Semua Bab DIA AYAHKU: Bab 11 - Bab 20
111 Bab
Part 11
Aku berpisah dari Paman di ujung jalan. Dia berangkat ke kantor dengan kemeja lama Ayah. Sungguh pakaian itu pas sekali untuk dia pakai. Teringat kembali saat dulu Ayah mengenakan baju itu. Begitu gagah dan sangat berwibawa. Jabatan yang nyaris sempurna di perusahaan asing tempatnya bekerja, membuat Ibuku tak pernah melepaskan pandangan darinya. Selalu minta ikut jika ada hajatan atau acara dari kantor. "Risma tak mau kalau Abang digoda sama wanita lain. Bahkan anak sekolahanpun bisa naksir, kalau Abang segagah ini," rajuk Ibu. Tapi itu dulu. Dulu sekali. Kini Ibu bahkan tak ingin melihat tubuh kurus Ayah lagi. .Sepulang kuliah aku pergi menuju konter di ujung jalan. Lagi-lagi aku harus kecewa karena ponsel ini mati total. Kecil kemungkinan akan bisa normal kembali seperti semula. Kalaupun hidup, ada beberapa hal yang tidak bisa berfungsi lagi. Dan itu artinya aku harus mengganti ponsel ini dengan yang baru. Mereknya bukan main-main. Harganya berkisar hingga lima sampai enam ju
Baca selengkapnya
Part 12
Aku membuang muka, tak menjawab. Apakah menggoda itu sama dengan bentuk merendahkan? Atau hanya aku saja yang terdengar sensitif? "Apa sekarang kita berteman?" Aku berharap. Dia mengernyitkan dahi. "Kau benar-benar sedang merayuku, agar aku meringankan tuntutan atas hapeku itu?""Apakah boleh? Bisakah aku seperti itu?""Kau ini wanita seperti apa?""Seperti apa maksudmu?""Kau sama sekali tak pandai dalam merayu. Kalau bukan aku, lelaki lain pasti tidak akan memperdulikanmu. Mereka bahkan tidak akan tertarik."Eh? Apa itu artinya dia tertarik? Aku berhasil? **********Minggu pagi. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Aku baru saja bangkit saat terdengar suara orang mengobrol. Ayah sedang sarapan bersama Paman Harun. Kapan dia datang? Ini bahkan masih terlalu pagi untuk ukuran hari libur. Dia kembali membawa banyak makanan untuk aku dan Ayah. Jumlahnya sama persis saat kubilang masih ada Ibu dan Dara di rumah."Sarapan, Sarah. Harun bawa banyak makanan."
Baca selengkapnya
Part 13
Akhirnya kami sepakat. Aku dan Ayah akan pindah ke rumah Paman besok pagi. Tepat masanya habis kontrak untuk bulan ini. Entah Ayah merasa keberatan atau tidak, tapi inilah saatnya aku kembali mengangkat derajat Ayah. "Mau kemana?" tanya Ayah, saat aku sudah berdandan rapi. "Bayar hutang!" seruku. Ayah mengernyit. Akupun tertawa sambil memijat bahunya. "Sarah ingin menemani Hana, Yah.""Bukannya kau libur?""Kali ini sebagai teman. Hana minta ditemani jalan. Ayah tidak keberatan, kan?" rayuku, sambil terus memijat bahunya seperti yang dari dulu aku lakukan jika menginginkan sesuatu. "Kau tidak sedang berbohong, kan?" tuding Ayah. "Ayah tahu kapan kau jujur dan kapan juga kau berbohong. Katakan kau ingin pergi dengan siapa?" desak Ayah.Aku menghentikan gerakanku, kemudian duduk berlutut di depannya. Bukan, bukan karena aku ingin memohon sesuatu, tapi karena di rumah ini memang tidak ada kursi untuk aku memberikan kedudukan yang tinggi buat Ayah. Hanya dengan berlutut, tinggi kami
Baca selengkapnya
Part 14
