All Chapters of Terpaksa Menikah dengan Teman Kerja Ayah : Chapter 51 - Chapter 60
91 Chapters
May merasa bersalah pada Alvin
“Wah, ini enak. Sepertinya kita sudah lama tidak kesini, kita bertiga. Kalian sibuk dengan dunia baru, meninggalkan Nita yang cantik sendirian dan kesepian. Apalagi setelah May harus dirawat.” .Ini kencan pertama kita lagi.” May tersenyum dan mengangguk, hari ini memang pertama kali mereka dipertemukan setelah entah kapan terakhir kali mereka disini. "Baru saja pelayan kafe itu bertanya. Dia bahkan mengatakan sudah lama sekali tidak datang ke sini. Biasanya dua kali sehari." Kata-kata Bela membuat mereka tertawa. Dulu, karena tidak ada pekerjaan, mereka sering datang ke sini. Sekarang mereka tampak sangat sibuk dengan semua hal yang dimiliki setiap orang pada level yang berbeda. “Eh May, kamu udah sembuh? Apakah tidak apa-apa makan seperti ini? Saya khawatir saya tidak bisa. Apakah Anda mencoba bertanya pada Alvin dulu! May menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa. Sekarang sudah tahap kedua penyembuhan. Dan lebih longgar lagi makan yang tidak begitu sehat. Tidak sepe
Read more
Bela panik
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Dulu, kandungan Bela yang masih belum terlihat, kini tepat berusia 9 bulan. Wanita itu akan berganti gelar dalam hitungan hari. Bela benar-benar tidak percaya, tapi... Hatinya sangat senang ketika dia ingat bahwa dia akan menjadi seorang ibu. "Bela, kamu tidak merasakan apa-apa?" tanya Deva sekali lagi. Ia sangat mengkhawatirkan istrinya yang kini memasuki minggu persalinan. Deva khawatir Bela tidak menyadari sedikitpun perasaan yang menandakan bayi mereka akan segera lahir karena mereka masih pasangan muda yang belum mengerti apa-apa. "Deva, aku sudah memberitahumu sepuluh kali. Apakah kamu ingin bertanya lagi setelah ini?" Balas Bela sedikit kesal. Dia hanya lelah menjawab lagi hal yang keluar dari bibir suaminya. Dia juga bisa merasakannya, dia adalah seorang ibu. "Aku hanya menjagamu dan anak kita, sayang. Aku tidak ingin terjadi apa-apa padamu. Ini sudah hari H. Kita harus tetap waspada." Bela terkekeh. Kata-kata Deva memb
Read more
Kontraksi
“Aduh, kamu yang memintaku untuk berada di sini, tapi kamu juga yang mengusirku. Ucap Bela sambil bangun. "Tapi entah kenapa aku tetap cinta!" Lagi-lagi Bela mencubit pipi Deva. Ya Tuhan, jika ada bawahannya yang datang ke sini, otoritasnya akan hilang sekarang. Bela. Untungnya, Deva juga menyukainya. “Sampai jumpa Ayah! Saya ingin melakukan senam dengan ibu dulu!” Bela pamit menirukan suara anak kecil. Dia sekarang suka bertindak seperti itu. "Hati-hati, Sayang! Jangan lelah, oke?" Kata Deva sambil mencium perut istrinya dan juga kening Bela beberapa saat. Manis sekali. Membuat dada Bela berdesir senang. Sepertinya, dia tidak ingin melewati ini dengan cepat. Tapi tidak ada yang bisa memiliki waktu. Dia bergerak sesuai dengan sifatnya dan tentu saja, tidak bisa ditunda atau diputar ulang. Maka setiap saat dalam hidup adalah sesuatu yang sangat berharga. Tidak akan bisa terulang kembali untuk dikenang atau dikembalikan untuk hidup normal. Dan momen memalukan De
Read more
Deva khawatir
