All Chapters of CEO Brondong itu Kekasihku: Chapter 101 - Chapter 110
122 Chapters
Bab 101. Malam Penentuan
“Yakin kamu menemani aku begadang?” tanyaku dengan memberi tatapan tidak percaya.Sudah dari beberapa hari yang lalu, kekasih brondongku ini mencecar pertanyaan tentang pengumuman hasil lomba menulis itu kapan. Pagi, siang, sore, pertanyaannya senada, dan jawabannya pun sama. “Menunggu balasan pesan dari Editor yang menunggu keputusan dari pusat.”Itu pun masih belum dipercayai dengan berbagai argumen dari sudut pandang CEO.Huft! Susah ngomong sama lelaki satu ini. Untungnya aku mendapat pesan dari Editor tepat saat makan siang dan orang yang menyebalkan ini datang untuk makan.[Pengumuman lomba menulis novel akan ditayangkan tepat jam 23.00] Pesan di layar ponsel.Tentu saja aku sambut dengan gembira. Lega karena apa yang aku lakukan berujung pada nanti malam, sekaligus terbebas dari tagihan si mas satu ini. Imbasnya, dia ngotot tidak mau pulang sampai pengumuman dilihat dengan mata kepalanya sendiri.“Yakin lah. Daripada aku pulang dan tidak bisa tidur karena kepikiran. Iya, kan?”
Read more
Bab 102. Kamu Gagal
POV AlexanderLaporan yang disodorkan Tomo seketika membuat kepala ini pening. Grafik pada bulan-bulan sebelumnya memantik senyum, sekarang bertahan menunjukkan penurunan. Kalau aku biarkan, bisa jadi aku terpaksa menelantarkan para karyawanku.Ini yang aku tidak mau.“Kenapa bisa begini?” gumanku sambil memeras otak.Pertanyaan berawalan kenapa dan kenapa berjubal. Semua berakhir tidak ada masalah dengan kinerja perusahaan. Justru sekarang giat-giatnya memperluas jaringan. Ini pasti ada faktor ‘X’ yang memicu percepatan berkurang bertahap.“Bukankah investor asing sudah mulai masuk?”Aku menutup map berwarna merah itu, dan menatap satu persatu team inti. Mulai dari bagian keuangan, pemasaran, produksi, sampai bagian pengembangan usaha. Keadaan ini bukan posisi ‘merah’, tapi sudah nyaris.“Bagian yang kosong kemarin memang sudah terisi. Akan tetapi belum membantu secara berarti,” ucap bagian keuangan.“Memang harus ditambah berapa supaya ini menjadi stabil.” Aku bertanya mencari kepas
Read more
Bab 103.  Of Course
POV Nayaka Raya Bohong kalau aku tidak merasa gagal. Memang ini sudah biasa aku alami. Di kehidupan nyata yang begitu memaksaku untuk menyerah. Aku merasa di titik dimana berbuat baik dan benar tidak berujung seperti yang diceritakan orang-orang. Kehidupan yang terjadi di sekelilingku yang mengajarkan kalau hidup tidak seperti harapan. Buktinya, bapak yang hidup dalam cinta, ketulusan, dan kebenaran, justru berakhir sengsara karena tipuan orang yang dianggap sahabat. Aku yang selalu menurut kepada orang tua, justru nyaris terjerumus pada laki-laki brengsek seperti Arman. Dan … sampai sekarang menyandang julukan wanita telat menikah. Sering kali aku iri dengan teman-teman yang menurutku ‘nakal’, justru sekarang memiliki kehidupan yang sempurna. Mempunya keluarga yang dilengkapi buah hati yang menyebutku ‘Tante’. Sedangkan aku? Hanya title sarjana S1 saja yang bisa aku banggakan. Sedangkan karir, hanya sebagai pegawai biasa. Tidak ada yang menjadi kebanggaan yang menuliskan namaku.
