All Chapters of Suami Kontrakku Ternyata Dewa Perang: Chapter 21 - Chapter 30
173 Chapters
21. Pamer Kemesraan
Bima makan dengan tenang. Ia duduk di sebelah Marsha, sementara Derren duduk di depannya. "Kenapa makananku tidak pedas?" Marsha menatap Derren dengan tatapan kecewa. "Katamu, Tuan Bima tidak bisa makan pedas! Ya sudah, aku tidak menambahkan cabai di dalamnya," jawab Derren, santai. Walau tidak terlalu senang karena makanannya tidak pedas, namun ia tetap makan dengan lahap. Masakan Derren memang pantas untuk di akui. Tak heran ia menjadi kepala koki dari Hotel Bintang 5 yang ternama. "Kamu sangat pandai memasak." Bima mengelap mulutnya dengan tisu dan menatap Derren dengan pandangan sengit. "Kamu bekerja di warung makan mana?" ucapnya, sedikit mencemooh. Derren melirik Marsha. Ia melihat wanita itu berhenti makan dan menatap Ayahnya dengan tatapan tak kalah sengit. "Apa maksud Ayah?" Marsha terlihat tak senang. Bima menoleh padanya dan memelototkan mata. "Telan dul
Read more
22. Keras dan Tegas
"Bisakah kamu bersikap lebih normal?" Rama–Dokter Spesialis Dalam–menatap Marsha yang tak henti-hentinya tersenyum dengan pandangan aneh. "Hentikan tawa aneh itu, Marsha! Kita sedang dalam operasi penting! Jangan melakukan kesalahan karena kamu membawa masalah luar, ke dalam ruang operasi!" Namun yang di tegur tak kunjung peka. Ia terus tersenyum malu-malu dan melakukan pekerjaannya tanpa terganggu. Suster Senior–Valerie, Lintang dan Bagas yang mendampingi operasi mereka hanya menggelengkan kepalanya ampun melihat keduanya bertengkar. "Anda tidak perlu mempermasalahkan hal itu, Dokter Rama. Bu Marsha melakukan operasinya dengan baik walau wajahnya begitu," ucap Jia–Dokter Anestesi. Rama membuang napas kasar dan kembali melihat organ dalam yang harus segera ia jahit. Sayangnya, ia melewatkan detik bagiannya dan Marsha telah mengerjakannya tanpa banyak berbicara. "Pasienmu bisa meninggal walau kita hanya k
Read more
23. Cepatlah Datang
"Apa yang kamu bicarakan?" Zahra menatap Tomo dengan tatapan sengit. Beberapa perawat yang melihatnya hanya terdiam dengan tatapan takut. Keduanya memang tidak akrab, karena Tomo sering memancing emosi Zahra. "Sekali lagi aku dengar kamu berbicara seperti itu tentang jabatan! Aku akan benar-benar mengeluarkan–“ "Mama." Zahra menoleh dan melihat seorang anak perempuan berusia 4 tahun, berlari ke arahnya dengan senyuman lebar. Amarah Zahra langsung luntur. Ia segera bangun dari duduknya dan memeluk putri kecilnya. "Kamu datang bersama siapa, Tiya?" Gadis kecil itu menunjuk ke arah seorang lelaki tampan bersetelan jas hitam, berjalan mendekati mereka dengan wibawa yang kuat. "Tiya, Ayah sudah bilang, kan! Jangan lari-lari di tempat ramai. Bagaimana kalau Ayah kehilanganmu?" Dean–lelaki berusia 28 tahun yang menyandang status suami Zahra–tampak marah dengan cara yang menggemaska
Read more
24. Bukan Pemaaf
4 orang berpakaian loreng hijau-coklat berjalan masuk ke dalam rumah sakit dengan wajah panik. Tanpa sadar, mereka telah membuat warga rumah sakit bergidik ngeri melihat kehadiran keempatnya. Derren berjalan ke meja resepsionis dan bertanya. “Atas nama Marsha Anindira, di ruang operasi berapa ia berada?” Perawat menunjukkan arah untuk pergi ke ruang operasi Marsha. Derren dan tiga teman Tentaranya bergegas pergi dan menemui Naya serta Yana yang ada di ujung lorong di depan sana. Keduanya tengah meringkuk di atas kursi besi dengan seorang lelaki berkumis hitam–duduk di samping mereka–menunggu bersama keduanya. “Naya, Yana, bagaimana keadaan Kak Marsha? Ia baik-baik saja, kan?” Derren mendekat dengan langkah lebar. Naya dan Yana bangkit dari tempatnya dan segera memeluk Derren dengan erat–mereka menangis dengan tubuh gemetar. “Jangan berisik, ini rumah sakit!” bisik Derren, mengingatkan keduanya.
