All Chapters of DIA AYAHKU: Chapter 31 - Chapter 40
111 Chapters
Part 31
Aku dan Paman masuk secara bersamaan untuk melihat siapa yang datang. Wajah Paman tampak gusar. Sepertinya dia sudah bisa menebak siapa-siapa saja pemilik alas kaki dari berbagai macam bentuk, warna dan ukuran tersebut.Mungkinpun aku juga sudah bisa menduganya. Keluarga mana lagi yang akan datang mengunjungi Paman selain..."Mak!" Paman segera mendekati dan mencium tangan orang tua yang sudah berdiri di ambang pintu melihat kami. "Kapan Mak sampai? Kenapa tak kasi kabar sama Harun?" Paman tampak bergelayut manja dengan Nenek. Nenek juga tak sungkan untuk memeluk pria yang kini menjadi anak bungsunya tersebut. Matanya mengintip dari balik badan Paman menatapku. Ditariknya ujung jari telunjuk dan digerakkan maju mundur, menandakan sebuah ajakan atau tepatnya sebuah perintah "kemari kau".Dengan langkah yang ragu dan masih belum bisa membaca situasi, aku mendekati mereka yang baru saja saling terlepas dari pelukan. Dengan mengikuti gerakan Paman tadi, aku bermaksud meraih tangan Nenek
Read more
Part 32
"Tidak usah dicari!" Nenek seolah-olah tahu apa yang sedang ku takutkan. "Sudah kuusir dia."Aku dan Paman tersentak kaget. Tak terasa mataku kembali berkaca-kaca. Bayangan penolakan dari Nenek terpampang nyata dan kini benar-benar terjadi. Dengan wajah marah aku bangkit berdiri hingga mengagetkan kedua Undeku dan anak-anaknya. Paman berjalan mendekatiku, menyuruhku untuk tenang. Namun bagaimana mungkin aku bisa tenang dengan keadaan yang seperti ini? "Kenapa Nenek mengusir Ayah Sarah?" teriakku sambil terus menangis. Tak tahu lagi harus mengatur kata-kata seperti apa agar Nenek bisa mengerti."Kau diam saja!" perintah Paman. "Kenapa membentak orang tua?" Paman berusaha menenangkanku."Bagaimana aku bisa tenang, Paman? Kemana Ayah akan pergi? Bagaimana aku bisa mencarinya sedangkan Ayah tidak punya hape untuk dihubungi," aku semakin kesal dan berusaha mencari Ayah keluar dari rumah. Namun seketika itu pula Paman menghentikan aku dan memegangi lenganku."Tenang saja dulu," lagi-lagi
Read more
Part 33
Tatapan matanya kosong, seperti tak mengerti bahwa aku benar-benar akan mengabaikan hubungan darah kami demi Ayahku yang saat ini entah bagaimana keadaannya."Ini sudah takdir, Nek. Sarah memang sudah terlahir sebagai anak Ayah. Bahkan Sarah tidak bisa mengingat bagaimana wajah anak Nenek," ucapku jujur. Dia terduduk lemas saat Unde Tiwi dan Unde Limah menangkapnya dan membopongnya menuju sofa. Aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan saat tubuh ini tak bisa berpindah karena ditahan oleh Paman. "Jadi kau lebih memilih pergi?" dia meyakinkan jawabanku tadi. "Maafkan Sarah, Nek."Aku menatap wajah Paman yang kini tengah berhadapan denganku tanpa jarak. Aku terus memohon tanpa kata-kata agar dia membiarkanku pergi. Paman terus menggeleng, seolah bisa mendengar isi hatiku. Dia terus saja berusaha agar aku tak beranjak pergi dari sisinya. Sesaat kudengar suara isak tangis dari balik punggung Paman. Suara itu, isakan itu, bukankah...Aku mengintip dari balik tubuhnya, yang diikuti Pam
Read more
Part 34
