Semua Bab Wanita Sang Presdir: Bab 181 - Bab 190
212 Bab
Bicara
"Menurutmu aku harus menikahinya?" Jonathan menempelkan kaleng bir di dahi. Gabriel menghela nafas, "Damn it, Jonathan. Apakah waktu membuat otakmu berkarat? Bagaimana kamu memulai hubungan dengan mendiang istrimu? Bukankah hampir serupa?" Lelaki itu termenung. Benarkah? Kenapa dia tidak ingat? Apakah ada serpihan ingatannya yang hilang? "Kamu benar-benar lupa?" Gabriel menatap prihatin. "Mungkin." Jonathan memejamkan mata. Kenangan indah itu sudah tertutup oleh kenangan buruk. "Setidaknya bicarakan baik-baik dengan anak itu. Karena kamu mengalami hal yang menyakitkan bukan berarti orang lain harus mengalaminya juga." "Ya, ya, aku tahu. Simpan nasehat psikologimu untuk orang lain." Gabriel menatap keki, kemudian memutuskan untuk mengabaikan Jonathan. Ada hal lebih penting yang harus dipikirkan, yaitu bagaimana cara mengisolasi kelompok si Tua Rhein dan membekukan kelompok mereka untuk selamanya. Sekian lama duduk tanpa tujuan, Jonathan sudah beberap
Baca selengkapnya
Masalah Perusahaan
Pelukan erat Samantha menghangatkan hati Jonathan meskipun hanya dilakukan karena berboncengan di atas motor. Dari kaca spion dia tidak dapat melihat wajah Samantha karena tersembunyi di balik helm. Setibanya di kamar hotel Jonathan membiarkan wanitanya santai, menyesuaikan diri lagi dengan tempat asing. Samantha berjalan mondar-mandir. Matanya melihat koper dan kemeja hitam di rak, juga dua buah sabuk kulit di tempat tidur. Kemudian wanita itu berjalan ke jendela. "Orang di luar dapat melihatmu, Sam." Nafas Samantha tercekat karena dua lengan Jonathan memeluknya dari belakang, "Uhm ... mereka juga dapat melihatmu." "Aku tahu." Tangan Jonathan menjangkau melewati tubuh si wanita untuk menutup tirai. Dengan lembut didorongnya wanita itu bersandar di jendela. Samantha tidak dapat berbuat banyak. Tangan Jonathan melingkar di leher, membuat wajahnya mendongak. Dirasakannya ujung-ujung jari si lelaki memberi sedikit tekanan. Tidak sampai menyakiti atau membuat sulit
Baca selengkapnya
Meminta Bantuan
Perjalanan cukup jauh ditempuh Samantha untuk tiba di hotel tempat dirinya bermalam. Lalu lintas yang padat membuat perjalanan terasa lebih melelahkan. Saat tiba di tujuan yang diinginkan Samantha adalah melepas lelah. Udara sejuk menyambutnya yang melangkah masuk ke lobby hotel. Samantha masuk ke lift menuju lantai lima. Baru saja hendak membuka pintu kamar yang ditempati kemarin seseorang menarik dan memeluknya. Wanita itu tidak punya energi untuk terkejut. "What took you so long, Sam?" bisik Jonathan begitu dekat telinga wanita itu. Samantha bergidik karena hembusan nafas si lelaki, "Perjalananku jauh." "Dan kenapa masuk ke kamar lain? Aku sudah check-out kamar itu. Tempatmu bersamaku, Sammy." Dengan mudah Jonathan mengangkat tubuh wanita itu dan membawa masuk ke kamarnya sendiri. "Tunggu, aku mau—" Sebelum pintu tertutup rapat Jonathan mendorong wanitanya bersandar di dinding dan mencium penuh kerinduan. Tidak dibiarkannya wanita itu menghindar. "Ah
Baca selengkapnya
Aunty Samantha
