Semua Bab Rahasia Suamiku : Bab 11 - Bab 20
60 Bab
Pisah kamar
Part 11   Sebuah pernikahan dijalankan oleh dua orang yang saling mencintai. Jika cinta belum datang diantara mereka berdua, maka pupuklah dan siram agar cinta tumbuh dengan subur di hati keduanya. Namun saat cuma satu hati saja yang terpaut dan berjuang untuk menumbuhkan cinta, sedang yang satunya tidak, lalu bagaimana bisa pernikahan itu tetap bisa bertahan?    ***   "Ibu ...!" lirihku memanggil nama yang sangat berarti di hidupku.    Aku merindukanmu Bu, kenapa kau pergi secepat itu? Apakah benar kau menginginkanku menikah dengannya? Apakah dia lelaki terbaik untukku? lelaki yang kuanggap suamiku itu tidak pernah berusaha untuk mencintaiku Bu. Tidak sekeras putrimu ini, jadi, haruskah ku tetap bertahan? Atau kepaskan? Ibu ....   Masih dengan derai air mata hati merindu akan soso
Baca selengkapnya
Memutuskan Pergi
  "Bu, bolehkah Aya besok pergi ke rumah Fajar? Aya kangen sama dia," bujukku padanya. Meminta lagi untuk yang kedua kalinya.     Kulihat ibu terkejut mendengar keinginanku. Dia menatap Bintang dengan sorot mata cemas. "Besok Ya?" tanyanya mengulang permintaanku. Aku mengangguk. Aku tak tahu ekspresi wajah Mas Bintang mendengar permintaanku ini karena mataku fokus ke wajah Ibu.   Ibu mengembuskan nafas berat. "Kalau itu yang Aya mau, ibu izinkan. Biar Bintang yang mengantarmu kesana. Pasti kamu kangen Fajar ya?"   "Tidak Bu. Aya bisa sendiri. Aya nggak enak sama Mas Bintang, dia sangat sibuk Bu dengan pekerjaannya." Tatapku sinis pada lelaki di sebelah Ibu.   "Jangan Ya, Ibu nggak tenang kalau kamu berangkat sendiri. Biar Bintang yang an--"  "TIDAK Bu!" Tanpa s
Baca selengkapnya
Ada apa denganku?
 "Ibu," panggilku. Kulihat Ibu duduk di depan teras dengan mata menerawang memikirkan sesuatu. Aku rasa Ibu pasti mengkhawatirkan hubunganku dengan Mas Bintang.   "Bu, sarapan yuk, makanan sudah siap di meja makan," ujarku sambil mengusap bahunya pelan.    Ibu tersenyum dan menganggukkan kepala. Aku mendorong kursi roda Ibu, membawanya masuk ke dalam menuju meja makan. Mas Bintang sudah berada disana, duduk menunggu kedatangan kami. Dia tidak berhenti menatapku, namun tidak kupedulikan.   "Cukup Ya, Ibu takut tidak habis," ucap Ibu mencegahku menambahkan satu centong nasi lagi ke dalam piringnya. Sedangkan Mas Bintang tetap kulayani seperti biasa. Mengambilkan keperluan makannya sama seperti Ibu. Walaupun hati ini masih sakit karenanya, tapi tidak benar kalau aku bersikap buruk kepadanya dihadapan Ibu. Apalagi dia masih suamiku.  
Baca selengkapnya
Hamil?
Aku bangun dan menegakkan punggungku untuk duduk. Mas Bintang sigap membantuku duduk. Tatapanku tak berpaling pada sosok wanita tersebut. Dia tersenyum manis dan menghampiri.    "Syukurlah Bu Cahaya sudah sadar," ucapnya sembari tangannya mengambil sesuatu dari dalam tas hitamnya. Aku beralih menatap Mas Bintang dan Ibu, berharap mereka memberikan penjelasan.    "Aya, ini Bu Dokter Aminah. Kamu pingsan dan tidak mau bangun walaupun Ibu dan Bintang berusaha menyadarkanmu, jadi Bintang berinisiatif memanggil Dokter Aminah kemari, takut terjadi apa-apa denganmu," jelas Ibu dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya.    "Ini ada alat tes kehamilan, saya harap Ibu Cahaya mau mencobanya. Saya baru menduga saja kalau Bu Cahaya sedang mengandung. Tapi cek saja dulu, nanti kalau hasil tes ini positif, maka saya harap Bu Cahaya dite
Baca selengkapnya
Ibu
  "Bi Sri! Bibi ... Cepat kemari." Teriak Mas Bintang memanggil keras Bibi Sri. Aku masih terpaku di atas tempat tidur dengan raut khawatir.    "Ya Allah ..., Ibu kenapa?" Bi Sri datang tergopoh-gopoh dengan wajah yang terkejut.   "Ibu," ratapku cemas memanggil namanya.   Mas Bintang segera mengangkat Ibu ke atas tempat tidur kami, dan membaringkannya disana.   Mas Bintang meraih ponselnya dalam saku celana lalu menghubungi seseorang dengan cemas.   "Halo, assalamualaikum. Bu Dokter bisa kembali kesini, Ibu ... Ibu saya pingsan, saya takut terjadi sesuatu dengannya."   "Itu ... Saya tidak dapat menjelaskannya, saya harap Bu Dokter bisa kesini secepatnya."   "Benarkah? Terima kasih Dok, saya t
Baca selengkapnya
Permintaanku