"Paman, Paman masih marah padaku?" aku berteriak di telinganya saat motor melaju kencang. Dia masih diam tak menjawab. Sejak kemarin dia terus tak mau bicara padaku. "Aku hanya emosi Paman. Aku pikir Nenek benar-benar mengusir Ayah," lagi-lagi aku membujuknya. Dia terus tak menggubris ucapanku. "Nanti aku traktir es susu pisang kesukaan Paman, ya?" hening. "Kentang goreng juga.""Bagaimana kalau spageti? Mau tidak?""Hish.. " Dia masih saja bergeming. Kata Unde Paman memang suka merajuk seperti anak kecil. Terkadang juga Unde Tiwi dan Unde Limah juga didiamkan hanya karena mereka bilang Paman Harun sama sekali tidak mirip dengan Kakek dan Nenek. Maksudnya hanya ingin menggoda dan berseloroh dengannya. Namun Paman Harun yang saat itu sudah kelas tiga smp menanggapinya dengan serius dan memilih mendiamkan mereka yang sudah cukup dewasa itu. Hingga kini sikap perajuk itu masih melekat, ditambah lagi Paman menjadi anak bungsu yang selalu dimanja oleh orang tua dan kakak-kakaknya.Ka
Read more
Part 35
Aku kembali menyandarkan diri di kursi kebanggaanku. Alih-Alih memberikanku jabatan yang layak, Hana lebih memilih memberikan kursi kasir setara kursi direktur di perusahaan-perusahaan besar. Setidaknya kursi ini sama persis dengan yang dia pakai di ruangannya. Teringat wajah kecewa Nenek, saat Ayah menolak untuk ikut pulang ke kampung bersama mereka. Pun Nenek tidak akan mempermasalahkan biaya, karena di kampung biasanya perobatan akan dibayar seikhlas hati. Tidak dipatokkan seperti biaya rumah sakit pada umumnya. Begitu juga dengan Om Juar. Tak pernah sekalipun dia memasang tarif jika ada pasien yang baru saja ditanganinya. Bahkan pernah ada yang hanya memberi sekarung beras sebagai upah, saking tidak adanya uang untuk ucapan terima kasih. Aku juga tak bisa memaksakan kehendaknya terhadap Ayah. Ayah hanya merasa tak ingin merepotkan dan juga meninggalkanku. "Nantilah sesekali aku dan Sarah berkunjung ke rumah Uwak," tutur Ayah dengan lembut. Mungkin takut Nenek tersinggung karen
Read more
Part 36
"Sudah gilakah otakmu itu, ha? Punya malu lah sedikit saja.""Kau tidak melihat bagaimana Ibu bekerja membanting tulang di sana, Kak. Aku tak lagi betah tinggal di rumah Tante Retno.""Itu bukan urusanku. Pergi saja sebelum kusuruh sekuriti mengusirmu dari sini," aku semakin terbawa emosi kala dia mengeluh tentang Ibu. "Ayolah, Kak. Aku dan Ibu juga keluargamu. Tegakah kau melihat Ibu jadi pembantu di sana?""Lalu bagaimana dengan kalian yang sudah tega meninggalkan aku dan Ayah? Bahkan sampai hati menjual rumah dan mengusir kami dari sana. Kini kau datang dan mulai iri melihat kehidupanku?" Dara terdiam. Mungkin kecewa karena sikap manisnya tak berpengaruh kepadaku, meskipun dia membawa-bawa nama Ibu.Mungkin dara muncul saat hari Minggu kemarin. Aku dan Paman membeli beberapa ekor ikan nila dan juga ayam kampung untuk kami panggang di halaman depan. Memang saat itu kami seperti sedang berpesta dan bersenang-senang. Apalagi keluarga Nenek begitu cepat akrab dan tanpa jarak kepada a
Read more
Part 37
Aku berbaring di ambal yang terbentang memenuhi ruang tivi setelah menyeduh teh dan menyuguhkan sepiring camilan untuk Ayah dan Paman. Suara tawa dan pembicaraan mereka disela-sela permainannya, membuatku merasa bahagia. Ayah kini tak pernah lagi terlihat sedih dan juga menangis. Bahkan tubuhnya kini terlihat lebih berisi dan sangat sehat. Setelah Paman mengisi kehidupan kami, aku dan Ayah merasa telah memiliki tujuan hidup. Ayahpun semakin rajin melatih kakinya meski hanya dari ujung halaman ke halaman yang lain. Aku memang tak pernah mengijinkannya keluar dari pagar untuk sekedar berjalan-jalan.Rasa trauma masih membekas diingatan saat mendengar kabar bahwa Ayah mengalami kecelakaan. Saat itu aku yang baru berusia sembilan belas tahun masih terlelap dalam nyamannya ranjang yang empuk berbantalkan boneka-boneka besar pemberian Ayah. Aku tersentak kaget saat Wak Sal, yang bekerja sebagai asisten rumah tangga membangunkanku dan mengatakan kalau Ibu sedang menuju rumah sakit. Aku da