Sesuai perjanjian setelah mengantar Samantha ke daycare, Jonathan melaju ke rumah Nathan. Perjalanan lumayan jauh karena jalur perjalanannya memutar dari pusat ke utara, baru kemudian ke barat ibukota. Namun, hal itu bukan masalah besar bagi motor sport yang dikendarai. "Uncle Jo!" Rafael yang sedang sarapan melompat turun dari kursi dan berlari ke arah Jonathan. "Astaga ... Rafa! Kalau sedang makan tidak boleh lari-lari!" seru Angeline. Gloria pun geleng-geleng kepala. "Hei, dengar kata Mamamu. Kembali ke meja makan sana." Jonathan tertawa. "Tapi nanti Uncle Jo temani aku berlatih!" seru anak kecil itu. Jonathan menggandeng Rafael kembali duduk dan menatap Angeline, "Kamu harus tanya Mama dulu, boleh tidak?" "Boleeeh. Hari ini Uncle Jo jadi babysitter. Sudah pernah lihat Samantha jaga anak-anak kecil, 'kan?" Angeline kembali sibuk menyuapi Olivia. "Hai, Princess." Jonathan menyapa si bayi kecil. Angeline memukul tangan Jonathan yang hendak meng
Baca selengkapnya
Bertengkar
"Ugh, pelan-pelan ...." Samantha memejamkan mata karena pergerakan intens di dalam dirinya. "Tidak bisa, Sammy. Ekspresimu membuatku gila," desis Jonathan. Rasa itu membuncah untuk kesekian kalinya, melumpuhkan Samantha. Punggungnya melengkung bak busur dan wajahnya menengadah dengan rintihan tertahan. Sekujur tubuhnya gemetar oleh hentakan yang tidak jua berhenti. Tidak lama mereka berdua mencapai akhir yang sesungguhnya pada waktu bersamaan. "Sial. Aku tidak bisa berhenti," gumam Jonathan. Samantha terengah. Dia tidak yakin bisa bertamu di rumah Angeline dalam keadaan seperti ini. Semua gara-gara Jonathan! "Brengsek, Jo ... kenapa tenagamu ekstra sekali?" keluh Samantha. "Karena aku menemukan wanita yang benar-benar kusukai." Jonathan menyeringai. "Aku lelah sekali ... Nanti tidak ikut ya?" "Dan apa yang akan kamu lakukan di sini sendirian? Merindukanku?" "Uh, percaya diri sekali? Aku mau tidur sampai besok pagi!" Jonathan tertawa, "Oh, co
Baca selengkapnya
Rumah Kedua
Sebenarnya Samantha sedang malas berdekatan dengan Jonathan, tapi dia bisa berpegangan di mana saat berboncengan di motor? Apalagi lelaki itu memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Samantha hanya bisa berdoa semoga mereka tiba di tujuan dengan selamat. Begitu motor berhenti di tempat parkir Samantha segera melompat turun dari boncengan. Dia melepas helm dan menyerahkannya pada Jonathan. Tanpa menunggu lelaki itu dia berjalan pergi. "Sammy, tunggu." Jonathan bergegas. Ragu, Samantha memperlambat langkahnya. Jonathan meraih lengan wanita itu dan mereka pun bergandengan sampai tujuan. Begitu masuk ke dalam kamar Samantha berusaha melepaskan diri. Namun, genggaman si lelaki begitu kuat. Dia tidak kuasa melawan saat Jonathan mendorongnya ke tempat tidur. Masih enggan berdekatan, Samantha berusaha bangkit. Jonathan mengungkungnya hingga tak dapat bergerak. Mereka bertatapan dengan perasaan yang berbeda. "Sekarang aku tahu, kamu akan melarikan diri jika ada masa
Baca selengkapnya
Posesif
"Berarti sudah cukup lama kamu tinggal di sini?" tanya Samantha yang asyik menikmati angin sepoi-sepoi di teras. "Beberapa tahun antara Jakarta Labuan Bajo." Sebaliknya, Jonathan tidak tertarik dengan keindahan alam. Hanya pada wanita berambut sebahu di hadapannya. "Oh ya? Tapi, sudah jadi Warga Negara Indonesia?" Samantha menoleh, menyadari lelaki itu sedang menatapnya, kemudian kembali—pura-pura—memandang alam. "Apa gunanya kewarganegaraan?" Jonathan bertanya balik. "Banyak lah. Untuk urusan pekerjaan, jaminan kesehatan, hak milik ... Memangnya bisnismu atas nama siapa?" Samantha sengaja tidak menyebut 'untuk menikah'. "Warga lokal." Jonathan tersenyum. Mata Samantha membulat, "Oh ... oke." Sejenak hanya suara debur ombak yang terdengar di atap hotel tersebut. Jonathan tidak sedetik pun mengalihkan pandangan dari Samantha, wanita lugu yang telah menjadi miliknya. "Tinggallah di sini bersamaku, Sammy. Lupakan semua yang terjadi di Jakarta. Kita mul
