All Chapters of Jerat Casanova Insaf: Chapter 21 - Chapter 30
118 Chapters
21. Mau Makan Kamu
"Makasih, ya," ujar Gendis turun dari motor Sakti, wajahnya masih menghangat mengingat kejadian sore tadi. "Besok kamu kerja?" tanya Sakti sambil membukakan helm yang terpasang di kepala Gendis. Gendis mengangguk, dia masih malu menatao mata Sakti. Rasanya seperti masih mempunyai utang yang harus segera di lunasi. "Masuk sana, udah malem ... ketemu lusa ya," ujar Sakti. "Lusa?" "Cie, yang mulai kangen," goda Sakti membuat Gendis semakin serba salah. "Besok aku ada beberapa meeting, takutnya janji ketemu malah nggak bisa. Kangennya di simpen dulu." Sakti berbisik di telinga Gendis. "Apaan coba, pulang sana ...." Memandangi kepergian Sakti, Gendis memutar tubuhnya melangkah menyusuri selasar rumah susun. Menapaki kakinya menaiki anak tangga, langkahnya terhenti ketika dia sadari sosok lelaki santun itu sudah berdiri di hadapannya. "Baru pulang, Dis." "Iya, Mas ...." "Tadi aku ke minimarket, Andi bilang kamu libur hari ini." "Iya Mas, ada bimbingan skripsi ... kebetulan jadwa
Read more
22. Simpan Rasa
Gendis duduk di ruang tengah sekaligus ruang tamu rumah mereka. Sudah ada ibu dan bapaknya yang seperti biasa pokus dengan acara di televisi, sedangkan Bayu sesekali tersenyum menatap layar gawainya. Setelah menemani Sakti siang tadi, Gendis minta langsung di antarkan pulang. Dia merasa waktunya bersama keluarganya agak berkurang akhir-akhir ini. "Kemarin Bapak nanya-nanya onderdil sepeda, Dis," ujar Hendro. "Ternyata kalo yang original lebih mahal harganya." Hendro menatap nanar sepeda onthel yang tergeletak di sudut ruangan dekat meja makan. "Iya, nanti ya Pak, kan bulan ini Gendis baru beliin Bayu seragam, masa Bayu mau pake baju kekecilan terus, kasihan." Gendis menyenggol lengan sang adik. "Iya, Mbak ... makasih ya. Baju yang kemarin beli bikin Bayu tambah ganteng," kata Bayu mengedikkan alisnya. "Kan emang ganteng, Bayu itu mirip Ibu tapi versi cowoknya. Ibu dulu waktu muda banyak yang naksir, entah kenapa kok berakhir sama Bapak kalian." Wati tergelak. "Tapi Ibu cinta, pa
Read more
23. Ciuman Pertama?
"Muka kek yang seneng gitu, ya?" goda Andi melihat Gendis masuk ke dalam ruang kerja mereka pagi itu dengan senyum yang sumringah. "Antara jatuh cinta kalo nggak di tembak sama gebetan." Gendis hanya menunjukkan gigi-gigi putih yang berderet rapi. "Kepo ...." "Iya lah, secara lo gede nya bareng gue," seloroh Andi. Tawa renyah Gendis terdengar, dia memilih tidak menjawab keingintahuan Andi lalu meninggalkan Andi dengan raut wajah yang masih menunggu kata-kata dari bibir Gendis. "Dasar, giliran seneng aja lupa sama temen," gerutunya. "Ibu bilang, kemarin ketemu emak di pasar," ujar Gendis sambil menghitung uang di kasir." "Iya, ibu cerita apa?" "Kata emak, kamu jadi ambil kuliah di universitas terbuka?" "Iya, makasih doanya ya, Dis. Engkong jual tanah di Kalibata, emak dapet bagian. Emak nawarin gue, mau kuliah atau gimana, kalo kuliah dia bilang pake uang itu. Ya gue pilih kuliah, kali aja hidup kami lebih baik lagi," jelas Andi. "Sip, semangat ya ... demi kehidupan kita yang l
Read more
24. Teman Pengecut
