All Chapters of Wanita Yang Melamar Suamiku: Chapter 61 - Chapter 70
117 Chapters
Bab 61. Bu Ajeng Mengusirku Saat Mas Mas Elang
Bab 61. Bu Ajeng Mengusirku Saat Mas Mas Elang “Mas,” gumamku masih tak percaya. Aku menunduk di depannya, sedikitpun tak berani menoleh ke arah Bu Ajeng dan Mbak Kinanti. Aku sangat takut.“Tenang, Ning! Jangan takut! Ada aku.” Mas Elang melepas daguku. “Maaf, aku telah lancang mengecup keningmu, tak ada maksud apa-apa di hatiku. Kecupan itu sekedar untuk menunjukkan pada Ibu, bahwa dia tak boleh memerintahkanku untuk menyukai Kinanti. Tak ada kewajiban untukmu, untuk membalas perasaanku, meski aku sangat mencintaimu. Kau tak harus membalas cintaku, Ning!” lirih Mas Elang dengan tatapan sendu.“Mas ….” sergahku pelan. Kembali hatiku rasa teriris. Masih juga dia berpikiran kalau aku menolaknya.“Tolong, jangan terlihat lemah di depan Ibu! Kau bukan perempuan lemah! Kau wanita kuat, kau wanita yang sangat berharga!” ucapnya lagi menyemangatiku.“Bagaimana kalau Bu Ajeng marah dan memaksaku untuk bayar utang-utangku, Mas? Aku belum punya uang untuk bayarnya. Hasil penjualan hari ini
Read more
Bab 62. Terancam Di Penjara, Untung Ada Mas Dayat
Bab 62. Terancam Di Penjara, Untung Ada Mas Dayat“Kalian berdua-duaan di dalam rumah ini! Apa saja yang telah kau lakukan pada Mas Elang, ha? Selain kau berteriak kalau kau cinta dia, apa lagi yang telah kau lakukan? Pasti sudah kau berikan tubuhmu, iyakan? Kau sudah tidur dengannya, jawab, Bening!” teriak Kinanti lagi meluapkan segenap kebenciannya padaku.Tak ada yang menolongku, tak akan ada yang datang untuk menolong. Tapi, bukankah Bu Ajeng bilang sudah menelpon Mas Dayat? Semoga dia cepat datang. Tapi, andaipun Mas Dayat datang, maukah dia menolongku? Aku ragu setelah kejadian kemarin itu. Aku tak bisa mengharapkan pertolongan darinya.Lalu bagaimana? Mas Elang masih saja diam tak bergerak. Aku dikeroyok. Kata Mas Elang aku wanita kuat, aku bukan perempuan lemah. Ya, aku kuat, aku wanita kuat. Aku kuat. Aku pasti bisa melawan mereka bedua.“Aaaauw …!” Tiba-tiba Mbak Kinanti berteriak, kakiku bergerak menghantam ke arah belakang dengan sangat kuat. Sepertinya mengh
Read more
Bab 63. Ketika Mas Elang Harus Memilih
Bab 63. Ketika Mas Elang Harus Memilih“Opo! Kowe ngomong opo!?” Bu Ajeng makin melotot.“Kemarin itu saya sempat enggak percaya pada Mas Elang. Saya khawatir dia hanya mempermainkan Bening. Itu sebab saya melapor pada Ibu kalau Bening tinggal di sini. Tapi setelah melihat kegigihan Mas Elang dan melihat bagaimana besarnya cinta Bening kepada Mas Elang, saya baru sadar. Saya ihklas, saya ihklas Mas Elang mendapatkan Bening! Saya percaya Mas Elang mencintai Bening dengan tulus! Saya mundur. Tapi, saya akan tetap berjuang untuk membela cinta Mas Elang dengan Bening! Saya akan bahagia bila Bening bahagia bersama Mas Elang!”“Dayat! Kowe …!” teriak Bu Ajeng tak percaya. Telunjuknya lurus ke arah muka Dayat. “Nopo semua orang kerjaku berkhianat? Kowe kerja karo aku iku wes puluan taun, Yat! Kowe tak didik, tak kasih mangan, tak kasih duit, tak kasih hidup layak! Kayak ngene balasanmu? Dasar wong kampung ra nduwe otak! Tak pecat kowe, Yat! Kene kunci mobil! Men mapus kowe ra nduwe ker
Read more
Bab 64. Bu Ajeng Terkapar
