"Sudah gilakah otakmu itu, ha? Punya malu lah sedikit saja.""Kau tidak melihat bagaimana Ibu bekerja membanting tulang di sana, Kak. Aku tak lagi betah tinggal di rumah Tante Retno.""Itu bukan urusanku. Pergi saja sebelum kusuruh sekuriti mengusirmu dari sini," aku semakin terbawa emosi kala dia mengeluh tentang Ibu. "Ayolah, Kak. Aku dan Ibu juga keluargamu. Tegakah kau melihat Ibu jadi pembantu di sana?""Lalu bagaimana dengan kalian yang sudah tega meninggalkan aku dan Ayah? Bahkan sampai hati menjual rumah dan mengusir kami dari sana. Kini kau datang dan mulai iri melihat kehidupanku?" Dara terdiam. Mungkin kecewa karena sikap manisnya tak berpengaruh kepadaku, meskipun dia membawa-bawa nama Ibu.Mungkin dara muncul saat hari Minggu kemarin. Aku dan Paman membeli beberapa ekor ikan nila dan juga ayam kampung untuk kami panggang di halaman depan. Memang saat itu kami seperti sedang berpesta dan bersenang-senang. Apalagi keluarga Nenek begitu cepat akrab dan tanpa jarak kepada a
Aku berbaring di ambal yang terbentang memenuhi ruang tivi setelah menyeduh teh dan menyuguhkan sepiring camilan untuk Ayah dan Paman. Suara tawa dan pembicaraan mereka disela-sela permainannya, membuatku merasa bahagia. Ayah kini tak pernah lagi terlihat sedih dan juga menangis. Bahkan tubuhnya kini terlihat lebih berisi dan sangat sehat. Setelah Paman mengisi kehidupan kami, aku dan Ayah merasa telah memiliki tujuan hidup. Ayahpun semakin rajin melatih kakinya meski hanya dari ujung halaman ke halaman yang lain. Aku memang tak pernah mengijinkannya keluar dari pagar untuk sekedar berjalan-jalan.Rasa trauma masih membekas diingatan saat mendengar kabar bahwa Ayah mengalami kecelakaan. Saat itu aku yang baru berusia sembilan belas tahun masih terlelap dalam nyamannya ranjang yang empuk berbantalkan boneka-boneka besar pemberian Ayah. Aku tersentak kaget saat Wak Sal, yang bekerja sebagai asisten rumah tangga membangunkanku dan mengatakan kalau Ibu sedang menuju rumah sakit. Aku da
"Kau sendiri? Apa kau sudah yakin padaku? Apa hanya karena aku cantik, kau langsung yakin, padahal kau sama sekali belum tahu latar belakang keluargaku." Aku meletakkan kedua telapak tangan di atas dagu agar terlihat imut di depannya. Sengaja kupertegas kata 'cantik' agar dia tahu bukan hanya dia yang menginginkan aku. Dia tertawa, hingga terlihat barisan giginya yang berjajar rapi. Dia menyandarkan tubuh pada kursi plastik yang memang diatur agar bisa bersantai. Dikeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya yang berwarna hitam itu. "Kau benar-benar berpikir bahwa aku tertarik karena kau cantik?" "Hish... "aku mendesis."Sejak pertama melihatmu aku sudah merasa yakin kalau kau pantas untuk diperjuangkan. Sudah kubilang wajahmu sungguh tidak asing, namun aku tak tahu itu dimana.""Dalam mimpi?""Entahlah, kau pernah merasa masuk dalam mimpiku?""Sama sekali tidak! Aku sangat lelah hingga tak punya waktu untuk bermimpi. Apalagi sampai berjalan ke mimpimu." Aku meraih korek api dan menco
Siang ini aku kembali menjemput pakaian dari laundri yang aku titipkan pagi tadi. Beberapa pakaian memang sengaja aku upahkan, agar tak terlalu repot untuk melipat dan menyetrikanya. Hanya pakaian sehari-hari saja yang aku masukkan ke mesin cuci milik Paman. "Paman belum kembali, Yah?" tanyaku saat Ayah sedang duduk mencabut rumput. Ayah memang sering mencari kesibukan di rumah. Aku dan Paman tak berani melarangnya. Takut kalau Ayah menganggap dirinya tidak lagi berguna. Pun Ayah juga sering melakukan pekerjaan rumah seperti menanak nasi dan mengangkat jemuran. "Belum. Memangnya dia bilang mau kemana?" sahut Ayah seraya bangkit dan membenarkan posisi tongkatnya. "Tidak tahu. Tadi, Paman cuma bilang ingin keluar sebentar." Aku masuk dan meletakkan pakaian yang sudah rapi tersebut dan meletakkannya di atas sofa. Tidak biasanya hari Minggu begini dia pergi pagi-pagi sekali. Biasanya dia lebih memilih tidur dan bermalas-malasan di rumah, sambil mengobrol dengan Ayah. Hari hampir te
"Sakit," rintihnya. "Kalu begitu Paman jujur saja," ucapku setengah berbisik. "Atau kutambahi lagi luka-luka ini," sengaja kurapatkan gigi agar dia merasa terintimidasi.Tak lama Ayah keluar dari kamar. Bilik yang tadinya adalah milik Paman Harun, memang memiliki kamar mandi tersendiri. Paman memberikan ruangan itu agar Ayah tak kesulitan jika tengah malam ingin keluar dan membuang hajatnya karena keterbatasan fisik. Ayah sudah terlihat lebih segar selepas mandi. Dia melirik ke arah Paman sebentar. Paman hanya tertunduk. Kemudian Ayah langsung keluar menuju pintu depan. Mungkinpun dia sudah mendengar suaraku tadi saat bertanya kepada Paman Harun. Aku menempelkan plaster menutupi luka di bagian pelipisnya. Lalu mengoles salap ke bagian pipi dan sudut bibirnya dengan katenbad. Dia terus saja merintih sambil sesekali mendesis dan membulatkan matanya ke arahku. "Kau berkelahi dengan siapa, Harun?" Tiba-tiba Ayah sudah muncul dari depan pintu."Aku hanya terjatuh, Bang," bantah Paman.