Wajah Gendis masih menekuk, kesal rasanya pada Sakti saat dia mencuri ciuman pertamanya dan diakhiri dengan ejekan lelaki itu. "Nanti belajar lagi," katanya sebelum mengantarkan Gendis pulang malam itu. "Nyebelin," gerutu Gendis menutup pintu rumahnya pelan. "Dis, darimana?" Hendro yang duduk di kursi sambil menonton televisi menoleh ketika Gendis masuk. "Bapak ... nggak narik?" "Kamu di tanya suka kebiasaan, pasti balik nanya." Gendis tersenyum, lalu ikut duduk di samping Hendro, sama-sama menatap layar televisi namun dengan pikiran yang entah kemana. "Dis, kamu sudah mau lulus kuliah, kan? tahun depan Bayu juga udah mau selesai sekolah. Bapak kok kepikiran pengen tinggal di kampung saja, ya. Tapi bukan berarti kamu dan Bayu harus ikut Bapak dan ibu, Bapak cuma pengen istirahat saja." Gendis terdiam, di tatapnya wajah lelah itu lama-lama lebih dari 25 tahun orang tua nya tinggal di kota sibuk ini, wajar jika di masa tua mereka ingin menikmati suasana yang tenang, berkumpul kem
Read more
25. Hukuman Untuk Gendis
Matahari bersinar terik siang itu, Gendis baru saja keluar dari ruangan dosen pembimbingnya. Hari ini bab terakhir skripsinya sudah dia selesaikan, Gendis mendapatkan jadwal sidang skripsi dua minggu lagi. Setidaknya Gendis bisa bernapas lega, satu tahap sudah di lalui nya. Memesan semangkuk mie ayam di kantin kampus, Gendis menduduki meja nomer tiga itu sendirian. Perutnya sudah sedari tadi berbunyi, untung saja saat di dalam ruangan tadi dosen pembimbingnya tidak mendengar. "Mie ayam komplit buat Neng Gendis," ujar pemilik kantin yang sudah mengenal Gendis. "Neng Gendis sama Neng Rika sudah jarang makan di kantin Ceuceu," ujarnya. "Iya Ceu, jadwal padat ... belum lagi kan aku masih kerja," jawab Gendis. "Makasih, Ceu." Gendis mengaduk mangkuk mie ayam pesanannya. "Sama-sama, Neng Gendis ... oh ya Neng, dengar-dengar kabar nggak enak tentang Neng Rika," kata Ceuceu khas dengan logat sundanya. "Tentang apa?" "Saurna Neng Rika teh nujuh hamil. Ceunah mah nu ngehamilan na teh
Read more
26. Sebab Dan Akibat
"Belakangan kok Ibu sering liat kamu bawa barang-barang baru?" tanya Wati pagi itu, dia meletakkan nasi goeng diatas meja makan.  Gendis yang baru saja menyesap cangkir teh miliknya pun terbatuk-batuk. "Pelan-pelan kalo minum, kayak lagi diomongin tetangga aja pake keselek." Wati kembali meletakkan piring berisi dadar telur yang diiris menjadi empat bagian. "Gaji kamu juga ngasih ke Ibu kemarin lebihnya banyak sekali," kata Wati lagi menarik kursi makan di depan Gendis. "Yang hemat, Dis ... kita patut bersyukur nggak ada hutang, bukan berarti kamu harus boros. Kamu bilang mau sekolahin Bayu tinggi-tinggi, biar bisa mengangkat derajat kita ... makan dulu." Wati menyerahkan piring berisi nasi goreng, dadar telur dan kerupuk untuk Gendis. "Makasih, Bu." Gendis menerima piring itu masih menunduk, takut menatap mata sang Ibu. "Kamu belum jawab pertanyaan Ibu, kamu nggak aneh-aneh, kan? Tetangga bilang kamu sering di antar pulang sama l
Read more
27. Kecewanya Sakti
Gendis memandangi langit-langit kamarnya, Rika sudah terlelap dari setengah jam yang lalu. Masih terngiang kata-kata Rika tentang Sakti, teman dari lelaki yang menghamili sahabatnya itu. Di dalam pikiran Gendis sudah terlalu banyak pertanyaan mengenai Sakti tapi apa dia masih akan menemui lelaki itu ketika sudah mengetahui semuanya dari Rika. Pukul 11 malam, pesan masuk di gawainya nama Sakti tertera di sana. Gendis menghela napas panjang, langkah apa yang aka dia ambil untuk dirinya dan Sakti. Baru saja dia merasakan bunga-bunga asmara dengan lelaki itu, dan sekarang berguguran begitu saja. "Besok aku jemput di minimarket, ya. Temenin aku ke suatu tempat," bunyi pesan Sakti. ***** "Lo ngapain sih?" tanya Andi sore itu. "Bentar-bentar lirik jam bentar-bentar liat ke luar. Entar lagi pulang Dis, nggak sabar banget mau ketemu Mas Jambang," goda Andi. "Ndi, nanti kalo dia datang terus aku masih ada di sini, bilang aja aku nggak ada atau sudah pulang, ya," pinta Gendis. "Kenapa? mar
