All Chapters of Kekuasaan (Ascendant) : Chapter 21 - Chapter 30
44 Chapters
XX
Lorelai berlari. Kaki yang hanya dia gunakan untuk berjalan itu, kini dia gunakan untuk berlari menuju ruang kerja Liam. Kabar yang dia dengar—dia berharap itu hanya sebuah lelucon payah dari sang Raja. Dia berharap Liam hanya mengerjai dirinya dan menertawai saat dirinya sampai di ruang kerja itu.Tapi Liam tidak pernah tertawa lagi saat bersamanya.Tidak lagi, setelah suaminya menjadi Raja.Meskipun Xavi yang menyampaikan kabar padanya dengan raut wajah yang tak terbaca, Lorelai tetap berharap itu hanya sebuah lelucon. Dirinya tidak ingin mempercayai apa yang dia dengar.Di belakangnya, dua pelayannya meminta dia untuk berhenti berlari. Tapi siapa yang tidak akan berlari saat mendengar kabar seperti ini?Putrinya mati.Putrinya yang selalu membuatnya sakit kepala telah dibunuh oleh angota Camsart!Putri kesayangannya telah dibunuh oleh klan yang menjadi kambing hitam!Lorelai membuka ruang kerja Liam dengan dorongan sep
Read more
XXI
Danina hampir tidak bisa tidur. Disaat Xenon sudah tidur nyenyak di sampingnya—dirinya masih menatap langit-langit rumah pohon, mendengarkan hewan malam yang berbunyi nyaring, dan pikiran yang masih dipenuhi dengan permasalahan yang belum dia putuskan untuk menyelesaikannya.Hingga suara binatang malam mulai tidak terdengar, dirinya tertidur untuk beberapa saat dan kembali terbangun saat langit mengeluarkan semburat merah. Disebelahnya, Xenon masih tertidur dan memeluknya dengan erat.Jadi Danina memutuskan untuk pulang ke rumah, berharap saat dirinya sampai di rumah, ibunya masih tertidur dan tidak mencecarnya dengan pertanyaan. Danina mencium pelan pipi Xenon, membetulkan posisi selimut Xenon kemudian turun dari rumah pohon.Udara di sekitarnya masih terasa dingin, membuatnya mengeratkan kedua tangannya di depan dada. Meskipun udara disini tidak lebih dingin dibandingkan diluar hutan Camsart, tapi Danina benar-benar hampir menggigil. Di sekitarnya, ia bi
Read more
XXII
“Aku mencintaimu.” Bisiknya lirih. Dirinya berharap makhluk didekatnya itu tidak mendengarnya. “Aku benar-benar mencintaimu.” Bisiknya lagi.Air matanya terasa menusuk-nusuk. Dirinya benci perasaan sentimentil seperti ini. Tapi mendengar penjelasannya, membuatnya memutuskan untuk mengakui perasaannya. “Aku berharap ini hanya omong kosong. Kau mengetahui semuanya dan membuatku seperti orang dungu yang tergila-gila dengan rencana yang kuanggap sempurna—tapi aku tak peduli. Entah bagaimana semua ini berjalan, aku tidak peduli. Aku hanya tidak ingin kau pergi dariku.” Ilvy benci menangis, tapi dirinya tak mampu menahan rasa nyeri di dadanya karena penjelasan Qeen yang masih terasa tak masuk akal. Ia melarikan pandangannya pada kunang-kunang yang menjadi sumber pencahayaan di ruangan itu. Ilvy berusaha untuk memikirkan alasan mengapa mereka menangkap kunang-kunang untuk menjadi pembantu penglihatan di malam hari, atau mengapa
Read more
XXIII
