang," jawab Ki Wilata. Pikirannya mulai kembali ke masa lalu. Dengan demikian, Ki Wilata pun menceritakan peristiwa kelam di masa lalu ketika putranya yang bernama Jaidil tewas oleh sekelompok pendekar yang mengepungnya secara tiba-tiba. Karena para pendekar tersebut memaksa Jaidil untuk menyerahkan pedang pusaka Sulaiman, sehingga ia melakukan perlawanan keras. Namun, Jaidil bernasib naas, ia terbunuh dalam pertarungan tersebut dan pedang pusakanya pun diambil oleh pa
Baca selengkapnya
28. Jebakan Wulansari
Baru saja mereka hendak memejamkan mata, tiba-tiba terdengar suara teriakan keras dari arah hutan yang ada di samping rumah tersebut. Sami Aji dan Saketi tersentak bangkit dan langsung melangkah bersama menghampiri sumber suara itu. Begitu pula dengan Ki Wilata dan Junada mereka berlarian mengikuti langkah Saketi dan Sami Aji yang sudah lebih dulu memasuki hutan. "Tolong! Tolong! Tolong!" Suara teriakan itu semakin terdengar dekat dari tempat keberadaan Saketi dan yang lainnya. "Itu, Paman!" tunjuk Sami Aji mengarahkan jari telunjuknya ke tempat seorang wanita sedang dalam kondisi terikat. Wanita itu tubuhnya diikat dan disatukan dengan sebatang pohon pinus yang ada di hutan tersebut. Sami Aji bergerak cepat menuju ke arah wanita itu. Namun, baru beberapa langkah saja, tiba-tiba datang sebuah serangan dahsyat dari dua orang pria bertopeng hitam. Saketi dan yang lainnya tidak banyak bereaksi, mereka sengaja menghentikan langkah dan membiarkan Sami Aji menghadapi dua orang pria bert
Baca selengkapnya
29. Hari Terakhir di Kediaman Ki Wilata
Dengan demikian, wanita itu mengurungkan niatnya dan kembali mundur dua langkah ke belakang. "Hentikan, Wulansari! Kau telah termakan kabar yang salah, dan kau sudah terkena hasutan dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab!" Seketika Arini muncul di hadapan wanita yang bernama Wulansari itu. "Arini?!" Wulansari tercengang melihat pemandangan yang sungguh membuatnya terkaget-kaget. Kedatangan Arini menghadirkan sebuah rasa kebahagiaan bagi diri wanita itu. Di sisi lain, ia pun tampak ragu kalau itu memang benar-benar Arini—sahabat baiknya. Arini masih belum menjawab pertanyaan dari Wulansari. Ia hanya diam berdiri di hadapan Wulansari sambil tersenyum menatap tajam wajah Wulansari. "Sungguh! Kau ini benar-benar Arini?" Wulansari mengulang kembali pertanyaannya. Seakan-akan dirinya ragu kalau wanita yang berdiri di hadapannya itu adalah benar-benar Arini. Arini menghela napas dalam-dalam. Lalu menjawab lirih, "Ya, aku Arini yang sudah lebih dulu keluar dari istana, dan diangga
Baca selengkapnya
30. Perjalanan Saketi
Keesokan harinya .... Ketika matahari masih bersembunyi di ufuk timur, Wulansari dan kedua pengawalnya sudah pamit kepada Arini dan suaminya, serta pamit juga kepada Saketi dan dua pengawal pribadinya. Pagi itu ia dan kedua pengawalnya akan melakukan perjalanan jauh ke barat, untuk segera menjumpai Prabu Erlangga di istana kerajaan yang berada di kuta utama—Kuta Tandingan. Sementara Saketi dan Sami Aji masih duduk santai sambil menikmati segarnya udara pagi ditemani minuman hangat dan ubi rebus serta pisang rebus yang disajikan oleh Arini untuk sarapan pagi mereka. Juanda pagi itu sedang bersama Ki Wilata, berbincang-bincang di saung kecil yang ada di belakang rumah sembari menikmati udara segar pagi itu. Hari itu, Saketi dan kedua pengawalnya berencana akan melanjutkan perjalanan dengan tujuan utama ingin ingin bergabung bersama para prajurit kerajaan yang ada di perbatasan. Setelah itu, mereka akan masuk ke Sirnabaya untuk merebut kembali pedang pusaka Sulaiman milik Ki Wilata
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
14
DMCA.com Protection Status