All Chapters of Istri Tebusan Paman Mantanku: Chapter 81 - Chapter 90
260 Chapters
81. Membeli Motor Baru
Selama ini, Kian tidak pernah membeli motor untuk dirinya sendiri karena memang ia jarang sekali mengendarai benda itu. Saking lamanya, Kian sepertinya sudah lupa seperti apa caranya mengendarai motor. Ia selalu pergi ke mana-mana dengan mobilnya.Saat tiba di dealer motor, Kian melihat-lihat berbagai macam jenis motor. Sang sales menjelaskan setiap keunggulan motor dengan bahasanya yang terkesan dilebih-lebihkan. Kian bingung harus memilih yang mana karena sebenarnya ia tidak yakin jika Laureta suka motor yang mana.Ia tahu jika motor Laureta itu adalah sejenis motor manual yang sudah tampak ketinggalan zaman. Setengah badannya baret terkena gesekan aspal. Kian masih merasa bersalah jika mengingat hal itu.Kali ini, ia akan membelikan Laureta motor dengan edisi terbaru. Supaya kaki Laureta tidak pegal, ia akan membeli motor matic yang tampaknya keren, tidak terlalu besar, tidak juga terlalu kecil. Tubuh Laureta cukup besar dan tinggi untuk ukuran wanita Indones
Read more
82. Cemas
Kian meminta pelayan untuk menyiapkan makan malam untuk Clara. Wanita itu ingin makan daging steak wagyu. Hal itu bukanlah sesuatu yang sulit. Selama ini, Kian makan di rumah sudah seperti makan di restoran. Apa saja tersedia di rumah ini.Tidak perlu menunggu lama, steak itu langsung disajikan lengkap beserta kentang goreng wedges berbumbu dan salad. Wajah Clara benar-benar sumringah saat menerima makanan itu.Kian sibuk melihat ponselnya, mencoba memantau keberadaan Laureta. Ia sudah mengiriminya pesan singkat, tapi Laureta tidak membalasnya. Ia berusaha berpikir positif, mungkin Laureta sedang berada di jalan dan tidak sempat menjawab pesannya.Meski Kian menemani Clara makan di sana, tapi ia tidak sedikit pun tertarik untuk ikut makan. Hatinya cemas menanti Laureta pulang ke rumah.Akhirnya, Clara selesai makan. “Pak, saya sungguh berterima kasih atas jamuan makan malamnya yang spesial ini. Makanannya enak sekali. Terima kasih, Pak.”
Read more
83. Menghadang Jalan
“Apakah kamu bertemu dengan ayahmu?” tanya ibunya Kian pada Laureta.“Hmmm, ya kami sempat bertemu sejenak, tapi kemudian dia harus pergi lagi,” jawab Laureta yang tidak terkesan terlalu berbohong. Ia dan ayahnya memang hanya bertemu sebentar sekali, setelah itu ayahnya mengusirnya pergi.“Kasian sekali kamu, Laureta. Kamu pasti sangat merindukan ayahmu, ya kan. Apalagi ibumu sudah tiada,” ucap ibunya Kian dengan wajah sedih. “Kamu boleh memelukku kalau kamu butuh pelukan seorang ibu.”Laureta terkekeh. “Tidak apa-apa, Ma. Aku baik-baik saja. Meski aku jauh dari orang tuaku, tapi aku bersyukur karena aku punya Kian yang sangat baik padaku.”Ibunya Kian tersenyum. “Kamu pasti sangat mencintainya.”Laureta terkekeh malu-malu. “Iya, Ma.”“Kamu tahu, aku sangat bersyukur karena akhirnya Kian bisa menemukan seorang istri yang baik sepertimu. Selama ini, dia selalu sendirian. Semua adik-adiknya sudah menikah, hanya tinggal dia seorang. Aku pikir, dia hanya akan melajang selamanya.“Dia terl
Read more
84. Mengembalikan Kenangan
Apa pun lagu yang Erwin putar, tidak akan mampu meluluhkan hati Laureta. Meski harus ia akui kalau Erwin ternyata mau berusaha juga untuk mendapatkan hati Laureta. Sayang sekali, tidak ada jalan kembali. Laureta hanya akan mencintai Kian.Hanya butuh waktu sebentar saja hingga mobil keluar dari pintu tol dan berbelok ke tempat yang Laureta cukup yakini akan Erwin datangi. Ya tentu saja. Erwin berhenti di depan sebuah café tempat pertama kali mereka berkencan.Waktu itu, Erwin mengajaknya makan ke café itu. Lalu mereka berciuman di taman yang ada di belakang café tersebut yang menghadap ke pemandangan kota Bandung yang cantik.Jika mengingat hal itu, Laureta bukannya senang, tapi malah jijik. Ia malu sekali karena pernah membiarkan Erwin mencium bibirnya. Seharusnya bibirnya ini hanya untuk Kian seorang.Namun, tak ada gunanya menyesali hal yang sudah terjadi. Setidaknya, Laureta termasuk cukup berpengalaman kalau soal berciuman. Ia ja
Read more
85. Sesuatu Yang Berbeda
