All Chapters of AKU INI BUKAN MENANTU SAMPAH: Chapter 51 - Chapter 60
62 Chapters
Bab 51
Bahkan ketika kami telah tiba di Bandara Ngurah Rai Bali, aku masih saja tak bisa tenang. Pikiranku masih terfokus pada perhiasan itu.“Sayang jam berapa sekarang?”“Sebentar, Sayang!”Aku berniat untuk melihat jam di ponsel. Namun, ternyata aku baru sadar kalau sejak tadi ponselku masih menampilkan potret keluarga kami saat lebaran tahun lalu. Aku lupa belum mengembalikannya.Perhatianku sontak saja langsung mengarah pada giwang yang dipakai ibu. Model dan ukurannya terlihat sama persis dengan yang dipakai Teh Nadia.“Kamu ditanya jam malah mainan hp,” sindir Kang Dadan.“Jam 4 sore, Kang!”“Lihat apa sih, sampai segitunya?”Kang Dadan yang penasaran mulai mendekatkan kepalanya padaku, hanya untuk melihat apa yang sedang kuamati hingga membuatnya kesal.“Kamu beneran kangen sama ibu, Yas. Heran padahal, ibu cerewet banget loh.”Sekali lagi pr
Read more
Bab 52
Malam hari ketika kami masih menanti kabar dari suami Teh Nadia.[Hallo, saya udah ketemu sama orang yang katanya mirip ibu di lampu merah. Kayaknya bukan ibu, tapi emang orang itu perawakannya mirip sama ibu.]Sekarang Kang Dadan hanya bisa melihatku dengan wajahnya yang menahan kesal.“Kamu kalau kangen sama omelan ibu jangan halu dong, Sayang!”Sudahlah kalau memang bukan ibu, syukurlah. Setidaknya meskipun pergi entah ke mana ia tak sampai mengemis di jalanan hanya demi menyambung hidup.~“Terus sekarang ibu di mana, ya? Akang tetap enggak mau cari tahu?”“Kenapa Akang harus cari tahu?”“Karena dia yang melahirkan Akang, seberapa pun besarnya kesalahan ibu. Kita enggak bisa mengubah fakta itu. Dalam tubuhmu mengalir darahnya, tanpa ibu Akang juga enggak akan ada di dunia ini.”Pria itu menatapku dalam diam, sampai kemudian ia merapatkan tubuhnya padaku. Aroma
Read more
Bab 53
“Astaghfirrullah Akang, kenapa malah pingsan di depan pintu.”Aku tidak tahu kalau pria ini akan panik sampai tak sadarkan diri, hanya karena melihat darah dan cairan yang entah apa terlihat mengotori lantai kamar mandi. Cairan itu berasal dariku, sekarang bahkan aku harus berusaha membuka pintu di tengah tubuh Kang Dadan yang menghalangi jalan.Akhirnya setelah berusaha mendudukkan tubuhnya ke pinggir pintu, aku baru bisa keluar dari sana.“Ya Allah kamu kenapa Yas, kok teriak-teriak di dalam.”“Aku enggak apa-apa, tapi kayaknya Akang shock lihat itu!”Aku menunjuk lantai kamar mandi yang kotor dengan darah.“Kamu pecah ketuban Sayang, sudah-sudah ayo sini. Ya Allah si Dadan, istri lagi hamil dia malah pingsan! Ini Sus, tolong suaminya pingsan di kamar mandi!”Aku dituntun ibu menuju ke ranjang, sementara Kang Dadan dibantu para perawat untuk ditangan
Read more
Bab 54