  "Bu Aya!" Panggil Bu dokter Aminah.   "Eh, iya Dok? Bagaimana? Ibu baik-baik saja kan?" tanyaku khawatir. Lamunanku tentang Mas Bintang seketika buyar.    "Sejauh ini beliau baik-baik saja. Cuma tadi saya periksa tekanan darah ibu naik. Cukup tinggi. Saya harap kalian jangan membuat Ibu stres atau menambah beban pikirannya. Jaga makannya, dan jangan lupa kontrol kaki Ibu. Masih melakukan terapi kan? Ingat, kaki ibu masih ada kemungkinan sembuh. Karena ibu hanya mengalami stroke ringan. Tapi tetap hati-hati." Dokter Aminah menjelaskan dengan panjang lebar tentang kondisi ibu saat ini dan memberikan anjuran yang harus kami patuhi agar ibu tetap sehat.  "Ibu Cahaya juga tolong jaga kesehatannya. Jangan terlalu banyak pikiran. Jangan juga bekerja atau melakukan aktivitas terlalu berat karena tiga bulan pertama kehamilan ini masih sangat lemah. Rawan ke
Baca selengkapnya
Sikap keduanya aneh
Kembali aku memijit kepala karena rasa pusing yang mendera. Kucoba membawa diri ini tidur sejenak, melepaskan beban yang masih menghimpit dada, tapi sia-sia. Aku tidak bisa memejamkan mata barang sedetik pun. Tidak ada rasa ngantuk. Mataku jelas terang sekali. Permintaan Mas Bintang beberapa saat yang lalu membuat pikiranku tak karuan.     Sakit. Mas Bintang tetap pergi kesana dengan alasan anak. Wanita itu tetap bisa memaksanya untuk pergi dari sini. Lelaki yang sudah menemaniku selama dua tahun itu merengek dan memohon seperti anak kecil padaku untuk bisa menemui mereka. Sebentar saja katanya, sebelum dua jam Mas Bintang berjanji akan pulang. Dia bilang anaknya menangis ingin bertemu dengannya, dan dia tak tega.   Tak tega? Lalu denganku apa, tega? Sedangkan aku yang dari kemarin menangis darah disini karenanya, tidak menyentuh hatinya barang sedikitpun.  
Baca selengkapnya
Kebohongan yang Terbaca
   Badan terasa sakit sekali. Apa ini juga karena kondisiku yang sedang berbadan dua? Setelah selesai makan malam, kami membubarkan diri. Aku masih tetap mengajak Ibu berbicara. Walaupun cuma dibalas oleh beliau dengan anggukkan atau gelengan kepala. Terserah, tidak ingin ambil pusing. Sekarang yang harus dipikirkan adalah kesehatanku dan jabang bayi yang sedang dikandung.    Aku harus bahagia. Aku mensugesti diri sendiri untuk selalu berpikir positif.   "Mas, bisa 'kan besok antar Aya ke rumah sakit? Mau cek kandungan, memastikan berapa bulan kehamilan ini," ucapku saat merebahkan diri di samping Mas Bintang. Bagaimanapun juga, aku harus melibatkan dia dalam kehamilan ini karena dia adalah ayah dari calon anak yang sedang ku kandung.   "Mas usahakan Ya, nanti di jam istirahat kantor, kita kesana." Kali ini Mas Bintang meres
Baca selengkapnya
Kejutan dari Fajar
Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Terasa hembusan udara hangat menerpa kedua mataku. Mata ini membulat sempurna mendapati Mas Bintang tersenyum renyah menyapa pagiku. Jarak wajah kami sangat dekat hingga hembusan nafasnya terasa sampai ke wajah ini.   Tangannya mendekap erat tubuhku. Sadar, kuurai pelukannya dan menjauhkan diri secara perlahan.    "Sudah pagi. Nyonya Bintang nyenyak sekali tidurnya, sampai Bapak Bintang harus meniup kedua matanya agar segera bangun," ucapnya dengan binar wajah bahagia.   Tak ada rasa senang saat kudengar ucapan mesra itu darinya. Yang ada rasa muak yang semakin memuncak dan rasa ingin muntah bila mengingat kepergiannya semalam. Jam berapakah dia balik ke rumah ini, dan lalu berbaring disampingku, seakan dia juga baru bangun tidur dari ranjang yang sama denganku?   Aku ingin membalik tubuh
Baca selengkapnya
Egois
Aku terbangun mendengar suara getaran dari ponsel yang berada di nakas.    "Hoam ...!" Mata ini masih berat untuk dibuka.   Segera kuraih ponsel. Ada tiga pesan masuk ke aplikasi chat yang populer banyak dipakai orang. Dua dari Mas Bintang dan satu dari Fajar, adikku.  Pesan pertama yang kubaca dari Fajar karena terlihat paling atas.   [Tunggu sore ya Kak, kejutanmu datang, semoga suka. Pasti suka karena kejutannya dariku.] Aku tersenyum membaca pesan darinya.   Kubuka pesan kedua dari Mas Bintang.   [Dek, Mas nggak bisa lama-lama.] Aku mengernyitkan dahi.   [Nanti malam Papa kesana.] Kulihat pesan terkirim pukul 08.10, dan dia lupa menghapusnya. Aku tertawa getir membaca dua pesan tersebut. Sepertinya salah kirim,
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status