Semua Bab Suami Pelarian: Bab 51 - Bab 60
88 Bab
51. Semangat, Bro!
"Halah, sama saja itu. Kamu ingin Papa berkenalan dengan perempuan itu, lalu dia akan menghalalkan segala cara agar Papa mau menerimanya, 'kan? Kamu sama saja dengan Arjuna, tidak lagi menghormati Papa," kecam ayah mertuaku. Tampaknya pembicaraan ini tak akan mudah. Pak Pandu masih berkukuh dengan sikapnya. Namun, Yudistira tak semudah itu menyerah. Paling tidak ia ingin memenuhi janjinya untuk membantu kakak tirinya sebisa mungkin. "Pa, Papa sendiri yang ngajarin anak-anak untuk tidak berprasangka, dan membeda-bedakan orang hanya karena warna kulit, status sosial, dan kedudukan yang berbeda dari kita," ucap Yudistira lembut. "Memang, tapi kasus ini berbeda. Ini menyangkut keluarga kita secara khusus." Pak Pandu berceramah panjang lebar soal karier dan reputasi yang selama ini telah ia bangun. Hidup di dunia yang materialistis sekarang memang sulit. Sebaik-baiknya orang kaya, pasti akan melihat status sosial seseorang ketika anaknya mencari pasangan hidup. Ayah mertuaku memang tid
Baca selengkapnya
52. Pejuang Cinta
"Aku nggak bisa kalau kayak gitu. Memangnya aku mau melepaskan usaha yang sudah kubangun sendiri?" dengus iparku kesal. "Ya ampun, Jun ....." Yudistira geleng kepala, putus asa. Ia tertawa dengan tangan menyentuh jidat. Aku mengerti kegeraman suamiku, ia nggak habis pikir dengan apa yang ada di kepala Juna. Begitu sulit meyakinkan dia, meskipun saran dan argumen yang disampaikan oleh suamiku sangat masuk akal. Papa yang mulai membuka hati, tak serta merta melunak, dan meloloskan keinginan Juna untuk menikahi sang kekasih. "Kamu boleh berpacaran dengan Fitri, asalkan kamu mau kerja sama Papa. Kerja di resort, jadi karyawan biasa, jadi buruh seperti yang lain," tantang Papa. Juna yang tak menduga perkembangan ini langsung syok. "Nggak ... nggak bisa, Pa! Bagaimana dengan bisnisku? Bagaimana dengan ...." "Itu urusan kamu. Kalau kamu masih menginginkan restu dari Papa, turuti kemauan Papa. Atau kamu nggak usah nikah sama sekali." Pak Pandu memberikan ultimatum yang tak bisa diganggu
Baca selengkapnya
53. Kisah Juna
"Atas nama Yudistira aku meminta maaf, Mas, kalau suamiku pernah berbuat salah, atau membuat kehidupan Mas Juna tidak nyaman," ucapku dengan perasaan tidak enak. Perkataan Juna cukup mengagetkanku. Selama ini kupikir tidak ada masalah yang cukup berarti ketika keluarga Pak Pandu dan Bu Ani bersatu, setelah masing-masing kehilangan pasangan hidup. Namun, alih-alih kesal atau menunjukkan ekspresi getir, wajah Mas Arjun terlihat berseri-seri. "Kamu tidak perlu minta maaf, Ashanna. Ini tak seburuk yang kamu pikirkan," ucapnya untuk menghilangkan rasa bersalahku. Syukurlah! Aku lega bahwa tidak ada masalah besar dalam hubungan antara Yudistira dan Arjuna sebagai saudara tiri. Pria ini bahkan sudah mulai terbiasa menerimaku sebagai bagian dari keluarganya. Ia tak lagi ragu menggunakan kata aku-kamu, padahal sebelumnya Mas Juna selalu terasa menjaga jarak, seolah kami belum benar-benar menjadi keluarga. "Aku memang selalu lebih dekat dengan Mama ketimbang dengan Papa. Jadi aku sangat sedi
Baca selengkapnya
54. Rahasia yang Lain