“Teteh sebenernya kenapa? Yas bingung, kalau cuma mau minta maaf sudah jauh-jauh hari aku suda maafin kok. Tapi, ini perhiasan siapa? Kenapa dikasih ke aku?”Ada rahasia apa sebenarnya. Aku sangat bingung sekarang. Apa lagi tangisan Teh Arum juga semakin memilukan.“Kita cerita di kamarku saja yuk, biar enak. Kan ada anak-anak juga takut pada ke dapur.”Aku hanya takut, jika mereka mengetahui kesedihan bundanya. Itu tidak akan baik bagi mental mereka.Akhirnya aku hanya bisa memaksa wanita itu untuk pindah dari dapur.Di kamar, aku dibuat semakin bingung ketika Teh Arum tak mau menghentikan isakkannya. Aku hanya bisa mengusap punggungnya demi meredakan sesaknya, yang kuyakini ia past sudah menahan luka ini sekian lama.Lantas hari ini selayaknya bom yang siap meledak kapan saja. Kali ini mungkin waktunya.“Teteh, aku tahu pasti sakit banget denger kayak gini, tapi udah coba omongin belum sama Kang Ajunnya
Read more
Bab 55
“Kenapa sih dia?” tanya Teh Dewi dengan gaya culasnya.Namun, saat itu malah disenggol oleh Mas Aris.“Samperin sana! Adik kamu itu! Tanyain kenapa dia pulang sendiri? Mana malam-malam, ke mana suaminya?”Benar juga, tak biasanya Teh Nadia pulang kampung sendirian. Selain katanya tak biasa naik angkutan umum yang panas dan berdesakkan dengan pemudik lainnya.Ah, aku jadi ingat bagaimana angkuhnya saudara iparku itu.“Tunggu Teh, jangan ke dalam dulu! Aku mau ngomong sesuatu. Mumpung semua sudah kumpul di sini!”Teh Nadia yang saat itu hendak masuk pun mendadak kembali.Aku bisa melihat kegugupan di wajah Teh Arum, sesekali ia melirik ke arahku lantas ke arah suaminya. Yang saat itu bahkan sama tegangnya. Aku bahkan bis melihat ia seperti mengancam istrinya itu dengan tatapan tajamnya.“Sayang ada apa sih, kok Teh Arum dari tadi lihat kamu.”“Dengerin aja, nanti juga t
Read more
Bab 56
“Mafin aku Yas, kami bener-bener khilaf saat itu. Begitu melihat lemari ibu yang penuh dengan emas Batangan dan perhiasan. Kami jadi kalap dan malah menginginkan semuanya.”“Jangan-jangan ibu bukan kabur dari rumah, tapi Teteh yang usir dia.”“Soal itu, hm sebenarnya untuk masalah anakku yang di klinik juga hanya akal-akalan kami. Awalnya Anita memang mengalami konstipasi, tapi keadaannya tidak terlalu serius. Jadi, cukup diberikan obat saja juga sudah baikkan.”“Kalau memang begitu, kenapa Teteh malah melebih-lebihkan seolah-olah yang ibu lakukan itu sampai mengancam nyawa Anita?”Anita adalah anak kedua dari Teh Nadia, usianya belum menginjak 6 bulan. Jadi, ia tak seharusnya mendapatkan makanan selain ASI. Aku pikir memang benar, jika anak itu dalam keadan yang kritis. Ternyata hanya akal-akalan saja.Memang benar ya, buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya. Sikapnya persisi seperti Bu Irah. Sek
Read more
BAB 57
Aku bisa mengerti sesakit apa Kang Dadan mendengar kabar ini, ia sampai tak bisa berhenti menyalahkan diri.“Belum terlambat buat cari keberadaan ibu, Kang. Kita bisa cari sekarang juga kalau Akang mau. Mumpung kita di sini, kalau udah di Bali. Pasti ‘kan repot harus minta cuti dan sebagainya. Hayu, Akang mau sekarang? Aku temani!”Akhirnya setelah sekian lama ia terus menunduk sambil merenungi kesalahannya, pria itu menatapku.“Kamu bahkan lebih peduli sama ibu dari pada anak-anaknya.”“Setelah aku merasakan hamil dan melahirkan, aku jadi tahu Kang jadi ibu itu enggak mudah. Apa lagi merawat anak-anak. Aku cuma belajar menempatkan diri, kalau aku di posisi ibu bagaimana? Pasti aku juga akan melakukan hal yang sama. Siapa yang enggak akan merasa bersalah, melihat cucunya kritis dan hampir meninggal, karena kesalahan kita sendiri.”“Iya, tapi semua itu bohong.”“Ibu mana mengerti mas
