Semua Bab Wanita Yang Melamar Suamiku: Bab 81 - Bab 90
117 Bab
Bab 81. Warung Makan Bening Maju Pesat
Bab 81. Warung Makan Bening Maju Pesat “Ning! Bapak-bapak ini dari perwakilan kantor PT Genteng Agung yang di Jalan sisingamangara. Mereka ingin memesan menu makan siang sebanyak dua ratus kotak setiap hati kerja, kita sanggup, toh, Ning?” Mas Dayat menjelaskan padaku. “Dua ratus kotak setiap hari Kerja?” ulangku kaget. “Iya, Ning! Kita pasti bisa, kok! Kita terima, ya! Mereka sudah menciicpi menu makanan dari warung ini, dan katanya pas dengan lidah para pegawai mereka.” “Loh, kapan mereka mencicipi makanan di warung ini?” “Wes, itu endak penting! Kita terima, wess! Siap, Pak, kami terima, Mulai besok kami akan antar! Saya sediri yang akan mengantarnya!” Tak menunggu jawabanku, Mas Dayat sudah memutuskan. Aku hanya bisa melongo. Belum pulang tamu itu, telepon Mas Dayat berdering lagi. “Iya, Pak, siap? Mulai besok, kan. Seratus dua puluh kotak setiap hari kerja, ya, baik, Pak! Siap-siap!” jawabnya melelaui teleponnya. Mas Dayat kenapa? Ada total tujuh kerja sama orderan
Baca selengkapnya
Bab 82. POV Ambar (Mas Wisnu Mencurigakan)
Bab 82. POV Ambar (Mas Wisnu Mencurigakan) “Kenapa belum ada beritanya kalau si Yosa dan si Sigit akan dikeluarkan dari penjara, ya?” tanya ibu saat kami sedang makan malam bersama hari ini. “Iya, kata pengacara Yosa, tidak ada kemajuan apa-apa. Bening tak juga mencabut gugatannya. Dia sudah nipu kita,” jawab Sekar. Aku memilih diam. Begitupun Mas Wisnu dan Bayu suami Sekar. “Kurang aj*r si Bening! Bisa-bisanya dia menipu kita! Apa maksudnya! Padahal dokumen penting yang diminta itu sudah Ibu berikan, dasar pengkhianat! Kalau begini si Yosa sama Sigit harus menjalani hukuman yang lima tahun itu. Nunggu dia keluar, ibu keburu mati! Kapan bisa senangnya? Sia-sia perjuangan kita menikahkan mereka!” sungut Ibu meletakkan sendok makannya. Kini dia bersandar di sandaran kursi yang didudukinya seraya menghela nafas berat. Aku masih saja diam. Kukunyah nasi di mulutku pelan-pelan. Aku tak selera makan. Semua terasa hambar. Tenggorokan terasa sakit saat dipaksa menelan. Kulirik Mas
Baca selengkapnya
Bab 83. Mas Wisnu Memberiku Nafkah Batin
Bab 83. Mas Wisnu Memberiku Nafkah Batin Aku melangkah ke ruang tv. Kulihat dari kejauhan Mas Wisnu sedang memainkan ponselnya. Wajahnya terlihat sangat senang. Dia juga senyum-senyum sendiri. Ngapain dia? Padahal telivisi menyala di depannya. Tetapi tatapannya tetap fukus ke layar ponselnya. Jemarinya juga sibuk mengetik, lalu senyum-senyum lagi. Dia sedang chatingan dengan siapa? Mungkin teman kantornya. Begitu pikirku, sedikitpun tak curiga. Ok, aku akan kagetin dia. Mengendap aku berjalan menghampiri. Aku akan tutup matanya dari belakang. Asik berbalas chat membuat dia tak juga sadar kalau aku sudah berdiri di belakang kursi yang dia duduki. Tanganku sudah siap untuk menutup matanya dari belakang, namun segera urung saat melihat layar ponsel di tangannya. Astaga, jadi dari tadi Mas Wisnu chat-an mesum …. dia begitu menikmati foto bugil seorang perempuan di layar ponselnya. Foto yang dikirim oleh teman chatnya melalui aplikasi hijau. [Kangen enggak, nih, mau lagi enggak?] Itu
Baca selengkapnya
Bab 84.  Menggerebek Suamiku Di Kamar Hotel
Bab 84. Menggerebek Suamiku Di Kamar Hotel “Mbak Ambar?” Bening menyapaku meski jarak kami masih beberapa meter. Beraninya dia menyapaku? Bukannya malu karena aku pergokin dia sedang sama pelanggannya. Astaga, dasar perempuan udik enggak pernah makan bangku sekolahan! Urat malunya sudah dia kubur sepertinya. Dia enggak malu menyapaku, tapi aku yang malu disapa olehnya. Siapa yang enggak malu coba disapa oleh seorang perempuan bookingan, coba? Ih, amit-amit! Tetapi, kok, dia terlihat berubah banget, ya? Wajahnya terlihat begitu manis dengan senyum merekah di bibirnya yang makin ranum dan segar itu. Aneh, makin hari dia terlihat makin cantik saja. Saat dia datang ke rumah ibu untuk mengambil dokumen waktu itu saja aku sudah terheran-heran melihat perubahannya. Dan hari aku makin pangling lagi dibuatnya. Ada apa dengan dia. Kenapa dia bisa berubah makin cantik, ya? Wajah yang dulu kusam, kumal, berdaki, bersisik karena kering dan kurang gizi, kini terlihat makin bersih, mak
Baca selengkapnya
Bab 85. Pasangan Mas Wisnu Ternyata ….