Bab 64. Bu Ajeng TerkaparMas Elang menghela napas lagi, wajahnya begitu susah. Aku harus membantunya membuat pilihan. Kugenggam tangannya dan kutatap matanya dengan penuh perasaan.“Jangan bingung, Mas! Ibu tidak salah. Dia melakukan ini karena dia sangat sayang sama Mas Elang. Jangan durhaka, ya! Karena surga itu letaknya di telapak kaki seorang Ibu. Pilih Ibu, ya, Mas! Tentang perasaan kita, seiring waktu berjalan, kita pasti bisa saling melupakan,” ucapku lembut.“Hem, terima kasih, Ning!”Deg! Nyessss!Kenapa hatiku perih mendengar jawabannya? Aku yang menyarankan, aku yang meminta dan dia iyakan, dia ikuti saranku, dia tak membnatahku, tapi hatiku sakit? Aku ternyata sanagt mencintainya. Aku merasa sangat sakit bila harus kehilangannya. Saat Mas Sigit menikah lagi waktu itu, aku juga merasa sakit. Sangat sakit. Tapi tidak sesakit ini. Sumpah, ini terlalu sakit.“Ya, Mas!” Bibirku masih sanggup berucap. Aku bangkit perlahan, memberi jarak antara aku dan Mas Elang. Karena s
Read more
Bab 65. Dukungan Nek Ayang
Bab 65. Dukungan Nek Ayang“Maaf, ini siapa, ya?” tanyaku kaget. Nomor yang memanggil adalah nomor biasa dipakai Mas Elang nuat nelpon aku. Tapi, si penelepon kali ini adalah seorang perempuan.“Gak penting siapa. Apa benar kamu tinggal di rumah Nek Ayang yang di samping gang Kolam?”“Iya, Mbak siapanya Mas Elang? Kok hape Mas Elang ada sama Mbak?”“Urusan apa sama kamu, yang ada itu aku yang nanya kamu, kenapa ponsel Elang yang satu lagi ada sama kamu?!”Aku terdiam. Bukan tidak mau menjawab, tapi aku merasa tak perlu menjawab pertanyaan orang yang tidak kukenal. Tak ada urusan dengannya juga.“Kok, diam? Enggak bisa jawab? Ya, sudah aku mau kita bertemu! Kamu jangan ke mana-mana, aku datang! Kau harus jelaskan semuanya padaku! Termasuk tentang Ibuku yang terpaksa masuk rumah sakit gara-gara kamu! Tunggu di situ!”Telepon terputus. Kembali perasaan tak nyaman menderaku. Belum juga selesai masalah yang satu, ini datang lagi masalah baru. Tapi, aku akan tetap kuat. Kata Mas Elang aku
Read more
Bab 66. Ingin Menggugat Cerai Tapi Terhalang
Bab 66. Ingin Menggugat Cerai Tapi Terhalang“Ya, Elang menginginkanmu, Nduk! Dia mencintaimu. Bukan Kinanti, bukan pula Nirmala.”“Maafkan saya, Nek! Saya gak ada maksud apa-apa. Saya juga enggak pernah merayu-rayu Mas Elang.”“Nenek paham, Ning! Nenek tahu perempuan seperti apa kamu, Nduk! Nenek justru sangat berterima kasih padamu. Karena kamu mau menerima Elang apa adanya.”“Justru saya yang tak pantas sama Mas Elang, Nek. Kata Bu Ajeng, saya ini gak jelas bibit, bebet dan bobotnya.”“Karena itu kamu kirim dia ke rumah sakit?” Nek Ayang terkekeh. Aneh, kenapa dia malah tertawa. Kenapa dia tak memarahi aku? “Kamu hebat, Ning! Kamu berhasil memberi Ajeng pelajaran berharga,” lanjutnya setelah tawanya reda.“Maafkan saya, Nek! Saya enggak ada maksud seperti itu. Saya ….”“Berhenti merasa dirimu berasalah, Bening! Berhenti minta maaf! Kamu tidak bersalah sama sekali! Dari tadi Nenek perhatikan kau minta maaf terus. Kamu harus punya prinsif! Selama kamu tidak melakukan kesalahan, ja
Read more
Bab 67. Perintah Nek Ayang Menjemput Bayiku
Bab 67. Perintah Nek Ayang Menjemput Bayiku “Banyak perempuan yang harus kau hadapi, Nduk! Banyak musuh yang harus kau kalahkan. Itu hanya untuk mendapatkan Elang. Nenek mohon, jangan menyerah! Sebab Nenek akan ada untukmu. Nenek akan berjuang untukmu dan Elang cucuku,” tegas Nenek membalas tatapanku. Hatiku terenyuh. Begitu tulusnya dia padaku. Dan hanya dia mendukungku. Seketika mataku panas dan perih. Kutahan agar tak menangis di hadapan Nek Ayang. Tangis karena haru.“Bagi nenek, Elang adalah segalanya. Tinggal dia saja perjuangan nenek hidup di dunia ini. Sebentar lagi, mungkin esok, nenek akan meninggalkan dunia ini. Nenek ingin mati dengan tenang, Nduk. Nenek akan tenang jika Elang sudah didup bahagia. Dan bahagia Elang itu adalah kamu, Ning! Tolong bahagiakan Elang, ya, Ning!” pintanya lagi. Mata tuanya memohon, begitu memelas.Pantaskah dia memohon seperti itu padaku? Aku ini siapa? Wajar jika perempuan-perempuan di sekitar Mas Elang tak menyukaiku. Karena memang aku tak