Deva yang menerima telepon itu pun langsung kaget. Jantungnya langsung terpompa kuat. Seluruh tubuhnya merinding karena kata-kata yang didengarnya dari instruktur senam Bela. "Be-Bela melahirkan?" Deva merinding mendengarnya, namun sesaat ia langsung tersadar dan mengambil kunci serta barang penting seperti dompet untuk langsung menuju ke tempat Bela berada sekarang. Sebelumnya, instruktur senam Bela belum mengumumkan keberadaan mereka. Dia akan mengirimkan alamatnya nanti. Saat di tempat parkir, Deva mendapat alamat rumah sakit. Detak jantung Deva berpacu dengan waktu. Ia pun memikirkan cara alternatif untuk tiba lebih cepat dari waktu biasanya yang hampir satu jam. Entah kenapa instruktur senam Bela membawa Bela ke sana, tapi yang pasti sekarang dia harus cepat sampai. "Oke fokus, Bela butuh kamu sekarang," gumam Deva. Di sisi lain, kini Bela mengatur napasnya yang berat dan juga terengah-engah. Dia merasa bahwa sekarang perutnya sangat sakit. Entah apa yang memb
Read more
Lelucon
Deva tidak tahu apa yang terjadi. Saat hendak menanyakan itu, namun urung karena Bela terlihat ingin dipeluk. "Akhirnya kamu tiba!" Deva memeluk Bela dengan erat namun juga dengan banyak tanda tanya. “Bela, apakah anak kita sudah lahir? Tapi kenapa perutmu masih besar?” Satu kalimat panjang yang didapat Bela dari Deva membuat perempuan itu terkekeh. "Bayinya hanya bercanda. Itu kontraksi palsu." Bela menjelaskan secara singkat sambil menyeringai. Sementara itu, Deva kini sangat tidak percaya dengan ucapan santai tadi. Jadi anak kita belum lahir? Bela mengangguk manis. Deva mengacak-acak rambutnya sambil menghela napas lega. "Aku lega kau baik-baik saja. Tapi sungguh, kenapa anak kita tidak keluar? Biarkan aku bertanya pada dokter." kata Deva sambil melihat ke segala arah. Dia mencari dokter. Dia tidak meragukan semua keahlian dokter di sini, tetapi dia sebagai seorang ayah, hanya tidak ingin mengambil risiko sebesar itu. Dia harus memastikan ini benar atau tidak.
Read more
Pulang
“Hati-hati, ibu! dan terima kasih banyak karena selalu ingin mengganggu Bela.” Ucap Bela dengan senyum manis dengan wajah bahagia. Dia saat ini menemani ibu instruktur senamnya yang akan pulang. Tadi hampir seharian dia ditemani instruktur senamnya setelah tiba-tiba Deva harus ke kantor lagi untuk mengurus sesuatu. "Kamu harus disini dulu ya? Di rumah dulu, karena suami kamu juga benar. Takut terjadi hal yang tidak diinginkan, bukankah kamu yang panik juga?" Bela tersenyum. Dia mengangguk. "Memang paling tau Bela. Sekali lagi terima kasih bu. Walaupun ke depannya mungkin Bela sudah lama tidak senam lagi, tetap harus maklumi Bela. Sering-seringlah main! Aku harus gitu atau nanti Bela main sama bayinya ya sayang?” Senyum Bela terukir, ia mengusap perutnya yang kini tinggal menunggu hari kempis. Instruktur senam Bela pun mengelus perut perempuan itu. Meskipun sebelumnya dia orang asing, entah kenapa dia mencintai Bela dan putrinya. "Aku seperti menunggu anak lahir dan
Read more
Bukan lelucon lagi
"Kamu bisa pulang sekarang?" tanya Deva dengan wajah gembira, dan tentu saja Bela menjawab dengan senyuman dan anggukan senang. "Ya, jadi kita bisa pulang dan menunggu sampai tanggal yang ditentukan dokter di atas kertas untuk datang ke sini lagi." "Satu minggu lagi ya? Apakah anak kita akan lahir dalam seminggu?" tanya Deva setelah melihat tanggal yang tertera di kertas itu. "Siapa tahu? Apapun itu, saya berharap bayi saya dan saya akan tetap sehat. Tapi kalau dilihat dari usianya, ini adalah usia kelahiran normal saya dalam satu minggu. Saya tidak tahu apakah bisa lebih cepat atau bisa lebih lama. ." Deva mengangguk dan mencium kening Bela sebentar. "Sekarang ayo kita pulang, ya? Aku tahu kamu tidak suka bau rumah sakit, tidak peduli seberapa bagus rumah sakit itu. Dan jika kita di rumah kita bisa bebas. Apakah kamu ingin pulang sekarang? Apakah kamu aman? Tidak ada keluhan?" Ren mengangguk. "Aman. Ayo pulang! Aku tidak sabar untuk menghirup udara rumah lagi." Mer