Andar sudah menungguku di ujung tiang listrik dekat parkiran. Tak ada ransel atau embel-embel alat-alat kerja yang sudah menjadi ciri khasnya. Menurutku. Dia melambaikan tangan, seolah aku tak tahu kalau dia di situ. Aku membalasnya dengan senyuman. Setidaknya senyumku ini bisa saja berharga lima sampai enam juta. "Sudah lama?" Aku berbasa-basi. Tentu saja dia menungguku lama. Bukankah aku harus menyanyikan lagu Indonesia raya dan Padamu Negeri dulu sebagai syarat dari Ayah? Sudah jutaan kali aku menyanyikan lagu itu setiap menginginkan sesuatu. Apa Ayah tidak ingin mendengar lagu-lagu lain? Lagu daerah misalnya. "Tidak apa. Itu hanya akan mengurangi poinmu," tukasnya, sambil menyodorkan helm bogo bergambar kartun kuda poni berwarna pink. "Punya siapa?" Aku menyambut benda berat itu. "Pakai saja!""Milik pacarmu, ya?" Aku mengendus bagian dalam pelindung kepala itu. Mencari aroma-aroma yang identik dengan wanita. "Kalau aku punya pacar, aku tidak akan mungkin memilih untuk jala
Baca selengkapnya
Part 15
Aku dan Ayah mengamati satu persatu kamar kami. Paman bahkan menukar letak kamarnya di sebelah kamarku, sedangkan kamar utama di depan dia berikan pada Ayah. Ayah bilang tidak perlu sampai seperti itu. Tapi Paman Harun tetap bersikukuh bahwa itu adalah bentuk penghormatan bagi orang yang dituakan. "Jangan berpikir kalau aku melakukan ini karena ingin dekat dengan kau, ya?" Dia mengingatkan.Aku kembali menghela nafas. Sindrom apa yang Pamanku ini derita. Kenapa tingkat kepercayaan dirinya begitu tinggi. "Eh, Paman. Aku ini masih normal. Tidak mungkin aku menyukai sesama jenis," ledekku sinis."Sesama jenis?" Dahinya mengernyit. Aku yakin pasti kepercayaan dirinya berangsur hilang setelah kuberi gambaran bahwa dia terlalu manja seperti seorang gadis, sepertiku. "Jadi, kau itu laki-laki?"Haish...Dasar tidak peka. "Asal tau saja, ya!" Aku kembali mendelik. "Sekarang aku punya pacar. Jadi, jangan pernah lagi berpikir kalau aku tertarik pada Paman," ucapku setengah berbisik. "Seor
Baca selengkapnya
Part 16
Aku menekan bel pintu dari balik pagar, rumah besar itu. Ibu keluar dengan mengenakan daster lusuhnya yang sudah hampir tak layak dipakai. Dia terlihat lebih rapi dan bergaya saat bekerja di rumah makan Padang waktu itu. "Sarah?" Dia melihatku dari sela-sela pagar, kemudian setengah berlari ingin lekas-lekas membuka gemboknya. Dia kemudian memelukku. Erat sekali. Terdengar bunyi tarikan ingusnya yang menandakan kalau dia sedang menangis. Akupun juga merasakan hal demikian. Rasa rindu yang teramat sangat."Ibu terlihat kurus. Ibu sakit?" Aku memegangi bahunya. "Ah, tidak. Ibu baik-baik saja." Ibu celingak-celinguk melihat sekelilingku. "Ada apa, Bu?" tanyaku heran. "Kau tidak membawa barang-barangmu kemari?""Apa yang Ibu katakan? Sarah hanya ingin menjenguk Ibu dan Dara." Terlihat guratan kekecewaan di wajahnya. "Masuklah. Kita bicara di dalam."Aku memperhatikan sekeliling rumah. Tak ada siapapun selain Ibu. Aku duduk di kursi sebuah ruangan tempat Ibu sedang menyetrika. "D
Baca selengkapnya
Part 17
Dara terdiam. Kemudian berlalu pergi meninggalkan kami. Tante Retno tampak tidak senang dengan keadaan seperti ini. Inikah sosok wanita baik hati yang Ibu sebut sebagai sahabat? Dia bahkan memandang Ibu hanya sebagai pembantu. Tadinya aku datang sekalian ingin memberi tahukan bahwa kami sudah pindah. Rumah yang kami tempati tak kalah bagus dari ini. Tapi niat itu kembali kuurungkan. Mereka tak perlu tahu lagi tahu tentang urusan aku dan Ayah. Dan kelihatannya mereka sama sekali tak perduli. Aku langsung pamit kepada Ibu. .Aku kembali bersandar di singgasana kebesaranku. Menghitung-hitung berapa pemasukan dan pengeluaran hingga sore hari ini, sambil membalas pesan demi pesan yang dikirimkan Andar. Teringat kembali saat pulang tadi, Tante Retno mencegatku di ruang tamu. Ibu tak lagi kubiarkan mengantar sampai ke pintu. Biarlah dia menyelesaikan pekerjaannya dan bisa beristirahat. Bagaimanapun perangai Ibu, aku tetap tak ingin melihatnya sengsara. "Bagaimana keadaan Ayahnya Dara?" S