Xavi menyukai pekerjaannya. Terlebih jika pekerjaan itu tentang pembersihan. Menyingkirkan seseorang, membuang mayat—dia menyukai semua pekerjaan kotor itu. Bukan karena dia menyukai anyir darah—baunya membuat kepalanya berdenyut nyeri—tapi karena Raja memberikannya alasan untuk semakin terikat padanya.Juga, banyaknya rahasia Raja yang dia simpan—yang sewaktu-waktu bisa dia gunakan untuk menyelamatkan diri.Hidup pasti tentang membunuh atau dibunuh. Apa salahnya memegang kendali?Seperti beberapa waktu yang lalu, saat Raja menginginkan nyawa seseorang. Putri Gerian adalah miniatur dari sang Raja—penuh tipu muslihat dan licik. Tapi kelicikan Putri Gerian jauh dibawah sang Raja.Saat gadis yang baru saja debutante itu berusaha untuk mencari pengasuh Blyana, Xavi sudah mengetahui keberadaan wanita itu. Bahkan saat bandit itu menangkap Issisia dan membawanya ke Rhauven—Raja sudah menduga hal itu.Lalu saat Putri Ger
Read more
XXIV
Danina melihat gadis itu yang tengah menatapnya dengan senyum yang terkulum. Matanya yang cemerlang tampak penuh dengan rasa penasaran. Juga penuh dendam kesumat. “Dia adalah Putri Gerian—Ilvy Channest.” Suara Sitaf membuatnya kaget. Buru-buru ia mengedipkan mata untuk menyadarkan dirinya.Ia kembali menatap gadis di depannya itu. Disebelah gadis itu, ayahnya menatap dirinya dengan ekspresi hampir menangis, sementara Nareef dan Qeen menatapnya dengan tanpa ekspresi.Danina ingin mengatakan sesuatu, tetapi tenggorokannya tercekat. Kedua tangannya berkeringat, dan kepalanya mendadak berdenyut sakit.Ia tak siap dengan ini semua.Dirinya bahkan belum berani untuk menanyai hal yang dicuri dengarnya beberapa hari yang lalu, dan ia sudah mendapatkan kejutan yang tak menyenangkan ini.“Nareef,” di ujung lapangan—ditepian hutan—suara Gaia menginterupsi mereka. Danina terkejut dengan suara pelan Gaia yang terdengar
Read more
XXV
Danina menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras. Ia kembali membuka mata dan melihat hutan di depannya. Pohon-pohon berdiri dengan pincang, tanah terasa bergoyang, ia melihat rumput pendek di bawah kakinya bergerak menggulung-gulung.Danina menatap sekeliling. Ia melihat Sitaf menjadi dua, dengan senyum menyeramkan dan tangan yang menggenggam tongkat dengan api diatasnya. Ia melihat Qeen bergerak dengan aneh—meliuk-liuk seperti ular. Dan gadis didepannya itu, menatapnya dengan empat mata yang berwarna merah.Danina merasakan lonjakan di perutnya tiba-tiba. Dengan cepat dia terhuyung ke samping, menjauhi orang-orang aneh yang membuatnya semakin mual.Kakinya terasa seperti tidak bertulang, langkahnya bergerak tidak lurus. Danina tersandung sesuatu dan terjatuh. Tak membuang waktu, ia merangkak ke tepian lapangan dan akhirnya mengeluarkan seluruh isi perutnya.Danina tidak bisa menghilangkan bayangan menyeramkan dan menyedihkan di kepalanya. Danina
Read more
XXVI
Ia duduk diantara Sitaf dan Qeen, tetapi seluruh mata menatapnya dengan pandangan penasaran. Orang-orang berbisik, ada yang secara terang-terangan menunjuk dirinya dan Qeen. Tapi itu semua tidak begitu mengusik selain sepupunya yang mengobrol dengan seorang pria dan tidak menatapnya sama sekali. Tidak sejak pertama kali ia duduk di tepi api unggun, maupun saat piring-piring telah dibersihkan.Ilvy menarik pelan lengan kemeja Qeen, membuat perhatian makhluk itu yang awalnya mengobrol dengan salah seorang Camsarian menjadi berfokus padanya. Mata kelam itu menatapnya untuk beberapa saat, lalu sebelah alisnya naik—bertanya secara isyarat.Ilvy hanya menarik lengan makhluk itu lebih dekat dengannya, kemudian bersandar sambil sesekali menatap orang-orang yang masih mencuri pandang ke arahnya. “Mereka menatapku seperti aku seekor hewan langka.” Bisiknya pelan setengah menggerutu.Disebelahnya, Sitaf terkekeh mendengar gerutuannya. Membuatnya menegakka
