Jerat Casanova Insaf의 모든 챕터: 챕터 41 - 챕터 50
118 챕터
41. Harga Diri
"Masuk, Sak." Maya meraih tangan Sakti, mengajaknya masuk ke apartemennya. "Duduk dulu, aku ambilin minum, ya." Maya berjalan ke arah bar kecil di ujung ruangan sambil membuka blazernya dan meletakkannya sembarang. "Kenapa nyari apartemen lagi kalo yang ini aja udah nyaman?" tanya Sakti mengedarkan pandangannya ke setiap ruangan lalu mendudukkan dirinya di sofa besar ruangan itu. "Aku itu orangnya bosenan, kalo udah bosen ya aku tinggal," ujar Maya. "Oh ... begitu juga dengan pasangan?" tanya Sakti menerima satu gelas berisi wine dari Maya. Maya duduk tepat di samping lelaki yang mengenakan kemeja slim fit berwarna hitam itu. "Sejauh ini ... iya. Aku termasuk orang yang mudah bosan, pada apapun. Selalu mencari suasana baru, termasuk pasangan, apalagi bercinta." Maya mengedipkan sebelah matanya. Sakti mendengus dingin, sudah dia duga wanita yang berada di hadapannya ini adalah wanita yang sangat-sangat berpengalaman, mungkin 11 12 dengan dirinya dulu. "Tapi, semakin kesini sepert
더 보기
42. Hari Bahagia
Udah lama nunggu?" tanya Sakti saat Gendis masuk ke dalam mobilnya sore itu. "15 menit," jawab Gendis tersenyum lalu Sakti memasangkan sabuk pengaman padanya. "Harum kamu beda ... kayak bukan parfum biasa yang di pake," ujar Gendis mengendusi lengan Sakti. "Enggak, perasaan kamu aja. Masih parfum yang kemarin," kata Sakti dengan debar jantung yang secara tiba-tiba berdetak kencang. "Mukanya biasa aja, aku bercanda kok." Gendis meraup wajah Sakti. "Usil," ucap Sakti dengan senyum kelegaan. "Kemana kita?" Sakti meletakkan kepalanya pada kemudi sambil mengamati wajah manis kekasihnya itu. "Terserah, pagi tadi aku udah ijin sama ibu pulang agak malam, mau pergi sama kamu." "Ibu kasih ijin?" "Iya dong, kan calon mantu," kekeh Gendis. "Pinter." Sakti menjawil ujung hidung Gendis. "Berarti kita makan malem aja, kita ke Ancol? gimana?" "Jauh amat makan di Ancol, gimana kalo kita makan pecel ayam di pinggir jalan sambil lesehan? mau?" "Yang makannya pake tangan?" Sakti mulai menyalaka
더 보기
43. I Love You
"Ibu, aku boleh bawa Gendis sebentar?" tanya Sakti saat mengantarkan kedua orang tua Gendis, serta Bayu pulang ke rumah mereka. "Boleh, tapi jangan terlalu malam pulangnya," ujar Wati memberikan isyarat pada Gendis. "Siap, Bu. Pak, aku bawa Gendis sebentar ya," ujar Sakti lagi. "Iya, hati-hati jangan terlalu malam." Hendro menjawab agak datar. Jujur saja hati lelaki paruh baya itu masih belum bisa menerima perlakuan Satyo kemarin. "Aku ikut masuk dulu ke rumah mau ganti baju," kata Gendis yang mau ikut turun dari mobil. "Eh, nggak usah. Gitu aja, cantik ... cantik dengan kebaya itu," ujar Sakti menahan tangan Gendis. "Kita pergi dulu, Pak, Bu," pamit Sakti lalu melajukan mobilnya menembus panasnya kota Jakarta siang itu. "Mau kemana?" "Mau buat kenang-kenangan," ujar Sakti berhenti di sebuah studio foto terkenal di kota itu. "Kan tadi kita udah poto-poto," sungut Gendis. "Sekalian buat poto engagement. Pertunangan kita," ujar Sakti lalu membuka bagasi belakang mobilnya memba
더 보기
44. Kemarahan Sakti