Read more
Bab  68. Pria Yang Bersama Mbak Nuri
Bab 68. Pria Yang Bersama Mbak Nuri "Ning, cepat! Elang sudah datang!" Terdengar teriakan Nek Ayang. Hatiku berdebar. Mas Elang..... Entah mengapa aku ingin terlihat cantik di mata Mas Elang nanti. Tapi bagaimana caranya? Kutatap wajahku sekali lagi di pantulan cermin kusam yang menempel di dinding kamar. Terlihat pucat. Kuraih bedak putih milik anak-anak. Kuoles di wajahku. Lumayan untuk menutupi kulit kusamku. Tapi aku tak punya pewarna bibir. Bibirku tampak pucat. Ah, aku jelek sekali. Sudahlah, begini saja. "Ning....!" "Iya, Nek!" Gegas aku keluar kamar, langsung menuju pintu depan. Nek Ayang menatapku dari samping steling jualan. "Sek sek!" panggilnya lalu menghampiriku. Wanita itu lalu membuka tas tangannya yang tadi dia letak di salah satu meja. Mengeluarkan dua buah benda dari dalamnya. "Mingkem!" perintahnya, lalu mengoleskan sesuatu di bibirku. "Ratakan, satukan bibirmu! Hem, cantik, seger!" ucapnya lalu membuka tutup botol kecil di tangannya. B
Read more
Bab 69.  Mas Elang Tiba-tiba Bisa Berdiri
Bab 69. Mas Elang Tiba-tiba Bisa Berdiri “Liatin apa, sih? Serius banget?” Aku tercekat. Mas Elang melirikku sekilas, lalu fokus lagi ke jalan raya. Haruskah aku ceritakan kepadanya? Aku ragu. Bagaimana kalau aku salah? Meski aku yakin aku tak salah lihat, entah kenapa aku tetap saja ragu mengatakannya. Baiklah, aku diam saja dulu. Bila semua sudah jelas, baru aku cerita pada Mas Elang bahwa pria yang bersama kakaknya tadi itu adalah mantan kakak iparku. Begitu tekatku. “Hey, ditanya malah bengong!” cecar Mas Elang lagi. Enggak ada, Mas. Aku noleh ke belakang untuk mastiin saja, Mbak Nuri udah pulang atau belum. Aku tajut dia ngamuk lagi sama Nek Ayang,” sahutku. “Jangan kuatir! Enggak ada yang berani melawan Nek Ayang. Bahkan Ibu saja takluk sama dia, apalagi Mbak Nuri.” “Syukurlah.” “Nada pindah ke depan saja, Sayang, sepi sendiri di belakang, kan?” Mas Elang menoleh ke belakang. “Enggak usah, Om. Nada mau bobok saja, Sendiri malah enak, kakinya bisa naik sekalian, enggak
Read more
Bab 70. Pengobatan Alternatif Buat Kaki Mas Elang
Bab 70. Pengobatan Alternatif Buat Kaki Mas Elang Wajah tampan Mas Elang sedang tertawa, kening kokohnya sedang tertawa, mata elangnya, hidung mancungnya, bibir tegasnya, dagu nya, rahangnya, semua yang ada pada dirinya sedang tertawa. Aku terpana. Seperti itukah tampilan Mas Elang saat berdiri? Dia begitu tinggi, tegap, ya, Tuhan … aku siapa? Apa pantas aku bermimpi berdiri di sampingnya? Tidak! Aku tidak pantas sama sekali. Mas Elang layaknya seorang pangeran tampan, sedang aku hanyalah seorang emban. Aku hanyalah upik abu yang bermimpi di persunting oleh putra mahkota. Pantas saja Bu Ajeng sampai iatuh pingsan saat Mas Elang memilih aku saat dia dihadapkan dengan dua pilihan. Pantas saja Mbak Kinanti tak henti mengingatkan siapa aku. Pantas saja Mbak Nuri menuduhku menggunakan ajian goyang ranjang untuk menjerat adiknya. Ternyata, sang adik adalah seorang pangeran. “Ning, coba bantu, Bapak, Nduk, sini dekat!” Aku tersadar dengan panggilan Bapak. “I-iya, Pak?” sahutku berjalan
Read more
PREV
1
...
56789
...
12
DMCA.com Protection Status