Semua Bab Bukan Perawan: Bab 11 - Bab 20
117 Bab
Terpaksa Menikah
Biru dan Jingga tidak pernah bertemu lagi setelah tragedi di Bali. Selama tiga bulan mempersiapkan pernikahan, Jingga selalu menghindar setiap kali Wedding Organizer mengajak meeting bersama kedua calon mempelai pengantin untuk acara besar nanti. Tapi Biru selalu datang, dia menunjukkan kesungguhannya menikahi Jingga. Memang tidak banyak yang harus dilakukan lagi karena melanjutkan yang sudah dimulai hanya saja calon mempelai pengantin prianya bukan Davian melainkan Biru. Jingga sempat berulah dengan menolak fitting gaun pengantin karena gaun itu adalah pilihan Davian sementara yang akan dia nikahi adalah Biru. Tidak ada bridal shower padahal sudah masuk dalam paket pernikahan sebab lagi-lagi Jingga menolak. Mama dan papa juga ketiga sahabatnya khawatir dengan kondisi psikis Jingga namun Jingga memperlihatkan kalau dirinya baik-baik saja meski sedikit berulah. Sampai akhirnya hari yang semestinya ditunggu-t
Baca selengkapnya
Istri Ketus
Di luar kamar, Biru tidak pergi ke mana-mana. Dia bersandar punggung di samping pintu seraya membuka aplikasi chat. Banyak chat yang dikirim Geisha selama beberapa minggu terakhir yang sengaja tidak Biru buka. Biru sempat menghubungi Febri perihal niatnya menjauh dari Geisha demi kebaikan Geisha juga dan Febri setuju. Sebagai Manager, Febri tidak ingin kehilangan artisnya yang sedang berada di puncak kesuksesan. Geisha harus bisa melupakan Biru jadi Febri mengambil banyak Job untuk Geisha di luar kota maupun Luar Negri sehingga Geisha sibuk dan tidak mencari Biru terutama di hari pernikahannya ini yang kebetulan Geisha sedang melakukan sesi pemotretan di Paris sana karena berhasil menjadi brand ambasador sebuah merek ternama dunia. Biru memilih membuka pesan dari pasien dan perawat, dia membalasnya satu persatu. Belum selesai dia membalas banyak chat yang masuk—Biru mendengar suara pintu di sebelahny
Baca selengkapnya
Suami Tampan
Biru mondar-mandir di depan pintu kamar mandi pasalnya sudah hampir dua jam Jingga di dalam kamar mandi dan tidak terdengar suaranya. “Apa perlu gue ketuk?” “Tapi nanti dia marah.” “Jangan-jangan dia bunuh diri.” Biru bermonolog kemudian terpengaruh dengan pikiran buruknya sendiri. “Jingga ….” Tok … Tok … Akhirnya Biru mengetuk pintu kamar mandi sambil memanggil nama istrinya. Dia menempelkan telinga pada daun pintu namun tidak mendengar suara apapun di dalam sana. Biru semakin panik, dia kembali menggedor pintu kamar mandi juga berusaha memutar knop pintu. “Jingga … kamu masih hidup, kan?” Biru berteriak lebih kencang. Tanpa pikir panjang dia berniat mendobrak pintu itu namun sebelum lengannya menyentuh pintu, benda tersebut terbuka. Biru kadung mengambil ancang-ancang dan tidak sempat mengerem sehingga harus menabrak tubuh Jingga yang hanya
Baca selengkapnya
Berusaha Menyembuhkan
Selama perjalanan pulang ke rumah Jingga, Biru tidak berhenti berceloteh. Mulai dari memberitahu semua tentangnya termasuk di mana pria itu menempuh pendidikan hingga menjadi dokter bedah termuda dan di mana tempat dia berpraktik. Setelah itu karena Jingga diam saja, Biru yang bertanya banyak hal tentang Jingga. “Kamu suka makanan apa?” “Kamu suka warna apa?” “Apa yang enggak kamu suka?” “Apa yang bikin kamu takut?” Namun tidak ada satu pun yang Jingga jawab. Jingga terus melamun menatap kosong ke depan. “Jingga ….,” panggil Biru karena Jingga diam saja. “Heu?” Jingga menoleh. Biru mengembuskan napas panjang, kentara sekali kalau pria itu tengah kesal. Kemudian hening, Biru tidak lagi bersuara. Jingga tahu suaminya sedang marah tapi dia tidak peduli. Selanjutnya gantian Jingga yang bersuara itu pun karena harus memberi petunj
Baca selengkapnya
Rencana Bulan Madu
“Eeeeh, pengantin baru … pagi sekali bangunnya.” Mama menyapa dengan kicauannya begitu Jingga dan Biru tiba di ruang makan. Mereka sepakat untuk turun ke ruang makan bersama agar mama papa tidak banyak bertanya dan overthinking. “Pagi Ma… Pa,” sapa Biru tapi tidak dengan Jingga yang langsung duduk di kursi. “Pagi ….” Mama dan papa kompak menyahut. “Enggak tidur di sofa kamu ‘kan?” Papa yang bertanya dengan maksud menggoda anak dan menantunya. Biru hanya tersenyum menjawab ucapan Papa. Dia memang tidur di single sofa with footrest yang ada di kamar Jingga dengan alasan Jingga masih belum nyaman tidur satu ranjang dengan orang asing. Padahal orang asing itu adalah suaminya. “Jingga,” panggil mama kemudian mengendik memberi kode agar Jingga melayani Biru. “Biru udah besar, Ma … bisa makan sendiri.” Jingga bergumam. “Jinggaaaa.” Papa bukan sedang memanggil melainkan me