"Barangnya hanya ini?" tanya Arya pada Hendro saat menerima barang bawaan dari kuli angkut. Stasiun Tugu Yogyakarta pagi itu masih gelap, tepat pukul empat pagi Gendis dan keluarganya sampai di sana. Gendis tersenyum tipis pada Arya, gadis itu selama perjalanan dari Jakarta hingga Yogyakarta hanya diam saja. "Kita langsung ke Gunung Kidul atau ke rumah saya untuk istirahat dulu, Pak?" Arya menghidupkan mesin mobilnya. "Kalo nggak merepotkan Nak Arya, Bapak sih mau nya langsung ke Gunung Kidul saja. Biar lebih leluasa istirahat," ujar Hendro. "Oh baik, kalo begitu kita langsung saja," kata Arya. Dua jam lebih jarak tempuh yang mereka lalui, hingga mobil Arya berhenti di sebuah rumah joglo dengan halaman yang luas. Beberapa orang menyambut kedatangan mereka, dialek Jawa kental begitu terasa. Sambil menurunkan barang-barang miliknya, Arya membantu Gendis membawakannya ke dalam. "Mas Arya," panggil Gendis. "Gimana?" Arya membalikkan tubuhnya. "Mau pulang sekarang?" "Iya ... kam
더 보기
45. Hidup Baru
"Tari ... Tari!" panggil Sakti melangkah menuju dapur. "Tari!" "Ada sih, Sak ... kamu kayak orang kesetanan," ujar Hanna menuruni anak tangga, dia baru saja keluar dari kamarnya mendengar suara Sakti menggema di seisi rumah. "Tari mana, Ma?" "Ada mungkin di kamarnya," ujar Hanna bingung. "Kenapa?" "Sakti ada perlu sama dia," ujar Sakti lalu kembali memanggil Tari. Tari tergopoh-gopoh lari dari arah belakang mendengar seruan sang kakak angkat, gadis itu baru saja membantu menyiapkan makan malam. "Kenapa, Mas?" Tari melihat raut wajah Sakti yang tidak bersahabat. "Kamu tau Gendis kemana?" "Hah?" "Gendis pergi, kamu tau dia pergi kemana? Andi mungkin menyembunyikan sesuatu, dia tau soal kepergian Gendis." "Andi? Kepergian Mbak Gendis? Aku nggak ngerti, Mas." "Sakti, coba kamu cerita pelan-pelan, ada apa ini?" "Gendis pergi, Ma. Papa berulah ... aku nggak tau pasti apa yang Papa lakuin, tapi yang pasti aku yakin, Gendis mundur dan memilih pergi ninggalin aku," ujar Sakti kesal.
더 보기
46. Billy Dan Rencananya
"Mas," panggil Tari saat Sakti baru saja melangkah ke pekarangan rumah mereka. "Kenapa, Tar?" "Tari cuma mau memastikan Mas Sakti baik-baik aja," ujar sang adik angkat yang sudah satu minggu ini memperhatikan wajah Sakti tak bersemangat. "Gue nggak apa-apa, tapi mulai hari ini gue nggak balik ke rumah ini Tar," kata Sakti menyandarkan tubuhnya di badan mobil. "Maksud Mas, balik ke rumah Mas Sakti." "Enggak ... aku bakal balik ke sana kalo Gendis sudah berhasil aku temukan." "Ke apartemen lagi?" tanya Tari yang khawatir Sakri akan kembali ke dunianya yang lama. "Lebih baik seperti itu." Sakti membuka pintu mobilnya. "Gue titip mama ya, tugas lo nemenin dia," kata Sakti yang masih kecewa atas perlakuan Satyo. "Mas," panggil Tari. "Ya?" "Maaf Tari nggak bisa bantu banyak," kata gadis itu yang sudah menganggap Sakti seperti saudara kandungnya sendiri. "Enggak apa-apa, lo nggak ada hubungannya dengan ini. Kalo ini yang Gendis mau, mungkin lebih baik sementara seperti ini. Tapi gu
더 보기
47. Godaan Maya
Hanna pagi itu mengunjungi apartemen Sakti, semalam Tari baru memberitahukan padanya tentang kepergian Sakti dari rumah mereka. Hanna menggelengkan kepalanya saat memasuki apartemen yang porak-poranda itu. Setelah membuka pintu apartemen, Sakti berpindah tidur di sofa ruang tengah sambil mendengarkan ocehan Hanna yang membereskan barang-barangnya. "Setau Mama, ada yang suka bersih-bersih di apartemen kamu, Sak. Enggak kamu panggil? kalo begini yang mana baju kotor, yang mana baju bersih Mama nggak tau. Sakti, denger kan Mama bilang apa!" "Hhmm ...." "Kamu harusnya membenahi diri bukan malah kembali lagi kehidupan kamu sebelumnya. Mama bukannya nggak suka dengan kepergian Gendis tiba-tiba, tapi kalo gini kan yang susah kamu juga, kayak nggak ada semangat hidup." Sakti masih diam, matanya masih terpejam namun pendengarannya tetap tajam. "Kita boleh kecewa, tapi kamu juga harus buktikan kalo kamu bisa bangkit, kamu harus tetap semangat mencari dia kalo memang kamu masih cinta. Jika