Read more
Bab 104. Angkat Bicara
Setiap kesempatan, tidak bosan aku memandang jari manis yang terlihat semakin manis. Cincin yang melingkar menerbitkan senyuman selalu.Seperti sekarang, setiap jari-jari ini bermain di atas keyboard selalu saja mata ini menangkap kilauannya. Dia seperti benda ajaib yang menjadikan aku lebih hidup, dan kepala ini menjadi cemerlang.Di setiap aku kehilangan ide untuk menentukan alur cerita, pasti ada jalan keluarnya ketika aku memeras otak sambil memainkannya. Ide meluncur tanpa hambatan untuk menuntaskan cerita yang sudah meraih penghargaan kemarin.Ucapan selamat dari teman-teman penulis lainnya tidak henti-hentinya masuk di kolom pembaca. Ya, mereka teman di dunia online. Sedangkan di dunia nyata, hanya Alex kekasihku yang tahu, dan terakhir Ibu aku beritahu saat lomba kemarin.“Kamu tidak ingin membuka identitasmu sebenarnya?” tanya Alex.“Tidak.”“Kenapa?”“Aku lebih nyaman dengan keadaanku sekarang ini. Mungkin lebih tepatnya belum.”Seakan tidak mengerti jalan pikiranku, dahi ke
Read more
Bab 105. Langkah Alex
Ini sama saja dua lawan satu. Aku menghadapi Ibu dan Alex.Ingatanku terlempar malam itu setelah cincin ini terselip di jari manisku. Tanpa memberi waktu menikmati kesenangan, Alexander langsung mengajukan pertanyaan.“Hari besok aku langsung perintahkan Tomo untuk mengurus semuanya.”Aku yang nyaman di dalam pelukannya langsung mengurai tangan. Memberi jarak dan menuntut jawab.“Mengurus apa?”“Banyak, lah. Karyawanku saja kalau akan menikah harus cuti karena mengurus surat, WO, akomodasi keluarga, dan__”“Siapa yang akan menikah?” tanyaku memotong bualannya.“Kita, lah.”Seketika kebahagiaan yang tadi melambungkan aku, sekejap luruh. Terganti dengan kegamangan yang hadir kembali.Aku memang menerima lamarannya. Tapi untuk bertunangan menunjukkan keseriusan. Bukan untuk menikah. Apalagi dalam waktu dekat. Terlebih yang mengerjakan Tomo yang terkenal kerja secepat kilat.“Kenapa?”Kedua manik hazel kekasihku itu menatapku lekat-lekat. Dan sekarang kedua tangannya menangkup kedua lenga
Read more
Bab 106. Berkunjung
Pov AlexWanita itu mahkluk yang suka sekali keribetan. Aku pikir Raya yang dulunya suka sekali dengan ilmu pengetahuan akan tetap sejalan denganku. Dia berpikir praktis walaupun tidak garis keras sepertiku. Namun, kenama lama-lama dia seperti wanita kebanyakan?“Menikah itu tinggal di-sah-kan di mata agama dan pemerintahan, kan? Apa lagi?” tanyaku membaca daftar berderet persyaratan sebelum kami meresmikan hubungan.Aku tidak habis pikir, kenapa hal mudah harus dibikin kepala pusing? Yang harus meminta restu ke semua orang lah, mencari tanggal baik, dan apa ini aku tidak mengerti.Bukankah menikah itu, adalah melegalkan dan memanusiakan proses berkembang biak?“Kamu belum bertemu Eyang Jaya dan meminta restu beliau,” ucap Raya menyadarkan aku.Kalau ini aku mengerti kalau harus, walaupun tidak wajib. Yang penting kan restu orang tua kekasihku ini, Ibu. Ok lah, kalau ditambah dengan kakeknya Raya.“Iya, Nak Alex. Sekalian Ibu ingin pulang sebentar. Kangen dengan kampung,” timpal Ibu s
Read more
Bab 107. Lebih Dekat
Pov Raya “Maaf, Tuan.” Suara terdengar lirih, sesaat sebelum keheningan hadir kembali.Malu sekali aku. Tertinggal aku yang menyelusup di dalam pelukannya. Sisa gemuruh di dada mulai mereda tergantikan dengan malu yang menebal. “Kamu, sih, Alex, menggodaku,” ucapku dengan tangan masih meremas ujung kemejanya.Dia justru terkekeh, mengacak rambutku, dan terpaksa aku mengangkat wajah yang masih menghangat.“Kok aku? Siapa suruh kamu menggemaskan,” serunya sambil mencolek ujung hidungku dan mengedipkan mata jahil.“Ck!” Aku beranjak menjauh. Ngeselin!“Eit! Mau kemana?” Tanganku yang melenggang berhasil dia tangkap. Langkah kaki yang akan menjauh pun terhenti.“Ada apa lagi? Kalau kita di sini lama-lama, apa yang dipikirkan Bik Suti? Kita berduaan di kamar.”Aku merengut dan berusaha menarik tangan ini. Alih-alih lepas, dia justru menyentakkan dan aku kembali berakhir dalam pelukannya.“Kamu tidak tahu kalau yang punya rumah ini aku? Mereka malah senang kalau aku akhirnya membawa calo
