Semua Bab Rahasia Di Antara Kita: Bab 21 - Bab 30
49 Bab
21. Bukan Taruhan
Aku tercengang ketika sebuah kertas terkambang di depanku. Sebuah surat perjanjian tentang taruhan antara kami berdua.            “Kau bisa menandatanganinya jika setuju,” kata Hwan santai. Dia menyesap kopinya perlahan.            Hwan membawaku ke sebuah café tak jauh dari rumah. Suara music indie bergema di seluruh langit langit café. Banyak yang datang meskipun baru pukul sembilan pagi. Ada yang mampir karena hendak berangkat bekerja, atau anak sekolah yang mungkin saja membolos atau masuk siang? Pokoknya banyak orang yang datang dan café pagi itu tak sepi.            Seorang waiters baru saja menyajikan sepotong kue sesuai pesananku sebelumnya. Lebih tepatnya Hwan yang memesan.            “In
Baca selengkapnya
22. Kartu Kredit
“Bagaimana dengan Jinnie?” Kakek Chu bertanya pelan. Dia tengah menatap jauh sebuah pemandangan dari ruang kerjanya – taman belakang di kediamannya kini.            Kini Kakek Chu banyak duduk di kursi roda. Beberapa hari terakhir juga sakit jantungnya sering kambuh. Dia sering kali berpikir kalau waktunya mungkin tak banyak lagi.            “Seperti biasanya Kakek Chu, dia banyak menghabiskan waktu di rumah membantu Madam Bong di siang hari dan bekerja di bar Hwan pada malam hari.”            Kakek Chu tersenyum tipis setelah mendengar penjelasan Em. “Dia masih bekerja?”            “Iya Kakek Chu, sebelumnya saya sudah pernah melarangnya untuk bekerja tapi dia tetap bersikukuh, jadi saya
Baca selengkapnya
23. Sebuah Hadiah Kecil
Tiba-tiba saja suasana canggung memenuhi mobil. Aku tak banyak berbicara semenjak Hwan memelukku erat beberapa menit yang lalu.            Aku tak membalas pelukan Hwan, hanya bersikap seperti patung di dalam dekapannya.            “Aku tak tahu kau benar-benar melakukannya? Bagaimana bisa?” Hwan melonggarkan dekapannya, kini kedua tangannya berada di atas bahuku. Dia masih tak menyangka kalau aku berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya.            “Tidak bisa begini, aku harus memberimu hadiah.” Hwan terus saja menyentuh tanganku lantas menarikku ke dalam mobil. Dia bahkan membukakan pintu mobil, menjaga kepalaku agar tak terbentur atap mobil. Melihat perhatiannya yang tulus dan detail, hampir saja aku jatuh hati padanya.      &nbs
Baca selengkapnya
24. Penerus Perusahaan
Pertemuan yang tak pernah di atur mungkin bisa dianggap sebagai sebuah kebetulan. Namun pernahkah kalian berpikir kalau justru itu semua sudah ada yang mengatur? Sebuah suratan alam, misalnya. Ya. Beberapa orang percaya pada takdir, namun tak sedikit juga yang menentang takdir. Jika berbicara tentang perjalanan hidupku, apakah pertemuanku dengan Kakek Chu adalah sebuah kebetulan yang sudah direncanakan? Sungguh aku belum pernah memikirkannya sampai ke titik itu. Sejauh ini aku masih berpikir kalau semuanya terjadi secara kebetulan dan keberuntungan bagiku yang bisa bertemu dengan orang sebaik Kakek Chu. Tapi bagaimana menjelaskan pertemuanku dengan Hwan dan Sam? Aku bahkan tak pernah membayangkan bisa bertemu, berteman bahkan tinggal serumah dengan mereka.            Guratan jingga di langit semakin terlihat jelas. Tampak kontras dengan kesibukan kota yang tiada habisnya. Kehidupan malam akan segera dimulai. Bar, diskoti
Baca selengkapnya
25. Ucapan Terima Kasih
Di antara banyak bar dan club, Channel A termasuk salah satu bar kelas atas.  Lihatlah antrian panjang sudah mengular di luar gedung bar Channel A. Tak perlu berebut pelanggan dengan pesaing lain, siapapun yang punya selera bagus dan rasa gengsi yang tinggi dapat dipastikan memilih Channel A sebagai bar top nomor satu. Tak heran juga Hwan menamakan barnya dengan Channel A. Begitu klasik dan berkelas.            Sopir mengantarku ke sana dan menurunkanku tepat di pintu masuk. Aku menghela nafas pelan. Tiba-tiba saja aku berpikiran untuk berhenti kerja saja dari tempat Hwan ketika menatap lama gedung yang berdiri gagah di depanku ini. Aku merasa tak enak dengan Jisung, Haeri dan karyawan lain. Mereka mungkin saja menganggapku bekerja seenaknya saja hanya karena dekat dengan pemiliknya. Terlepas dari Jisung yang tahu situasi yang tengah kualami. Tetap saja sebuah etika dalam bekerja diperlukan. Sebaiknya aku mengatakan
Baca selengkapnya
26. Deja Vu
Pertemuan pertamaku dengan Sam dulu sudah hampir terlupakan seiring dengan sikapnya yang tak pernah ramah. Tetapi siapa sangka justru Sam lah yang mengingatkanku. Dia tampaknya mengingat sesuatu tentang malam itu.            “Maksudmu?” Aku pura-pura tidak tahu, bertanya dengan wajah polos.            “Malam itu…” Sam berhenti sejenak. Dia sudah terlihat agak mabuk – empat gelas kosong tepat di depannya.            “Malam itu apa?” Aku masih berlagak polos, sesekali melirik pada Hwan yang kini asik berbincang dengan seorang pria asing. Aku tak kenal.            Mataku kembali bertemu dengan mata hitam Sam yang setengah terbuka. “Malam itu kau mengantarku pulang bukan?”