"Kamu kenapa, Sha, akhir-akhir ini jadi lebih pendiam? Kurang makan atau gimana, Sayang?" Yudistira menanyakan keadaanku dengan nada bergurau, tetapi aku bisa merasakan kekhawatirannya yang tidak ada kaitannya dengan makanan. "Hehe. Makan pizza, yuk, Yud," ujarku hanya menanggapi pertanyaan yang terucap. Raut wajah suamiku cerah seketika begitu mendengar jawabanku. "Bilang kek dari kemarin, kalau pingin makan pizza," kekehnya. "Jangan ragu bilang kepadaku jika ada yang kamu inginkan, Sayang. Pasti akan kuberikan bila aku mampu." "Hehe. Terima kasih, suamiku tersayang." Aku tersenyum lebar memamerkan sederet gigi sehat yang kujaga ekstra semenjak menikah. Dan sore itu berakhir dengan kencan kami di Mamania, salah satu kedai terkenal yang menyajikan pizza autentik, dipanggang dengan tungku tradisional. Kami makan pizza lezat, bercanda, dan tertawa layaknya pasangan yang tengah dimabuk asmara. Dan percintaan kami di malam harinya masih menggetarkan gairah yang menggelora. Kupikir d
Baca selengkapnya
55. Berpisah
"Kamu yakin dengan keputusan ini, Nak? Nggak ingin bicara baik-baik dulu dengan suamimu?" tanya Ibu dengan wajah prihatin.Aku mengangguk lemah. "Aku sudah sampai di sini artinya semuanya sudah kami bicarakan, Bu, dan ini keputusan kami berdua. Yudistira juga sudah setuju."Bapak menghela napas berat. Kerutan di dahinya semakin bertambah saja. Ah, sejenak aku merasa bersalah karena telah pergi dari suamiku. Mengingat usia pernikahan kami yang bahkan belum genap setahun, rasanya sangat miris bila aku berpisah dari Yudistira, padahal hubungan kami lagi mesra-mesranya."Baiklah, Ashanna. Sebagai orang tua, Bapak dan Ibu hanya bisa mendukung apa yang terbaik untuk kalian berdua. Yang penting ini cuma sementara, dan kalian tidak bercerai," pesan Bapak dengan lembut."Enggak, lah, Pak. Pernikahan ini bukan permainan, meskipun semuanya tidak diawali dengan cinta, aku bukan orang yang suka mengingkari ikrar suci. Aku cuma butuh waktu untuk sendiri dulu," jawabku, kalimat yang sudah kuucapkan
Baca selengkapnya
56. Melihat Kebaikannya
"Kamu tidak tahu, Nak?" Dengan alis terangkat, Ibu membalas pertanyaanku dengan counter attack, eh, bukan, ini bukan sepak bola. Alih-alih langsung menjawab, Ibu malah bertanya balik. Tatapannya polos, dia tidak sedang menggodaku. Otakku langsung bekerja lebih keras karena berupaya untuk memahami maksud ucapan Ibu. "Bu ..., ini kerjaan Yudistira kah?" aku bertanya sekali lagi. Kali ini pertanyaanku tepat. Ibu tersenyum seraya menganggukkan kepalanya. Aku terbengong, seolah wajahku membeku. "Bagaimana bisa aku bersama Yudistira 24 jam, tapi tidak mengetahui dia membangun kamar mandi di rumah bapak ibuku?" gumamku lebih kepada diriku sendiri. Suamiku Yudistira, bukan Bandung Bondowoso, apalagi Bandung kota kembang. "Bisa dimaklumi kalau kamu tidak tahu, karena menantu Ibu memang tidak secara langsung ke mari," tutur Ibu, sedikit memberikan terang kepada gelapnya pengetahuanku. "Ah, begitu rupanya!" Ibu menceritakan bahwa Yudistira meminta tolong Mas Widi, tetangga kami, untuk men
Baca selengkapnya
57. Kenangan Masa Kecil
"Kamu ngapain ke mari?" pekikku seraya menyambut sesosok manis yang keluar dari dalam mobil suamiku. Bukannya membalas sambutanku, makhluk bandel itu malah ngeloyor saja, dan memeluk ketiga adikku. Duh, menggemaskan betul bocah satu ini! Rasanya pingin kucubit pipinya sampai molor kayak mozzarella. Kehadirannya yang tanpa pemberitahuan di muka sempat membuat jantungku cenat-cenut. Terang saja, melihat mobil suamiku aku panik, dan berpikir pria itu menyusulku ke rumah orang tuaku. Eh, nggak tahunya yang datang kedua adiknya. "Mbak!" sapa Niken dengan cengiran lebar di wajahnya. Putus dari pacar tak membuatnya patah hati berkepanjangan, gadis satu ini malah tambah cantik saja. Setelah lulus SMA Niken belajar menyetir mobil, dan tak butuh waktu lama baginya untuk mendapatkan SIM A. Dia justru lebih mahir menyetir mobil ketimbang aku, yang baru bisa memegang kemudi selama beberapa bulan. "Gimana kabarnya, Ken? Kok nggak ngabari dulu kalau mau ke mari?" Kami melakukan ritual cipika cip