더 보기
48. Nyaris Fatal
Tangan Maya cepat melepas satu per kancing kemeja Sakti. Tubuhnya masih bergerak di atas pangkuan Sakti, sementara Sakti mulai terlena dengan gerakan Maya yang membuat miliknya semakin keras dan menegang. "Sakti," desah Maya menciumi leher Sakti dengan liar dan bergairah. Dengan satu kali gerakan, Sakti berhasil mengangkat tubuh Maya dan meletakkannya di atas meja kerjanya. Lupa segala hal, lupa dengan yang baru saja dia lakukan, me-resign-kan dirinya dari perusahaan, bahkan Sakti lupa dengan kata-kata yang dia ucapkan sebelumnya. Layaknya lelaki yang sudah di mabuk kepayang, Sakti berdiri di hadapan Maya, membuka lebar kedua kaki Maya bahkan rok sepan yang wanita itu gunakan sudah terangkat diatas lututnya. "Do it, Sakti ... I'm yours," ucap Maya manja sambil menarik lepas ikat pinggang Sakti. Sakti membalas ciuman liar Maya, bahkan tangannya tak lepas meremas dada Maya. Satu tangan lagi Maya arahkan pada organ intimnya, tubuh wanita itu menggelinjang tak tentu arah. Tangannya as
더 보기
49. Dua Misi
"Tari," sapa Sakti menghampiri Tari yang duduk di sudut kafe siang itu. "Mas," ujar Tari lalu berdiri dari tempat duduknya. "Duduk, Mas." Tari mempersilahkan kakak angkatnya itu duduk di sampingnya. "Makasih." Sakti menarik kursi di sebelah Tari, matanya mengedar mencari seseorang. "Andi?" "Dalam perjalanan, tadi dia harus pulang dulu." "Oh." "Mas ... Tari dengar dari ibu, Mas Sakti keluar dari perusahaan Pak Satyo? Kenapa?" "Aku sudah malas berhubungan dengan orang seperti mereka termasuk papa, Tar. Penat kepala aku, di pikiran papa hanya kekuasaan, kekayaan dan keegoisan saja." "Artinya, Mas Sakti menolak di jodohkan?" "Iya, apalagi itu ... mengada-ada. Memaksakan kehendak sendiri, belum lagi wanita yang di jodohkan ke aku ada aja ulahnya." "Ulah?" tanya Tari mengerutkan alisnya. "Biasalah, enggak harus aku jelasin kan." "Syukurlah kalo Mas Sakti menolak perjodohan itu. Tapi kasihan ibu, setiap hari ibu dan Pak Satyo selalu bersitegang. Di rumah sudah jarang sekali ibu dan
더 보기
50. Konsultan Bisnis
"Kenal Mas Arya dimana?" tanya Ami manager HRD tempat Gendis bekerja. Sore itu Ami menawarkan diri mengantarkan Gendis pulang ke kost nya. "Kami pernah satu tempat tinggal ... maksud aku tetangga sewaktu di Jakarta dulu," ujar Gendis. "Oh saat dia melanjutkan S2 ya?" "Iya, Mbak. Mbak Ami sendiri kenala dimana?" "Dikenalin teman, ketemu sewaktu gala dinner di perusahaan tempat Mas Arya kerja." "Oh." Gendis mengangguk-angguk. "Dis." "Ya, Mbak." Gendis menoleh ke arah Ami yang sedang mengemudikan mobilnya. "Mas Arya sudah punya pacar? Aku nggak berani nanya-nanya padahal kita udah dua bulan kenal." Ami tersenyum malu-malu. "Pacar?" Gendis merasa tak enak hati, seketika dia teringat saat dulu Arya menyatakan perasaannya dan sampai detik ini Arya masih menunggunya. "Iya, Mas Arya sudah punya pacar belum? Kamu kan dekat tuh sama dia, kali aja dia pernah cerita-cerita tentang seseorang spesial di hati dia." "Oh ... Em, setahu aku enggak ada Mbak," "Mau bantu aku?" tanya Ami kemb
더 보기
이전
1
...
34567
...
12
DMCA.com Protection Status