Baca selengkapnya
Part 18
Dia dengan enteng berceloteh minta dibelikan sebuah mobil yang harganya tidak main-main. Pastilah dia tahu Ibunya sanggup dan punya uang. Hanya tinggal persoalan diijinkan atau tidak diijinkan. Lalu bagaimana jika seandainya mereka tahu, satu-satunya putri Ayah adalah orang miskin. Jauh dari kata mapan hingga tak punya rumah lagi untuk ditinggali. Tidakkah mereka akan malu dan menganggapku sebagai beban? Apalagi saat ini aku membawa Ayah ikut serta untuk tinggal bersamaku. Tidakkah hal itu akan semakin aneh, mengingat mereka tahu kami tak ada hubungan darah sedikitpun? "Kau bisa naik motor?" tanya Paman. "Kalau Paman punya pesawatpun, aku bisa terbangkan," selorohku."Garasi kita tidak muat." Aku terkekeh geli. "Paman ingin beli motor? Tidak jadi mobil?""Aku malas menjemput kau bolak-balik. Kalau beli motor bisa dapat dua."Eh? Seperti yang aku pikirkan tadi. Paman punya uang. Dia juga akan membelikan aku satu buah motor? Untukku sendiri? Aku tersenyum dan mendekat kepadanya. "
Baca selengkapnya
Part 19
"Kenapa? Apa Ayah menginginkan sesuatu? Katakanlah, jika tak terlalu mahal, saat inipun bisa Sarah belikan. Tapi jika uangnya belum cukup, tunggulah sampai Sarah gajian."Lagi-lagi Ayah diam. Matanya berkedap-kedip sangat cepat. Mungkin dia pikir dengan begitu, air mata yang sebentar lagi kembali tumpah itu dapat tertahan. "Ayah ingin mengirimi Dara uang?" Entah kenapa kini hatiku yang merasa perih. Ayah kini terduduk lemah tak berdaya, masih saja memikirkan soal kewajibannya memberikan nafkah kepada keluarga. Kurang apa lagi dia, hingga sampai hati Ibu dan anak kandungnya menjauhi, bahkan menghindarinya. Kini aku yang menangis sesenggukan. Tak tahu lagi harus berkata apa. Namun, apa yang kini bisa aku lakukan? Pekerjaan apa yang bisa kuberikan pada Ayah. Sejak muda dulu, Ayah sudah bekerja di perusahaan asing. Bertahun-tahun lamanya hidup hanya sebagai karyawan walau dengan jabatan yang tinggi. Belum pernah terpikir untuk membuka usaha yang bisa dijadikan cadangan untuk masa depa
Baca selengkapnya
Part 20
"Bisakah kaki Ayahmu disembuhkan?" Paman meneguk es susu pisangnya saat singgah di kafe sepulang dari kantor. "Entahlah, Paman," sahutku pelan. Masih teringat akan adegan haru malam tadi. "Waktu itu, Dokter bilang apa?" Dia terlihat antusias."Aku sama sekali tidak tahu. Ibu semua yang mengurusnya."Napas Paman tertahan. Aku tahu dia juga merasakan perasaan itu. Tidakkah dia juga mengalami nasib yang sama? Terombang-ambing diantara perasaan dan hubungan darah. Mana mungkin aku pilih menyerah dan bosan hanya karena dia bukan Ayah kandungku. Begitu juga dengan Paman. Sudah terbiasa hidup bersama dalam satu rumah dengan satu keluarga yang bahkan tak ada hubungan darah sama sekali. Tidakkah untuk saat ini dia yang paling mengerti tentang perasaanku? Aku dan Paman lama terdiam. Masing-masing berpikir bagaimana caranya agar Ayah tak lagi terbebani soal kewajibannya mencari nafkah. Serta pikiran-pikiran buruknya tentangku yang mungkin suatu saat akan mengikuti jejak Ibu dan Dara. "Kau i
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
12
DMCA.com Protection Status