Read more
28. Masalah Cinta
Gendis melangkah cepat menyusuri koridor rumah sakit, terkadang dia berlari kecil menoleh ke kanan ke kiri mencari ruangan yabg di sebutkan seseorang yang memberitahukan kejadian sore itu. Arya mengikutinya dari belakang, lelaki itu yang dia mintai tolong untuk mengantarkannya.Langkah Gendis terhenti ketika akhirnya dia menemukan ruangan yang sedang melakukan operasi. Sudah ada ayah dan ibu Rika di sana, dan dua orang polisi yang sedang menanyai beberapa orang yang mungkin menjadi saksi kecelakaan gadis itu."Tante," sapa Gendis pada wanita paruh baya yang duduk sambil menutup wajahnya dengan tangan."Gendis.""Gimana Rika, Tante?" Gendis berjongkok di depan Maria, ibu Rika."Sedang operasi di dalam, tulang kaki dan iganya ada yang patah.""Ya Tuhan." Gendis terdiam, kaki dan tulang iga Rika patah, lalu bagaimana dengan kandungannya, pikir Gendis."Rika juga mengalami keguguran," ujar Maria pelan.Gendis tercekat, matanya berkaca-kaca. Janin kecil itu, janin yang di pertahankan oleh
Read more
29. Tekad Yang Bulat
"Sarapannya, Mas." Tari masuk tanpa mengetuk pintu kamar Sakti. Gadis itu berjalan santai meletakkan nampan berisi satu piring nasi goreng dengan telur ceplok serta secangkir teh hangat. "Ada roti panggang selai coklat, kalo Mas mau bisa aku ambilin," ujarnya tanpa menoleh ke arah Sakti yang sedang memakai kaosnya. "Makasih, Tar." Tari menoleh lalu tersenyum, "sama-sama, Mas. Tari keluar dulu." "Hhmm." Sakti mengangguk. "Tar," panggil Sakti. "Ya, Mas." "Makasih juga udah bantuin gue semalam." Sakti tersenyum. "Itulah gunanya adik, Mas." Sakti mengangguk angguk lagi. "Adik ... adik ya. Umur lo berapa?" "Masuk 20 tahun, Mas." "Oh ... Nggak jauh dari Gendis," ucap Sakti nyaris tak terdengar. "Sudah mulai kuliah?" "Bulan depan," jawab Tari. "Oh, bagus lah ... yang bener kuliah, jangan kecewain orang tua gue." Kali ini wajah Sakti berubah serius dengan satu alisnya ikut naik. "Iya, Mas ... siap. Oh ya, Mas ... semalam Tari dengar, Mas Sakti babak belur karena masalah cinta?" T
Read more
30. Tamu Agung
Cari siapa?" tanya suara wanita dari dalam rumah. Pintu pun terbuka perlahan, nampak wanita yang umurnya tidak terlalu jauh dari ibunya keluar dari dalam dengan alis yang mengerut. "Cari siapa?" tanyanya lagi. "Selamat sore, benar rumah Gendis?" tanya Sakti memastikan, karena saat di anak tangga pertama rumah susun tadi dia bertanya pada seseorang dimana letak rumah yang didiami oleh Gendis dan keluarganya. "Benar, tapi Gendis sedang kerja, pulangnya mungkin malam, karena masuk shift siang," kata Wati memperhatikan penampilan Sakti dari bawah hingga ke atas. "Anak ini siapa?" tanyanya. "Siapa, Bu?" Suara bariton terdengar dari dalam melangkah menuju pintu rumah. "Saya teman Gendis, Pak ... Bu," jawab Sakti mengulurkan tangannya. "Sakti," ujarnya lagi. "Oh," ujar Hendro dan Wati bersamaan. 'Ada perlu apa?" tanya Hendro masih memperhatikan Sakti dengan seksama. Sejak kapan Gendis berteman dengan lelaki ini, setahu Hendro hanya Arya dan Andi. Lelaki yang berada di hadapannya ini
Read more
PREV
123456
...
12
DMCA.com Protection Status