Read more
Bab 108. Keluargaku
Tidak ada suara yang menjawab pertanyaanku. Langkahku berhenti dan membalikkan tubuh. Alex masih di sudut sana, menekuri foto ibunya saat mengandung dirinya.‘Ah, mungkin dia tidak menjawabku karena tidak mendengarku,’ pikirku dan bergegas menghampirinya.Aku terkesiap saat mendapati jari yang mengusap foto itu gemetar. Belum sempat usai keterkejutanku, air mata menetes tepat pada wajah yang tersenyum itu.“Alex ….”“Raya. Aku tidak mampu merasakan kasih sayang dan pengorbanan wanita ini untukku. A-aku melihatnya hanya sebagai sebuah gambar saja,” ucapnya sambil menangkup tanganku yang mengusap lengannya. “Padahal dia merelakan nyawanya demi melahirkan aku.”Suara yang mirip dengan rintihan itu akhirnya luruh, dan terganti dengan isakan di dalam pelukanku. Tubuh besarnya terguncang beberapa waktu. Aku hanya bisa menepuk-nepuk untuk meredakan itu.Aku mengerti apa yang dia rasakan.“Sering kali aku merasa iri dengan kebersamaan kamu dan ibu,” ucapnya setelah dia mereda. Kali ini kami
Read more
Bab 109. Menuju Harapan
Kepercayaan diri kami semakin tebal. Ini membulatkan keyakinan kalau semesta memang sudah mendukung kebersamaanku dengan Alex dari sebelum aku lahir. Buktinya, kakek kami berdua ternyata bersahabat dari muda.Bukankah itu sebuah kebetulan yang langka?“Wah kalau begitu Ibu ngomong dengan Eyangmu lebih gampang. Tidak usah dijelaskan, Eyang sudah tahu benar bebet, bibit, bobotnya Nak Alex,” seru Ibu dengan suara gembira.“Kalau begitu, semua bisa dibilang lancar, ya, Bu?” Alex menimpali dengan senyuman mengembang, senang.“Jelas, dong.”Aku mengambil foto dari tangannya, memastikan bahwa itu memang benar Eyang Jaya.“Kumisnya memang sama, Bu. Tapi … memang ini Eyang?” tanyaku ragu.Yang ada di foto itu pemuda pribumi yang tampan, bukan sangar seperti eyangku yang di kampung. Walaupun sudah termakan usia, seluruh kampung tunduk dengannya. Karenanya, setelah kejadian gagalnya pernikahanku dulu, aku yang ibu memilih kembali ke kampung. Tinggal bersama Eyang Jaya, menjadikan ibu tidak kepik
Read more
Bab 110. Persiapan Eyang Jaya
Sinar keemasan menyelusup di sela-sela pohon tinggi di kanan kiri jalan luar kota. Setelah tadi istirahat sebentar di masjid saat kumandang azan subuh, kami pun melanjutkan perjalanan yang katanya tidak jauh lagi.Di sisa perjalanan ini, ibu meminta pindah ke depan. Katanya ini pengurangi rasa pusing yang mendera. Padahal mobil yang kami kendarai nyaman dan Tomo mengemudi dengan tidak ugal ugalan.“Tidak apa. Kan aku yang senang bisa duduk di sebelahmu,” bisik Alex sambil menggerakkan kaki disentuhkan ke lutut ini. “Harusnya sedari semalam.”“Serakah,” sahutku sambil mendelik ke arahnyaWalaupun awalnya ngotot, tapi kepala ini berakhir bersandar di pundaknya. Aku kembali merajut mimpi menghabiskan petang yang berujung pada sapaan oleh sang surya. Mata yang masih sepat dipaksa terbuka oleh silaunya sinar pagi.Dengan malas aku menarik diri, kawatir ketahuan ibu dan menjadi bahan omelan nantinya. Aku melongokkan kepala ke depan, ibu pun masih terlelap dengan bersandar di jendela yang di
Read more
PREV
1
...
8910111213
DMCA.com Protection Status