Read more
XXVII
Api unggun padam melewati tengah malam. Ilvy sempat bercakap-cakap dengan beberapa orang Camsart dan juga Effrayante—lebih tepatnya mereka yang berbicara dan Ilvy hanya sesekali menanggapi. Ilvy bisa melihat dengan jelas sorot benci dari Camsarian, tetapi wanita paruh baya yang bernama Gaia cukup bisa menjadi teman mengobrol yang baik. Bahkan Ilvy beberapa kali mendapati wanita itu menegur Camsarian yang secara terang-terangan menyumpahinya.Orang-orang sudah kembali ke rumah masing-masing. Tapi Ilvy melihat Danina bersama seorang pria masih duduk di tepi api unggun. Sepupunya itu menyandarkan kepalanya ke bahu pria itu, dan kedua tangan mereka saling terkait.Di sebelahnya, Sitaf telah kembali ke tempatnya, begitu pula dengan Nareef yang sempat menyapanya tadi. Ia mengangguk, yang langsung dibalas Qeen dengan menggenggam tangannya dan membantunya berdiri. “Aku akan menyapa sepupuku terlebih dahulu.” Ujarnya. Makhluk itu tidak membalas apapun dan meng
Read more
XXVIII
Ilvy benar-benar serius dengan perkataannya tadi malam. Gadis itu sudah berada di tengah lapangan dengan Effrayante kesayangannya. Sang Putri Gerian sedang memerintahkan Qeen menyusun sasaran panah yang berupa papan-papan lunak yang disatukan dan diletakkan di tepian lapangan.Sebagian orang-orang berkumpul karena penasaran, sebagiannya lagi hanya berdiri di tepi lapangan sejenak sebelum kembali melakukan tugasnya hari itu.Danina muncul saat Qeen menancapkan sasaran panah yang ke tiga di tanah. Ia mendekati Qeen dengan tangan tersilang karena hawa dingin masih terasa. Matahari sudah muncul, dan kabut masih belum hilang, membuat dirinya meremang. “Kau bisa melakukan banyak hal,” pujinya.Qeen tersenyum simpul. Tangannya terus melubangi tanah hingga cukup dalam, lalu menancapkan sasaran panah dalam satu kali hentakan. “Terima kasih pujiannya,” ujarnya sambil tersenyum. Qeen menatap ke arah Ilvy yang juga sedang menatapnya dengan sorot pena
Read more
XXIX
Pagi sekali Danina melihat Ilvy sudah berada di lapangan untuk berlatih memanah. Gadis itu terlihat begitu anggun, dengan baju berburu khas Camsart di balik jubah bersulam emas dan permata di kancing jubah. Danina menyadari bahwa gadis itu terlihat cocok memakai pakaian apapun, bahkan dengan pakaian yang terlihat begitu kontras dengan jubah mewah itu, Ilvy masih tetap terlihat cantik.Danina sempat membayangkan dirinya memakai pakaian seperti itu, kemeja sutra dan jubah kerajaan yang terlihat sangat mewah. Apakah ia akan terlihat cocok? Atau memang dirinya jauh lebih cocok memakai pakaian berburu khas Camsart?Ia mengedarkan pandangan ke seluruh lapangan, tidak menemukan siapapun kecuali Ilvy. Hanya Ilvy, tanpa adanya sang Effrayante yang biasanya selalu berjarak tiga langkah di belakang gadis itu. Qeen masih belum menampakkan diri selama beberapa hari belakangan ini, dan Ilvy jelas tidak memberikan jawaban apapun pada setiap orang yang menanyakan absennya Qeen pada ma
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status