Baca selengkapnya
Hanya Beberapa Hari
Lama sekali Samantha duduk termenung di teras. Dia tidak suka cara Jonathan mengatur dengan siapa dia boleh berteman. Tidak suka sama sekali! Sungguh menyebalkan! Padahal lelaki itu akrab dengan Angeline. Sekarang yang dia pikirkan adalah bagaimana cara terbaik menyampaikan bahwa ada batasan yang tidak boleh diatur lelaki itu? Sementara itu Jonathan juga duduk tak bergerak mengamati Samantha. Dia berpikir sampai kapan wanita itu akan menyepi di teras, dan perlukah dia menyeretnya masuk? Jonathan khawatir wanitanya masuk angin karena hembusan angin laut yang tiada henti. Ketika Jonathan hampir tiba pada keputusan untuk memaksa Samantha masuk, wanita itu berdiri dan berjalan ke dalam ... "Sudah berpikirnya?" tanya Jonathan. "Belum," ketus Samantha. Jonathan meraih tangan Samantha yang berjalan melewatinya dan menarik wanita itu sampai jatuh terduduk di pangkuannya, "Berapa lama lagi?" Samantha menahan dada si lelaki, "Sampai aku menemukan solusi yang tepat."
Baca selengkapnya
Mike Kembali
"Hello, Kakak, Kakak Ipar, dan keponakanku yang manis-manis!" seru Mike begitu menginjakkan kaki di lantai rumah Nathan. Angeline yang sedang memotong beragam buah di counter menoleh, "Hei, Mike. Masih ingat pulang?" Mike tertawa, "Astaga, Kakak. Apakah kedatanganku sudah tidak diharapkan? Tentu saja aku masih ingat Kakak-ku yang cantik ada di Jakarta. Mana Kakak Ipar?" Tepat saat itu Nathan keluar dari kamar dengan Olivia di lengannya, "Suaramu berisik sekali. Seisi komplek bisa mendengar kalau kau sudah pulang." "Kakak Ipar. Aku merindukan ejekanmu." Mike menghampiri Nathan dan memeluknya. "Pergi sana! Hush!" halau Nathan. Mike menghindari tendangan lelaki itu dan bersembunyi di belakang Angeline, "Satu minggu bersama keluarga Cherry benar-benar membuatku bosan. Bukannya aku tidak menghargai mereka, hanya saja kedua orangtuanya terlalu serius." "Tentu saja mereka harus serius. Yang dihadapi 'kan calon menantu, bukan teman anaknya," ujar Angeline. Dia
Baca selengkapnya
Selamat Jalan
Keadaan di dalam pesawat jet pribadi Nathan begitu hening. Udara terasa berat dan suram, ditambah pakaian bernuansa hitam para penumpangnya. Nathan tidak melepas genggamannya di tangan Angeline sedetik pun. Wanita itu tidak menunjukkan emosi, tapi Nathan tahu hatinya sedang bergemuruh. Sekitar dua belas orang pengawal pribadi—termasuk Darman—turut serta dalam penerbangan ke Macau. Ya, Nathan tidak mau mengambil resiko terjadi hal yang tidak diinginkan saat membawa istri dan kedua anaknya ke wilayah musuh. Tidak ketinggalan Gloria dan Johan dibawanya serta untuk membantu Angeline yang sedang dalam kondisi berduka. Nathan menatap wajah Angeline. Pucat, tapi sorot matanya masih menunjukkan kekerasan hati. Lelaki itu mencium punggung tangan istri tercintanya dengan lembut, membuat sepasang mata yang menatap kosong teralih padanya. "Nathan ...," lirihnya. "Yes, Baby Girl?" "Aku tidak akan menangis sampai pelakunya ditemukan dan menerima ganjaran," desis Angeline.
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
171819202122
DMCA.com Protection Status