Read more
25. Siapa Pelakunya?
Perlahan-lahan tapi pasti, Marsha membuka mata dan melihat seorang lelaki asing tengah duduk di samping ranjang dengan membaca sebuah buku psikologi yang tebal. “Siapa?” Marsha bergumam lembut. Lelaki itu menutup bukunya. Ia bangun dari tempatnya dan menatap Marsha yang membuka matanya dengan sedikit kesulitan. “Anda bisa melihat saya?” tanya lelaki bersuara berat itu, masih memandanginya. “Tidak. Aku tidak tahu kamu. Pandanganku tidak jelas! Yang jelas, aku tahu kamu botak.” Arasy menatap datar. Ia menarik rambutnya yang di kucir buntut kuda ke samping dan menunjukkannya pada Marsha. “Saya hanya mengikat rambut saya. Bukannya botak, Nyonya!” jelasnya, ketus. Marsha menunjukkan wajah masam. Ia segera meminta maaf setelah menyadari perasaan kesal lawan bicaranya. “Siapa kamu? Kamu belum menjawab pertanyaan itu.” Kini perlahan-lahan Marsha bisa melihat siapa yang ada di depannya.
Read more
26. Emosional
“Tidak perlu ikut campur, Lea. Ini bukan urusanmu.” Derren menghela napas panjang dan mengambil alkohol dan beberapa perban untuk mengobati dirinya sendiri. Lea mengerutkan kening. “Apa yang kamu maksud bukan urusanku? Kita kan–“ Derren menaikkan sebelah alisnya. “Kita apa?” Lea diam. Ia sedikit memalingkan wajah dan berusaha menenangkan napasnya yang telah menggebu karena amarah. “Bukan apa-apa.” Lea merebut kasa dari tangan Derren dan membantunya mengobati luka. “Biar aku sa–“ Marsha muncul. Ia telah menggenggam tangan Lea yang hendak menyentuh Derren untuk mengobatinya. “Apa yang akan kamu lakukan?” Derren terdiam melihat kobaran amarah pada mata istrinya. Ia tak menyangka Marsha bisa semarah itu hanya karena Lea. Apa mereka sudah benar-benar bermusuhan sekarang? “Marsha, ia hanya mencoba membantu–“ “Siapa yang kamu bela?” sela Mars
Read more
27. Sekutu Berbahaya
"Sudah berapa kali aku mengatakannya padamu?" Do Hwa–wakil Kepsek Akademi Waston–terlihat marah pada kepala sekolah sekaligus atasannya–orang yang seharusnya ia hormati dan takuti. Namun kini posisi mereka terbalik. Hans malah terlihat khawatir dan takut ketika Do Hwa marah. Terlebih lagi, ia adalah anak Wakil Ketua Yayasan, Pak Sean. "Aku tidak bermaksud mencelakainya." Hans menghela napas kasar. Ia sudah menjelaskan berulang kali alasan rencana penyerangan terhadap Derren, namun Do Hwa tidak mau mengerti dirinya. "Lalu apa semua ini?" Do Hwa memukul berulang kali dokumen tebal di atas meja yang ia terima pagi ini, dari seorang pengirim "Tanpa Nama". "Semua dokumen ini nyata! Penggelapan dana, bahkan beberapa orang yang kau lenyapkan hanya untuk mempertahankan posisi itu." Do Hwa, lelaki bersurai pirang dengan paras kelewat tampan itu menatap Hans yang terbaring lemah di atas ranjang
Read more
28. Izin Rombongan Tamu