Selesai makan aku dan Ayah ngobrol di teras depan, sementara Paman beristirahat di dalam kamar. Aku tak habis pikir kenapa Paman sampai nekat mendatangi temannya itu, kemudian menghajarnya. Seharusnya dia tau, tempat yang dia datangi itu merupakan tempat kost-kostan khusus lelaki. Tentu saja mereka tidak akan tinggal diam saat tahu teman satu wilayah mereka dipukul oleh orang yang tak dikenal, meskipun sebenarnya mereka berteman. Alhasil Paman dikeroyok dan dipukuli habis-habisan."Kalau satu lawan satu tentu aku sudah menang dari awal," jawab Paman dengan lantang saat makan siang tadi. Ayah bukannnya memarahi, malah memuji keberaniannya dalam membela harga diri. Wajah Paman yang tadinya murung tampak berseri mendengar penuturan Ayah. "Begitulah laki-laki sejati," ucap Ayah. Paman tertunduk menyembunyikan senyum sumringahnya. ***************"Bos, Minggu depan boleh pinjam mobil tidak? Aku dan Paman ingin membawa Ayah berendam di air panas," bujukku kepada
Saat itu Ayahku sudah terlanjur jatuh cinta dan sulit untuk diberi tahu. Sehingga dia abai dan memutuskan untuk diam-diam pergi dari rumah dan meninggalkan cita-cita yang sudah lama diimpikan oleh Kakekku. Ayah dan Ibu memilih kawin lari dan pergi merantau ke kota Medan. Di sinilah mereka tinggal dan hidup sederhana sampai diusia satu tahun pernikahan mereka, Dan Ibu mulai mengandung.Ayah memberanikan diri membawa Ibu pulang ke rumah orang tuanya. Berharap mereka mau menerima dan mengakui keberadaan istri dan juga calon anaknya. Sekejam-kejamnya orang tua, tak akan mungkin tega mengusir kembali buah hatinya. Akhirnya pernikahan Ibuku di pestakan secara adat dengan mengundang seluruh penduduk kampung. Untuk berapa waktu lamanya, mereka tinggal di rumah Kakek dan Nenek. Namun bukan Ibu namanya, jika tak bisa membuat orang lain naik darah. Dia terlibat perselisihan dengan Nenek dan kembali memutuskan untuk pindah dan kembali merantau ke kota. Dengan pilihan yang berat, lagi-lagi Ayah
Aku berusaha untuk bersikap sewajarnya. Menetralkan segala rasa, yang dulu pernah singgah dan sempat menetap di dalam hati. Ayah dan orang itu sudah menyadari keberadaanku, sesaat setelah terdengar suara deru mesin kendaraan Paman. Sekuat tenaga aku mencoba menahan gejolak pertanyaan yang selama ini aku simpan rapat-rapat. Bagaimana keadaannya, apakah dia baik-baik saja? Bagaimana pekerjaannya, kenapa tiba-tiba pergi dan menjauh? Pertanyaan itu sering sekali terukir di papan pesan whatsapp yang di atasnya masih tersimpan namanya. Namun kata demi kata itu selalu saja kuhapus kembali dan mengembalikannya ke posisi semula. Kini semua pertanyaan itu lenyap bersama air mata Ayah yang membanjiri pipi dan menyesakkan dadanya. Apakah posisi berlutut itu tidak terlalu berlebihan? Hanya karena dia meninggalkan Ayah, begitu tahu Ayah lumpuh dan jatuh miskin? Haruskah sampai sebegitunya dia menyesali diri. Ataukah ada hal lain yang membuatnya begitu merasa bersalah?Sebisa mungkin kuatur suar