Read more
Part 38
"Kau sendiri? Apa kau sudah yakin padaku? Apa hanya karena aku cantik, kau langsung yakin, padahal kau sama sekali belum tahu latar belakang keluargaku." Aku meletakkan kedua telapak tangan di atas dagu agar terlihat imut di depannya. Sengaja kupertegas kata 'cantik' agar dia tahu bukan hanya dia yang menginginkan aku. Dia tertawa, hingga terlihat barisan giginya yang berjajar rapi. Dia menyandarkan tubuh pada kursi plastik yang memang diatur agar bisa bersantai. Dikeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya yang berwarna hitam itu. "Kau benar-benar berpikir bahwa aku tertarik karena kau cantik?" "Hish... "aku mendesis."Sejak pertama melihatmu aku sudah merasa yakin kalau kau pantas untuk diperjuangkan. Sudah kubilang wajahmu sungguh tidak asing, namun aku tak tahu itu dimana.""Dalam mimpi?""Entahlah, kau pernah merasa masuk dalam mimpiku?""Sama sekali tidak! Aku sangat lelah hingga tak punya waktu untuk bermimpi. Apalagi sampai berjalan ke mimpimu." Aku meraih korek api dan menco
Read more
Part 39
Siang ini aku kembali menjemput pakaian dari laundri yang aku titipkan pagi tadi. Beberapa pakaian memang sengaja aku upahkan, agar tak terlalu repot untuk melipat dan menyetrikanya. Hanya pakaian sehari-hari saja yang aku masukkan ke mesin cuci milik Paman. "Paman belum kembali, Yah?" tanyaku saat Ayah sedang duduk mencabut rumput. Ayah memang sering mencari kesibukan di rumah. Aku dan Paman tak berani melarangnya. Takut kalau Ayah menganggap dirinya tidak lagi berguna. Pun Ayah juga sering melakukan pekerjaan rumah seperti menanak nasi dan mengangkat jemuran. "Belum. Memangnya dia bilang mau kemana?" sahut Ayah seraya bangkit dan membenarkan posisi tongkatnya. "Tidak tahu. Tadi, Paman cuma bilang ingin keluar sebentar." Aku masuk dan meletakkan pakaian yang sudah rapi tersebut dan meletakkannya di atas sofa. Tidak biasanya hari Minggu begini dia pergi pagi-pagi sekali. Biasanya dia lebih memilih tidur dan bermalas-malasan di rumah, sambil mengobrol dengan Ayah. Hari hampir te
Read more
Part 40
"Sakit," rintihnya. "Kalu begitu Paman jujur saja," ucapku setengah berbisik. "Atau kutambahi lagi luka-luka ini," sengaja kurapatkan gigi agar dia merasa terintimidasi.Tak lama Ayah keluar dari kamar. Bilik yang tadinya adalah milik Paman Harun, memang memiliki kamar mandi tersendiri. Paman memberikan ruangan itu agar Ayah tak kesulitan jika tengah malam ingin keluar dan membuang hajatnya karena keterbatasan fisik. Ayah sudah terlihat lebih segar selepas mandi. Dia melirik ke arah Paman sebentar. Paman hanya tertunduk. Kemudian Ayah langsung keluar menuju pintu depan. Mungkinpun dia sudah mendengar suaraku tadi saat bertanya kepada Paman Harun. Aku menempelkan plaster menutupi luka di bagian pelipisnya. Lalu mengoles salap ke bagian pipi dan sudut bibirnya dengan katenbad. Dia terus saja merintih sambil sesekali mendesis dan membulatkan matanya ke arahku. "Kau berkelahi dengan siapa, Harun?" Tiba-tiba Ayah sudah muncul dari depan pintu."Aku hanya terjatuh, Bang," bantah Paman.
Read more
PREV
123456
...
12
DMCA.com Protection Status