“Em ... apakah Kepala Sekolah baik-baik saja? Aku dengar dari Kak Yana, ia terluka cukup parah di bagian kaki.” Yana menunjukkan wajah khawatir. Ia terlihat tulus. “Tidak perlu di pikirkan. Ia akan segera sembuh dan masuk ke sekolah. Kamu tak perlu pusing memikirkan itu, pikirkan saja rumor tentang dirimu,” balas Marco, berjalan tenang di sampingnya. Yana menundukkan kepalanya–diam dengan pikiran kacau. “Sepertinya aku salah bicara," batin Marco. Ia menghela napas panjang dan memberikan sebatang permen pada Yana. “Jangan sedih. Aku akan membantumu mencari teman.” Marco memandang Yana yang terus menatapnya dengan polosnya. “Temanku banyak. Aku bisa memperkenalkan mereka padamu. Jadi kamu tidak perlu takut di bully lagi.” Yana menggelengkan kepalanya–menolaknya dengan halus. “Terima kasih bantuannya, Kak Marco. Aku akan mengurus diri sendiri. Tidak perlu merepotkan dirimu.” Gadis cantik berambut
Read more
29. Broken Heart
Bridam memijit kepalanya yang terasa sakit dengan keras. Sampai sekarang ia masih menerima penolakan dari Derren. Sungguh ia tak tahu kenapa lelaki muda itu tak ingin menunjukkan istri cantiknya pada dirinya. “Apa ia kira wajahku terlalu menakutkan? Hem ....” Bridam bercermin. Ia melihat wajah tua yang masih terlihat tampan dan berkarisma itu dengan tatapan tak paham. “Padahal aku tampan begini, kenapa ia tak mau mempertemukan aku pada menantuku?” Ahmad–lelaki berusia 36 tahun yang berstatus Marsdya TNI (bintang 3)–hanya bisa menghela napas panjang dan melihat kelakuan narsis atasannya dengan pasrah. “Dari mana datangnya sikap percaya diri itu? Memungutnya di jalan?” sambar Ahmad, tidak tahan. “Kenapa kamu berbicara tajam? Kamu punya dendam karena aku tidak mengizinkan cutimu kemarin?” Ahmad menepuk keningnya–tak habis pikir. “Kenapa kamu mengungkitnya lagi? Kamu sungguh senang bertengkar denganku, ya?” Bridam hanya memutar bola matanya dan melihat Anis berlalu di depan kan
Read more
30. Tuduhan
“Baiklah, aku mengerti.” Marsha memalingkan wajah dari Derren. Ia menatap para tamunya dengan senyum ramah. “Saya akan makan siang. Apakah kalian ingin pergi bersama? Menu di kantin kami sangat lah lezat. Anda harus mencobanya.” Bridam segera menyetujui hal tersebut. Mereka pergi bersama ke tempat tujuan–tanpa gaduh. Baru saja duduk di tempatnya, tiba-tiba Marsha melihat Lea berlari ke arah Derren dan duduk di sebelah suaminya dengan hati riang. “Aku akan bergabung denganmu di sini. Kamu tidak keberatan, bukan?” Lea memandang Derren dengan penuh cinta. Tuan Bridam dan yang lain tampaknya mengenal Lea. Karena mereka menyambut dokter cantik itu dengan tangan terbuka. Berbeda dengan Tuan Ahmad dan Derren yang terdiam sambil melihat Marsha yang terus memperhatikan kesenangan di depannya. “Anda baik-baik saja?” Marsha memalingkan wajahnya pada Tuan Ahmad. Lelaki itu duduk tepat di seberangnya dan terus memperhatikan dirinya. “Saya?” Marsha merasa sedikit bingung dengan kekhawati
Read more
PREV
123456
...
18
DMCA.com Protection Status