Read more
Perjuangan Bela
Bela mengangguk percaya diri. Dia tahu bahwa dia bukanlah seseorang yang berpengalaman tetapi jujur ​​di dalam hatinya, dia percaya bahwa dia bisa. Dia memiliki petunjuk kemarin serta beberapa pengalaman dengan kontraksi palsu beberapa hari yang lalu. “Pegang tanganku, Ren, kalau kamu tidak kuat, bilang oke. Jangan terlalu memaksakan!” Kata-kata Deva membuat Bela tersenyum, Deva sangat perhatian padanya, dia juga menemani dengan sabar mengikuti semua hal yang diinginkan Bela. "Terima kasih," kata Bela pelan. Dia sekarang mengarahkan perhatiannya kembali ke persalinan. Bela terus berusaha mengatur nafasnya. Dia tidak boleh gugup dan juga mendorong keluar dari waktu yang ditentukan atau diinstruksikan oleh bidan. Sekarang bidan sedang mempersiapkan semua hal yang dibutuhkan Bela. Mulai dari hal kecil hingga hal besar, semuanya dilakukan secara tiba-tiba. Hal ini membuat waktu persiapan menjadi lama. "Tunggu dulu Bela! Kami siapkan semuanya dulu. Deva, bisa bantu aku meny
Read more
Penyinar hati
"Maafkan aku sayang! Aku melepaskan tanganmu saat kau memperjuangkan putri kita. Maafkan aku, Bela. Aku tidak bisa menahan muntah saat melihat begitu banyak darah seperti sebelumnya. Aku tidak berguna, sayang ..." Air mata Deva pecah lagi. Bela kini malah tersenyum geli. Suaminya pun memeluk punggungnya tak kalah erat. “Aku juga sudah tahu bahwa hal seperti itu akan terjadi. Aku mengenalmu, jadi jangan minta maaf, oke? Meskipun kamu tidak bisa menemaniku, itu bukan salahmu. Ayo, jangan menangis! Waktunya kalah dengan anak kita yang baru lahir. Kamu menangis, bayi kita yang cantik menertawakanmu." Deva langsung bergerak dan membingkai wajah Bela. "Apakah kamu tidak marah padaku?" Deva meminta agar Bela tidak marah padanya. "Ya Tuhan, ya sayang... aku sama sekali tidak marah," kata Bela dengan nada lembut. Deva tersenyum. Dia senang istrinya bisa memaafkan kesalahan yang memalukan ini. "Deva udah abis nangis? Ini anaknya cantik, kamu mau kekeluargaan sama ibunya dulu?
Read more
Istrinya Mike ngambek
Dalam sekejap, tawa itu meledak. Mike sangat sepeser pun kebalikan dari putranya. Para lansia menikmati keharmonisan berkat kelahiran cucu pertama mereka sebelum menuju ke rumah Deva. Sesampainya di sana kini kedua orang tua itu langsung masuk ke dalam. Tak sabar istri Mike pun lupa bahwa suaminya masih tertinggal. “Nasib kalah cucu. Saya yakin nanti akan ada sharing group. Bisa jadi ayah baru juga dicuekin sama ibu-bayi baru," kata Mike sambil cekikikan. Aneh kelakuan kakek satu cucu ini. "Bela sayang! Kamu dimana?" Suara ibu sekarang nyaring. Bela dan Deva kini memperhatikan Luna yang masih berusaha belajar menyusu sambil menoleh serempak. "Ibu telah datang. Kamu akan bertemu dengannya!" Deva mengangguk. Dia membelai surai Bela dengan lembut. Dan juga tidak lupa mencium Luna. "Ayah pergi dulu ya, mau ajak nenek ke sini? Nanti Luna ketemu Oma sama Opa..." Senyum Bela dan Deva melebar. Selalu menyenangkan berbicara dengan anak-anak mereka meskipun Luna belum bi
Read more
PREV
1
...
45678
...
10
DMCA.com Protection Status