All Chapters of Suami Kontrakku Ternyata Dewa Perang: Chapter 31 - Chapter 40
173 Chapters
31. Ayah Mertua
Dengan sabar Tomo kembali menjahit luka Marsha yang setengah mengering dengan perasaan ngilu. Ia sudah menyuntikkan obat bius agar ia tidak merasa sakit. Jadi semua aman untuk Marsha. “Lukanya hampir menutup. Tapi masih membutuhkan jahitan.” “Kamu benar.” Tomo segera menyelesaikan pekerjaannya dan menyimpan semua alatnya. “Maaf untuk tindakkanku. Huff ...  tapi kamu juga bersalah karena memforsir diri dalam keadaan seperti ini.” Marsha memakai kembali pakaiannya dan menatap Tomo yang duduk di sofa seberang ranjangnya. “Lea hanya membutuhkan bantuan kecil. Aku rasa tidak masalah untuk bergerak sedikit. Toh, aku tidak mengangkat barang berat!” Marsha menghela napas lelah. Ia menegak segelas air dan menata dirinya dengan nyaman di atas ranjang. Ia kembali memandang Tomo. “Lalu bagaimana kondisi keluargamu? Para preman itu masih mengganggu walau telah menyebabkan kekacauan di sini?” Marsha menatap
Read more
32. Perilaku Keji
“Baik.” Marsha tersenyum ramah dan membuka pintu yang ada di belakangnya. “Saya akan menunggu Anda di hari yang di janjikan.” Lelaki itu mengangguk antusias. “Tentu. Aku akan menantikannya.” Ia pun berjalan keluar. “Ayah Mertua.” Lelaki paruh baya dengan kumis tipis itu kembali menoleh. “Ada apa?” Marsha menggantung tangannya di udara. Lelaki itu menatap tangan Marsha beberapa saat–dengan ambigu memberikan tangannya pada Marsha. Marsha menyalami tangan itu dengan sopan. “Hati-hati di jalan Ayah.” Marsha mengeluarkan dompetnya dan mengambil beberapa uang berwarna merah. “Saya harap Anda bisa naik taksi, Ayah.” Lelaki itu tersenyum lebar. Matanya berbinar cerah melihat banyaknya uang yang ia terima dari Marsha. “Dari pada naik taksi. Aku akan bisa mengundi–“ Greb! Marsha mencengkeram tangan lelaki itu dengan kuat. Ia melihat lelaki berstatus Ayah
Read more
33. Menantu Yang Baik
Marsha memberikan kompres air pada Derren. “Apa yang terjadi?” Marsha memandang Derren yang bungkam dan memalingkan wajahnya—tidak ingin memandangnya. “Kamu tidak mau menjelaskan padaku?” Derren masih mengatupkan mulutnya rapat tanpa ingin menjelaskan. Marsha mengangguk mengerti dan bangkit dari tempatnya. “Baiklah kalau begitu.” Derren memandang Marsha keluar dari kamarnya. “Mau ke mana?” Marsha hanya menoleh dan tidak menjawabnya. Wanita itu hanya tersenyum dan berlalu pergi—membalas perlakuan Derren yang bungkam. “Kamu mengusir kami?!” Suara Dafa terdengar lantang. Tampaknya ada pertengkaran di luar sana. “Kamu baru saja mengundang kami datang ke sini tidak lebih dari sehari. Tapi sekarang kamu sudah mengusir kami?” “Saya tidak akan melakukan itu jika kalian bersikap baik!” Marsha menjawab dengan tenang. Berbeda dengan kedua lawan b
Read more
34. Tekanan