Bab 85. Pasangan Mas Wisnu Ternyata …. Kenapa Mbaknya Mas Elang bilang dia ada di kantor suaminya? kalau iya, lalu siapa yang bersama Mas Wisnu di dalam sana? Ini sungguh tak masuk akal. Jelas-jelas aku membaca chat mereka tadi malam. Alamat yang tertulis di situ juga jelas. Kenapa, sih, ini? Kepalaku jadi sakit tiba-tiba. Memikirkan Bening yang tiba tiba berubah makin cantik saja aku sudah mumet, tambah lagi dengan kebingungan ini. “Mbak dengar sendiri, kan, kalau Mbak saya sedang ada di kantor Mas saya, suaminya. Sudah saya bilang, tadi, Mbak salah orang. Mbak Nuri itu memang orangnya ketus, bahasanya kasar, mulutnya juga enggak ada sopan-sopannya. Tapi saya yakin, untuk selingkuh dengan suami orang, itu tak mungkin! Lagi pula dari mana jalannya dia kenal dengan suami Mbak? Kakak saya itu tinggal di Tawang Sari, jauh dari sini,” kata Elang terlihat sangat tersinggung. Aku terdiam. “Untung Bening mengingatkanku untuk nelpon Mbak Nuri dulu, kalau tidak, bisa berabe semuanya. M
Baca selengkapnya
Bab 86. POV Wisnu (Obsesiku Pada Bening)  
Bab 86. POV Wisnu (Obsesiku Pada Bening)Sudah beberapa minggu ini aku uring-uringan. Entahlah, ke kantor pun rasanya tak bersemangat. Semua serba salah. Hidup terasa hambar, monoton, tak ada tantangan sama sekali. Semua membosankan. Semua ini pasti karena Bening.Kenapalah dia pergi dari rumah ini. Semua jadi kacau setelah keperginnya. Aku terutama. Tak bisa lagi mengkhayal tentang dia, tak ada lagi yang menjadi sumber imajinasiku. Kalau dulu, bila aku merasa jenuh, aku bisa ke belakang malam-malam. Mengintip dari sela sela dinding kamarnya yang berlubang.Sumpah dia sangat seksi saat menyusui anaknya, gairahku meronta-ronta. Dia ibarat alat penambah daya, bila baterai ku habis, aku harus isi lagi. Dia adalah carger. Dayaku kembali penuh bila sudah melihat bagian tertentu dari tubuhnya.Yang paling menguntungkanku adalah, dia selalu mendapat giliran mandi di malam hari. Setelah semua pekerjaan rumah ini tuntas dia kerjakan. Ini sungguh suatu mukjizat bagiku. Karena aku sudah pulan
Baca selengkapnya
Bab 87. Talakku Untuk Ambar
Bab 87. Talakku Untuk Ambar Betapa aku merasa enggan. Nafsuku seketika hilang. Meski sudah kucoba untuk menyentuhnya. Namun, aku tetap gagal. Andai Bening masih ada di sini, mungkin Ambar bisa terbantu. Aku akan pura-pura ke kamar mandi dulu, meningkatkan libidoku setelah mengintip Bening melalui dinding kamarnya. Lalu kembali masuk kamar, menuntaskannya dengan Ambar. Sekarang itu tak bisa lagi. Aku sama sekali tak berselera. Semoga Ambar tidak kecewa. Tapi, aku sendiri merasa menderita. Hasrat yang sempat memuncak tak bisa kutuntaskan. Semoga besok Nuri benar benar bisa datang. Ahk, aku bawa tidur saja, menanti esok tiba. * "Sayang, kamu di mana?" sapa Nuri begitu aku tiba di kamar hotel yang telah kami pesan. "Aku sudah di kamar, Sayang. Baru saja keluar kantor. Kukira aku telat, tadi. Nyatanya kamu belum tiba. Kamu sudah otewe kan, Sayang. Cepat, ya, aku kangen banget, nih. Udah enggak sabar," sahutku sembari melemparkan tubuh di atas ranjang besar kamar h
Baca selengkapnya
Bab 88.  Ipar-iparku Menjadi Janda