Read more
Bab 58
Aku masih berusaha untuk meminta tolong pada orang-orang di sana, termasuk para pedagang yang berada di sekitar lampu merah.“Aduh Neng, mana bawa-bawa bayi. Jangan nekat! Sudah tunggu aja di sini.”“Enggak bisa dong Mas, nanti kalau suami saya dipukuli bagaimana?”“Enggak, asal enggak cari masalah. Mereka enggak anarkis kok.”“Tapi, tadi katanya mereka suka mukul orang.”“Enggaklah, dasar aja orangnya enggak mau nolongin. Sudah tunggu saja di sini! Sebentar lagi juga keluar!”Saat itu ibu-ibu yang kebetulan lewat pun sampai menahan kutetap tinggal. Ia menarik lenganku, begitu erat.“Kalau ada.apa-apa, memangnya Neng enggak kasihan sama anak-anak?”Benar juga. Adanya mereka membuat gerakanku jadi terbatas.Sekarang aku hanya bisa pasrah sambil harap-harap cemas, menanti mereka yang tak kunjung keluar dari markas itu.“Memangnya ada urusa
Read more
Bab 59
“Benar kata Mas Aris, kalau sampai ibu masih gak sadar. Itu keterlaluan banget. Kalau sekarang ibu enggak mau ketemu, mungkin aja dia cuma perlu waktu buat nerima semuanya.”“Akang antar kamu pulang dulu, ya? Lagian hasilnya baru keluar besok.”“Memangnya ibu mau dirawat?”“Ia, biar enggak bolak balik. Sekalian mau cek kesehatan yangl ain. Dokternya baru ada besok pagi. Sekarang udah tengah malam gini. Kamu mau istirahat di mana coba. Mana enggak boleh masuk juga, ‘kan ada bayi,” ucap Kang Dadan.~Saat itu memang kurasa tak ada pilihan lain. Apa lagi memikirkan anak-anak yang juga butuh tempat yang layak.Kami bahkan tak diperkenankan masuk, karena membawa bayi.~“Ayo Akang antar! Percaya sama Akang, ibu enggak benci kamu kok. Dia cuma butuh waktu aja. Kita tunggu di rumah aja, ya?”Sebelum pulang Kang Dadan mala mengajakku untuk mampir di warung bakso f
Read more
Bab 60
“Loh, terus ibu mau tinggal sama siapa? Mau sama aku?”Teh Dewi mulai angkat suara.“Enggak, ibu juga enggak mau menyusahkan kamu. Kehidupan kau aja ngepas buat sehari-hari. Biarin ibu di sini sendiri. Mereka biar cari rumah sendiri.”Sontak saja Teh Nadia dan Teh Arum langsung menghambur dan berlutut di hadapan ibunya.“Bu, maafin Nadia. Aku tahu yang aku lakukan ini salah banget, tapi Nadia juga enggak tahu mau tinggal di mana lagi kalau bukan di sini, hiks.”“Tolong maafin Arum juga Bu, kami bener-bener enggak tahu harus tinggal di mana, hiks. Kami bahkan belum punya pekerjaan. Kami enggak tahu mau mulai kehidupan seperti apa?”“Waktu kalian mengusir ibu dari rumah, pernah enggak kalian mikirin ibu mau tinggal di mana dan bagaimana? Padahal, enggak setiap hari juga Ibu berkunjung ke rumah kalian.”Sekarang tangisan keduanya malah semakin menjadi.“Ibu selalu m
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status