Baca selengkapnya
27. Yuan Chu
Aku tersentak. Keringat dingin memenuhi pelipis dengan nafas yang tersengal. Aku duduk, menyeka peluh di dahi. Mimpi yang tak bisa dibilang baik, tak pula buruk. Tetapi ada perasaan takut di dalamnya. Rasa rindu, khawatir, kebencian, penyesalan bercampur menjadi satu. Mimpi itu terasa seperti memperingatkanku untuk selalu berada di jalan yang benar karena mereka tak lagi bisa mendampingiku. Tapi pertanyaannya, apakah sekarang aku sudah menjalani kehidupan dengan baik? Aku mungkin sudah baik dalam hal materi tapi tak ada yang lebih buruk dari menjadikan hidup sendiri sebagai taruhan untuk bersenang-senang bagi orang lain.            Aku menyibak selimut dan membuka gorden menuju balkon. Semburat merah mulai menyibak di ufuk Timur. Aku terbangun subuh untuk orang-orang yang tinggal di rumah ini yang punya kebiasaan bangun siang. Jika aku membuat pengecualian untuk Jay, dia selalu berangkat pagi-pagi sekali ke pusat pelatih
Baca selengkapnya
28. Mata-mata
“Kau? Apa yang kau lakukan di sini?” Aku melihat sekeliling, khawatir jika dia membawa orang lain.            Sebelumnya aku pernah bertemu Hwan secara tak sengaja, namun kali ini pertemuan dengan Sam mungkin terlihat agak dipaksakan. Sam tak punya urusan di sana kecuali jika dia memang mengikutiku. Pantas saja dia tak terlihat saat aku keluar dari kamar tadi.            “Kau mengikutiku ke sini?” Aku mundur dua langkah, jarak kami sudah agak jauh jadi aku bisa melihat wajahnya tanpa perlu mendongak lagi.            Sebuah lengkungan terbentuk di sudut bibir Sam. “Hm. Aku memang mengikutimu,” terangnya berkata jujur.            “Apa? Tidak, maksudku kenapa?”    
Baca selengkapnya
29. Jamuan Makan Malam
Aku mengabaikan Sam yang terus mengikuti hingga ke kamar. Sungguh melelahkan meladeninya seharian penuh. Eh tidak, dua hari penuh karena dia sudah mengintaiku sejak kemarin. Aku berhenti tiba-tiba lalu berbalik. “Kau akan terus melakukan hal ini?” katanya geram ketika sudah tiba di depan pintu kamar. “Kepedean sekali. Aku juga mau ke kamar tau,” balasnya dengan nada meledek. Dia melewatiku menuju kamarnya tepat di samping kamarku. Astaga, aku lupa kalau kamar kami bersebelahan. “Oh ya!” Sam berhenti sejenak. “Apa lagi?” “Berhati-hatilah! Sekarang banyak mata yang mengawasimu.” Sam mengacungkan dua jarinya padaku bergantian setelah menunjuk kedua matanya. Aaargh! Menyebalkan sekali melihatnya meledekku seperti itu. Sam menghilang di balik pintu. Tak membiarkanku untuk membalasnya barang sedetikpun. Aku hanya bisa menghela nafas kasar. Berat sekali untuk hidup tenang di rumah ini. Benar kata orang.
Baca selengkapnya
30. Perdebatan yang Tak Seharusnya
Masih dalam posisi yang sama, aku menunjuk diriku sendiri. Masig bingung dengan ucapan Hwan. Mereka juga masih dalam posisi saling bertatapan dengan sorot mata yang tak kalah tajam. Jika saja mata mereka bisa mengeluarkan bilah tajam, habislah semua tersayat saking tajamnya tatapan mereka. “Sudah hentikan!” Akhirnya Kakek Chu melerai. Dia juga tak nyaman melihat pemandangan yang menegangkan itu. “Sampai kapan kalian akan bersikap kekanakan seperti ini.” Para pelayan kembali memasuki ruangan. Menyajikan hidangan penutup untuk makan malam kami. Untunglah mereka datang di waktu yang tepat. Sekarang Hwan dan Sam saling membuang muka. “Dan untukmu Jinnie.” Sekarang giliranku. Kakek Chu menoleh padaku. “Ya kek?” “Kau sudah siap bukan?” Aku menelan ludah. Mulutku seketika terasa kering. Apa mereka berdua yang kini tengah menatapku akan menentang jika aku menjawab siap? “Aku…..siap kek,” jawabku mantap. Masa bodoh jika me
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status