Baca selengkapnya
Berdamai Dengan Takdir
Jingga belum pernah bepergian mengendarai motor dalam jarak jauh. Jadi ketika Biru menawarkan pengalaman tersebut, Jingga cukup antusias. Dia bangun pagi sekali mempersiapkan pakaiannya yang cocok digunakan ke daerah dingin. “Kamu mau ke mana?” Biru bertanya melihat Jingga memasukan banyak pakaian ke dalam koper. “Katanya mau ke Puncak, naik motor.” Biru tertawa pelan, dia kemudian berjongkok di depan Jingga yang tengah bersila di lantai. “Koper ini mau di simpen di mana? Kita ‘kan naik motor?” Ditanya seperti itu, Jingga jadi bingung. “Terus gimana donk bawa bajunya?” “Jangan bawa banyak-banyak.” “Memangnya kita mau berapa hari di sana?” Biru tampak berpikir. “Terserah, kamu mau berapa hari di sana?” “Aku takutnya betah, jadi bawa banyak baju.” Mendengar hal tersebut, entah kenapa hati Biru menghangat. Jingga sa
Baca selengkapnya
Seperti Selingkuh
“Geser,” kata Biru sembari mendorong tubuh Jingga ke samping menggunakan sisi tubuhnya agar Jingga menjauh dari meja kasir. Jingga melihat Biru mengeluarkan dompet. “Aku aja yang bayar, ini coklat aku.” Jingga tidak enak hati kalau harus semua Biru yang bayar, soalnya tadi pria itu sudah mentraktirnya makan siang. “Enggak apa-apa, aku aja yang bayar … nanti aku minta ya coklatnya.” Pria itu menaik turunkan kedua alisnya berkali-kali menunjukkan tampang jenaka sambil tersenyum membuat Jingga tidak ada pilihan lain selain membiarkan Biru yang membayar coklatnya. “Di sebelah ada factory outlet, kita beli baju di sana ya?” kata Biru usai membayar belanjaan Jingga. Jingga mengangguk saja mengikuti langkah Biru keluar dari gedung resto yang bersatu dengan pabrik coklat menuju factory outlet. Karena jaraknya dekat sekali, Biru dan Jingga berjalan kaki ke sana. Keduanya memasuki fac
Baca selengkapnya
Tekad Biru
Tanpa terasa hari sudah malam. Jingga sudah selesai berendam gantian Biru yang masuk ke dalam kamar mandi. Tidak lama pria itu keluar dengan menggunakan pakaian tidur yang berupa sweater dan celana training. “Mau makan di luar apa di resto resort?” Biru memberikan tawaran untuk membuat Jingga nyaman. Sekarang prioritas Biru adalah Jingga. “Di taman deket privat pool ada tempat pembakaran terus aku liat di buku menu ada menu barbeque party dengan minimal empat porsi ….” “Kamu mau itu?” Belum selesai Jingga bicara, Biru sudah langsung bertanya. “Tapi sayang ya kebanyakan, nanti siapa yang makan?” “Kita kasih ke petugas hotel aja.” Biru melangkah mendekati meja di mana sebuah pesawat telepon berada di atasnya. Pria itu kemudian menghubungi bagian resto untuk memesan paket barbeque lengkap beserta kokinya. Beberapa menit kemudian dua orang petugas hotel yang Biru teba
Baca selengkapnya
Belum Selesai
Keesokan paginya Jingga bangun dalam pelukan Biru sementara pria itu masih terlelap. Napas Biru menerpa wajahnya, jarak wajah mereka memang sangat dekat jika Jingga mendongak seperti ini. Dan meski terlelap, Biru memeluknya erat sekali. Selama beberapa saat Jingga melamun, memikirkan kembali ucapan Biru tadi malam yang mengatakan bahwa dia memang mencintai Geisha dan harus melupakan kekasihnya itu karena sedang berusaha mencintainya. Sekarang Jingga mengerti kalau semua yang dilakukan Biru mulai dari perhatian sampai physical touch adalah untuk membuatnya bisa melupakan Geisha dan mensugesti perasaan agar bisa mencintainya. Apakah dia juga perlu melakukan itu kepada Biru? Jingga memang tersentuh dengan perhatian Biru tapi untuk mencintainya, dia tidak tahu apakah bisa. Ketika mereka berciuman tadi malam, semua rasa campur aduk. Jingga merasa bersalah terhadap Davian kemudian ingin m
Baca selengkapnya
Trauma Besar
Sinar matahari sore menembus masuk dari bagian belakang kamar melewati dinding dan pintu kaca yang tirainya terbuka. Biru hendak menutup tirai tapi melihat kolam air hangat yang belum dia sentuh semenjak tiba di sini membuatnya ingin berendam sebentar sambil menikmati senja. “Aku berenang ya,” kata Biru memberitahu Jingga. “Kamu mau berenang juga enggak?” sambungnya bertanya. Jingga belum menjawab, dia malah berjalan ke area kolam renang diikuti Biru yang kemudian membuka kaos dan celananya menyisakan boxer. “Aku enggak bawa baju renang.” Jingga bergumam. “Aku juga,” ujar Biru sebelum akhirnya menceburkan diri ke kolam. “Ayo,” ajaknya seraya mengusap wajah dan rambut yang telah basah. “Anget lho airnya.” Biru membujuk. Jingga sebenarnya ingin sekali, dia sudah merencanakan akan berenang semenjak pertama kali melihat kolam air hangat itu. Kenapa juga dia lupa membel
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
12
DMCA.com Protection Status