Marsha memandang lelaki yang ada di depannya. Ia masih tetap bungkam walau 10 menit berlalu. Bahkan makanan Marsha hampir habis sekarang. “Ibu ...." Marsha memanggil. “Sebenarnya apa yang ingin Ibu katakan? Anda bisa menyampaikannya, Bu.” Marsha memandang tulus. “Jika Ibu sulit untuk mengatakannya, Ibu bisa meninggalkan pesan. Saya akan membacanya jika ada waktu luang.” Rina menatap Marsha dengan tatapan bingung. “Aku akan menyampaikannya sekarang.” Marsha menatap serius. ”Baiklah.” “Ini tentang Ibu. Aku harap kamu tidak membocorkannya pada yang lain. Bisakah?” Marsha mengangguk pelan. ”Saya akan melakukan itu. Tapi jika itu hal yang harus di katakan pada semua orang, saya tetap akan memberi tahu yang lain.” Rina kembali bimbang. Ada sesuatu yang ingin ia katakan, namun ia tidak ingin yang lain tahu tentang itu. Ini adalah rahasianya. “Baiklah kalau begitu.” Rina b
Read more
35. Aku Ingin Melindunginya
Tok ... tok .... Marsha mengetuk pintu dengan pelan. Ia langsung masuk dan melihat pemandangan buruk di sana. “Tu-an Sean, ampuni saya.” Hans menyatukan tangannya di depan wajah. Ia memohon pada lelaki itu dengan tatapan prihatin. Bahkan Hans telah memegang kaki lelaki bernama “Sean” itu dengan erat. “A-ayah! Jangan mau mengalah dengan lelaki iblis sepertinya!” Marco berteriak marah. Lelaki muda itu menangis melihat sosok Ayah yang menyedihkan di bawah sana–tanpa menghiraukan kondisi dirinya yang di cekik oleh Sean hingga sulit bernapas. “Ini rumah sakit!” Marsha berucap dengan penuh tekanan. “Apa yang Anda lakukan pada pasien saya?!” ujarnya, marah. Melihat wajah Marsha yang tegang karena amarah, Sean tersenyum culas dan mendekatinya. “Ternyata inilah wanita yang berhasil lari dari maut.” Sean mencekal wajah Marsha. Meremasnya dengan kuat sampai rahangnya terasa n
Read more
36. Penyusup
“Kalian sudah membuka baju?” Marsha datang dengan membawa kotak obat. Ia memandang Yana dan Naya dengan tatapan nanar. Luka di tubuh kecil itu terlihat bertumpuk sebelum mengering dengan baik. “Kakak ngeri?” Naya mengajukan pertanyaan yang menyayat hati Marsha. Wanita berusia 25 tahun itu segera menggeleng dan duduk bersila di depan keduanya. “Aku pernah melihat orang dengan kondisi yang lebih mengerikan dari kalian. Kehilangan sebelah matanya. Mayat tanpa lidah atau kepala.” Marsha menyeka air matanya yang sempat menetes dengan cepat. Ia mendudukkan kepala. Tak kuasa menahan tangis melihat betapa rusaknya tubuh kedua anak ini. “Bagiku, tubuh kalian lebih berharga dari pada barang-barang itu.” Marsha memandang keduanya dengan mata merah dan air mata yang berlinang. “Lain kali, tolong biarkan saja mereka pergi dan jangan biarkan tubuh kalian mendapatkan luka.” “Kalian mengert
Read more
37. Hubungan Yang Buruk
“Bagaimana? Mama menjahitnya dengan baik, bukan?” Dena memandang Marsha yang bercermin dan melihat hasil jahitannya di kepala mungil itu. “Tidak terlalu buruk.” Marsha menghela napas lelah dan mengusap beberapa bagian wajahnya yang memiliki jejak darah yang hampir mengering. “Mama tahu siapa pelaku di balik insiden ini?” tanya Marsha, tanpa memandang wajah lawannya. Ia sibuk membereskan peralatan medis yang telah di gunakan Dena dan membuangnya ke tempat sampah. “Entahlah, Mama juga tidak tahu.” Dena memandang Marsha dengan tatapan menyelidik. “Bukannya kamu yang memiliki ‘clue’ untuk insiden hari ini?” Dena menunjuk pintu di pojok ruang kerja Marsha dengan gerakan dagu–yang jelas, ruangan itu isinya bukanlah kamar mandi. “Kamu orang yang teliti. Sudah pasti kamu mengamati kami setiap saat,” ucap Dena, tajam. Marsha menatap bilik kamar yang di tunjuk Dena dan tersenyum masam. “Sekeras apa pun a