Baca selengkapnya
58. Halusinasi
"Mbak Sha, jangan lupa main ke rumah. Aku tunggu, lho. Kalau nggak datang, nanti kalau Mbok Is bikin nasi liwet, Mbak Sha nggak boleh minta." Arum si bocah kecil berpamitan dengan meninggalkan ancaman yang begitu menggemaskan. "Ya udah, nanti Mbak Sha minta dibuatin sama Budhe Ina, bisa makan banyak, deh," godaku menentang kehendak tuan putri. Budhe Ina adalah tetangga sebelah, jaraknya hanya beberapa rumah dari rumah orang tuaku, kakak ipar Mama Ani yang kini menempati rumah mereka yang lama. Hari Minggu pagi kami bertamu ke rumah Budhe Ina. Sebenarnya lebih tepat kalau dibilang kami datang untuk bermain, membuat kebisingan, dan meminta makan. Kebetulan sekali hari itu Budhe Ina yang asli Solo memasak nasi liwet. Arum bilang bahwa rasa nasi liwetnya mirip buatan Mbak Is, aromanya sedap, dan rasanya lezat. Aku dan adik-adikku sangat menikmatinya, dan alhasil kami berenamlah yang menghabiskan makanan itu. Nah, si Arum ini lucu, kalau menginginkan sesuatu dari seseorang, tetapi ora
Baca selengkapnya
59. Bersama Lagi
"Kamu itu ... kita nggak ketemu selama seminggu, tapi yang pertama kamu tanyakan malah kakak iparmu." Kutolehkan kepala ke kanan untuk melihat pak sopir yang sedang memegang kemudi. Wajahnya merengut, persis Arum yang sedang ngambek. Tercium bau-bau caper, nih. "Baru juga enam hari, belum tujuh, belum seminggu, lah," sahutku acuh tak acuh, sembari menatap ke jalanan di depan kami. Seru juga bisa menggoda suamiku lagi! Sesekali kulirik dia lewat ekor mataku. Raut mukanya menggelikan. Aku tertawa dalam hati, lucu juga melihat suamiku cemburu kepada saudaranya sendiri. "Seminggu, Ashanna! Satu minggu, hanya kurang delapan belas jam, lima puluh menit, dua detik," timpalnya menolak untuk diabaikan. Ah, semakin lucu saja dia. "Itu perhitungan akurat kah, Pak Yudistira?" tanyaku menggodanya lagi. "Akurat dong ..., tapi banyak ngawurnya," jawabnya seraya nyengir lebar. "Hahaha." Aku tertawa. Benar dugaanku, Yudistira hanya caper. Setelah sekian waktu berpisah, aku sangat bahagia bisa b
Baca selengkapnya
60. Perkara Memiliki Anak
"Lucky itu imut-imut, ya. Anaknya cakep, pintar, Mama jadi sayang," ibu mertuaku memuji anak Fitri. Sudah barang tentu ini kemajuan yang menggembirakan, sebab Mama Ani telah jatuh hati kepada anak dari calon menantunya yang sempat ditentang oleh Papa. "Iya, Ma. Lucky memang pintar, lucu," sahutku masih mencoba menjaga senyuman yang sedari tadi kusematkan di bibirku. Pembicaraan dengan ibu mertuaku akhir-akhir ini terasa berat. Bagaimana tidak, meskipun nadanya positif dan menyenangkan, ujung-ujungnya pasti ngomongin harapannya agar segera memiliki cucu dari anak kandungnya sendiri. "Duh, kalau anak Mama sendiri punya anak, pasti cakep, pintar dan lucu juga, kayak Mama. Hihi. Pasti seru hari-hari Mama nanti bisa momong cucu, darah daging Mama sendiri." Deg! Ucapan ibu mertuaku membuatku terdiam. Aku tidak tahu isi hatinya yang sebenarnya, apakah dia memang ingin menyindirku, atau itu hanya sekadar sebuah doa, yang jelas hatiku seperti dicubit. Ini yang namanya sakit, tapi tidak be
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
456789
DMCA.com Protection Status