Bab 88. Ipar-iparku Menjadi Janda “Tidak, Mas! Aku tidak mau! Aku tidak mau kamu talak! Aku tidak mau kita berpisah! Harusnya aku yang marah! Harusnya aku yang minta talak. Kenapa malah kamu yang nalak aku, Mas!?” Mbak Ambar sontak memeluk kaki Mas Wisnu. “Ya, aku yang salah. Aku akui aku yang salah. Tapi, aku tidak akan minta maaf padamu. Karena aku memang sudah tak niat melanjutkan pernikahan ini. Sudah sangat lama aku memendam ini. Aku bosan padamu, Ambar. Aku jenuh di pernikahan kita! Sedikitpun aku tak nafsu lagi. Tolong lepaskan kakiku!” sergah Mas Wisnu melepaskan pegangan Mbak Ambar dengan kasar. “Aku akan maafin kamu, Mas! Aku enggak akan marah meskipun kamu sudah selingkuh dengan adikku! Aku yakin Sekarlah yang menggodamu! Kamu tidak bersalah, Mas! Asal kita tidak berpisah!” Mbak Ambar menghiba. Aku tersentak kaget. Segila itukah mantan kakak iparku ini? Sudah jelas-jelas melihat suaminya tidur dengan perempuan lain, adik kandungnya sendiri, tapi dia malah bilang mau
Baca selengkapnya
Bab 89. Mbak Ambar Menyerang Kaki Mas Elang
Bab 89. Mbak Ambar Menyerang Kaki Mas Elang “Ning!” Seseorang memanggil dan menghentikan langkahku. Itu suara Mbak Ambar. Terdengar langkahnya mendekat, aku sontak berbalik, khawatir dia menyerangku dari belakang. “Kamu hebat! Kamu sungguh-sungguh hebat!” ucapnya dengan senyum menyeringai. Apa maksudnya? Kenapa dia? “Semua yang menimpaku, menimpak keluargaku, ini adalah hasil dari doamu, kan?” tandasnya menatapku tajam. Kedua matanya merah, nafasnya terengah-engah. Sepertinya dia sedang sangat marah. Emosi tengah membakar, seperti letupan larva di kawah gunung berapi, siap untuk dimuntahkan. “Maksudnya apa, Mbak?” tanyaku bingung. “Kami berjuang menikahkan Sigit dengan Yosa, tapi kenikmatan yang kami dapat tak sampai belasan hari. Selanjutnya penderitaanlah yang kami perolah. Bahkan semua berakhir seperti ini. Aku, Sekar, Ibu, Sigit, Yosa, kami semua hidup menderita! Bahkan semua anak-anak juga akan kena imbasnya. Semua itu karena sumpahmu, iya, kan!” Wanita itu tiba-tiba
Baca selengkapnya
Bab 90.  Bude Asih  Datang Setelah Lama Menghilang
Bab 90. Bude Asih Datang Setelah Lama Menghilang “Kowe sopo? Aku mau cari Bening! Mantuku yang wes sugih! Minggir!” ketusnya melepaskan peganganku. Namun, tak mau kulepas. “Lepaskan tanganku! Aku mau keliling lagi! Mau cari Bening! Mau cari cucu-cucuku! Niken wes mati! Sigit wes mati! Ambar wes modar, Sekar wes eddan. Aku mau tinggal karo Bening. Mantu kesayanganku! Mantuku yang paling baik! Ndak pernah ngelawan! Selalu baik karo aku. Awas kowe!” Tiba-tiba dia menghentakkan tanganku dengan kencang. Aku hampir saja terjungkal. Tenaganya berubah menjadi begitu kuat. Kok, bisa? Padahal tubuh kurus tak berdaging itu tampak begitu lemah. Tenaga dari mana tadi itu. “Siapa, dia, Ning? Ibu yang sudah selesai memberi ramuan kepada Mas Elang datang menghampiriku. Bude Asih melangkah pergi. Kaki kurus tak beralas itu terus berjalan. Sementara mulutnya tak henti mengoceh. “Aku nggolek i Bening, neng endi, toh, kowe, nduk? Ning! Aku ra nduwe sopo-sopo meneh, ra nduwe omah, Ning! Mbuh a
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
789101112
DMCA.com Protection Status