Read more
38. Orang Sabar
Derren mengerutkan keningnya dalam. Ia tak mengerti perkataan wanita cantik di hadapannya ini. “Maksud Anda dengan Adik Ipar?” Derren memandang Nada dari ujung kaki sampai ujung kepala. “Saya rasa Anda tidak mirip dengan Marsha atau Kak Zahra? Dan saya belum mendengar kabar dari Marsha kalau Kakaknya akan berkunjung.” Nada mengeluarkan ponselnya–hendak menghubungi Marsha untuk meyakinkan Derren tentang identitasnya. Tapi sayangnya, ponselnya mati. “Aih, ponselku mati. Bisakah kamu menghubungi wanita tengil itu?” Nada meminta dengan santai. Tampaknya, wanita ini lebih lugas dan santai dari pada Zahra. “Baiklah.” Derren mengeluarkan ponselnya dan melakukan panggilan. “Marsha, apa  kamu punya Kakak Perempuan lain, selain Zahra?” [Ya, aku punya. Kenapa kami tiba-tiba bertanya?] Marsha diam beberapa saat sebelum membulatkan mata. [Jangan bilang wanita itu sudah kembali dan sekarang ada di rumahku?!]
Read more
39. Pesta Topeng
Setelah makan malam, Bima langsung pulang–meninggalkan rumah Marsha sebelum si pemilik rumah pulang. Karena Bima ingin bersama Aini, Nada pun harus terpaksa ikut pulang, padahal ia masih ingin berada di sana untuk bertemu Marsha setelah sekian lama. “Terima kasih untuk makan malamnya. Aku tidak tahu kamu adalah koki yang hebat.” Nada memberikan sebuah buah tangan padanya. “Dan jangan lupa memakai hadiahku pada acara besok malam.” Derren melihat apa yang ada di dalam tas besar yang di berikan Nada. “Setelan jas? Apakah besok ada acara resmi?” Nada mengerutkan keningnya. “Kamu belum mendengarnya dari Marsha? Besok ada acara amal yang diadakan oleh Perusahaan Asland.” “Marsha belum mengatakannya padaku. Hem ... mungkin ia lupa karena akhir-akhir ini Marsha banyak pekerjaan. Nanti akan saya tanyakan.” Nada mengangguk paham dan melihat sebuah mobil Fortune masuk ke dalam halaman luas nan berkelas rumah bentuk Villa ini.
Read more
40. Bukan Orang Biasa
Derren menegak segelas wine perlahan-lahan, seakan ia tahu bagaimana menikmati pesta seperti ini dengan berkelas. “Anda juga datang, Pak?” Sapa seorang lelaki berkulit putih dengan sedikit keriput di wajahnya, mendekat ke arah Derren dengan senyum lembut. Derren dan lelaki itu melakukan cheers pada gelas mereka. “Senang bertemu dengan Anda setelah sekian lama, Pak.” Derren menyapa balik dengan tak kalah ramah. Sepertinya, Marsha mulai tidak nyaman di ujung sana. Ia terus melirik Derren yang lebih menikmati pesta dengan kenalannya, dari pada ia yang terus dikenalkan dengan kolega bisnis baru oleh sang Ayah. “Suamimu–“ Zahra mendekat pada telinga Marsha dan berbisik. “Terlihat akrab dengan Kepala Sekolah Akademik Waston. Apakah mereka berdua mengenal dengan baik?” Marsha mendorong wajah Zahra agar menjauh darinya. “Bicara saja dari sana. Jangan dekat-dekat!” omelnya. Ia memandang Derren yang perl
Read more
PREV
123456
...
18
DMCA.com Protection Status