“Aku tahu, aku memang sudah gila. Aku gila karenamu, Ta. Aku masih mencintaimu seperti aku telah kehilangan akal sehatku. Aku memikirkan berbagai cara untuk mendapatkanmu kembali, tapi tidak ada yang bisa kulakukan selain mengambil tindakan ekstrim. Ya, hanya ini yang bisa kulakukan, Ta. Aku masih mencintaimu dan aku bahkan semakin mencintaimu setiap harinya.”Erwin mengusap air mata yang tiba-tiba membasahi matanya. Matanya tampak merah sekali.“Tata, aku mencintaimu.”Laureta membuang wajahnya sambil meringis. Mengapa setelah ia memutuskan untuk menikahi Kian, Erwin baru menyatakan kembali cintanya. Pria itu menawarkan semesta, tapi semua itu tidak bisa Laureta miliki.Bukannya bahagia mendengar pernyataan cinta Erwin, Laureta justru kasihan padanya dan makin tidak menyukai pria itu.“Tata, katakan sesuatu. Aku mohon. Katakan kalau kamu sebenarnya tidak pernah mencintai Om Kian. Kamu hanya mencintaiku, ya kan, Ta. Ka
Read more
86. Cemburu
Satu hari sebelumnya.“Reks, bisakah kita bertemu?”“Untuk apa kamu ingin menemuiku? Aku rasa ini bukan ide yang bagus,” ucap Reksi sambil menautkan alisnya bingung.Ia menatap ponselnya seolah tak percaya dengan yang baru saja ia dengar. Dalam kurun waktu yang cukup lama, Erwin tidak pernah menghubunginya. Lantas, untuk apa pria itu tiba-tiba mencarinya?“Aku tahu, tapi aku bingung harus bicara dengan siapa lagi,” ucap Erwin yang suaranya terdengar parau. “Setidaknya, kita pernah berteman.”Reksi menghela napas. “Sampai sekarang pun aku masih temanmu, Erwin. Sebenarnya, apa pun yang terjadi antara kamu dan Tata memang tidak ada sangkut pautnya denganku. Hanya saja, aku tidak menyangka kalau kamu akan menghubungiku.”“Iya, Reks. Jadi, apa aku boleh menjemputmu?”Reksi mengangguk. “Baiklah. Datang saja ke studio. Aku baru selesai senam.”Hanya perlu menunggu sepuluh menit saja, Erwin sudah datang. Pria itu membawakan Reksi segelas minuman kopi dingin.“Terima kasih, Erwin,” kata Reksi
Read more
87. Kesedihan Erwin
Reksi merasa seperti ada yang bergetar di dalam dadanya. Meskipun pria itu hanyalah Erwin, tapi ia senang kalau ada orang yang mengajaknya pergi makan.“Kamu sendiri memang sudah tahu jawabannya, Erwin. Tata pasti akan menolakmu.” Reksi mengangguk perlahan sambil tersenyum.Entah bagaimana, Erwin tampak seperti yang sudah bersiap-siap untuk hari esok bahwa ia pasti akan menerima penolakan. Reksi tidak tahu sudah berapa banyak Erwin berusaha untuk mendapatkan Laureta kembali.Lagi-lagi, Reksi merasa cemburu karena selama ini, tidak pernah ada pria yang berusaha untuk mendapatkan hatinya. Waktu awal ia berpacaran dengan Theo pun, ia yang menyatakan cintanya terlebih dahulu. Dan ketika mereka putus, Theo dulu yang memutuskan hubungan mereka.Seperti itulah rasanya jika mencintai seseorang secara sebelah pihak. Sang kekasih tidak membalas cintanya. Sungguh sangat menyakitkan. Mungkin seperti itu pula yang Erwin rasakan saat ini.Mungkin saja. Nyatanya, kejadiannya sangat berbeda dengan ya
Read more
88. Bahagia Atau Sedih?
Laureta menghampiri Reksi yang sedang berdiri di depan toko jam tangan. Sahabatnya itu mengenakan blouse berwarna biru tua yang tampak pas sekali di tubuhnya yang langsing. Tidak biasanya, sahabatnya itu mengenakan lipstik dan bedak yang membuat wajahnya tampak sangat cantik.“Reksi!” panggil Laureta.Sahabatnya itu menoleh, lalu melihat Laureta dengan wajah tegang, seperti yang terkejut. Reksi pasti tidak menyangka jika akan bertemu dengan dirinya, pikir Laureta.Senyum Laureta mengembang. “Reks, sedang apa kamu di sini? Tumben kamu dandan. Cantik sekali kamu mengenakan baju ini.”Reksi memaksakan senyumannya. “Iya.” Hanya itu jawabannya.“Aku tadi meneleponmu beberapa kali, tapi kamu tidak menjawabnya,” ungkap Laureta sambil cemberut.“Oh iya, maaf. Tadi aku sedang senam kan, menggantikanmu. Jadi, aku tidak sempat menelepon balik. Memangnya ada apa kamu meneleponku?”“Hmmm, tahu kalau aku akan bertemu denganmu di sini, aku akan menjemputmu dan kita bisa pergi bersama.” Laureta menek
Read more
89. Boss The Prince
Seseorang mengangkat tangan Laureta, tapi ia tidak bisa melawan. Tubuh Laureta terasa lemas tak berdaya. Ingin membuka mata saja, rasanya berat sekali. Orang itu menekankan jarinya ke sebuah benda“Ponselnya sudah penuh baterainya?” tanya seorang pria.“Belum. Yang penting bisa menyala dulu saja,” jawab seorang wanita. “Ini sudah berhasil terbuka. Wah ada banyak telepon masuk dari Boss The Prince. Mungkin itu atasannya. Coba aku lihat lagi. Uhm, ya sudah aku telepon orang ini saja.”Laureta berhasil membuka matanya sedikit, yang terlihat hanya bayang-bayang kabut putih yang memenuhi penglihatannya. Ia ingin bersuara, tapi tenggorokannya terasa kering.“Yah, tidak diangkat teleponnya. Coba aku telepon nomor yang lain.”“Eh, jangan yang itu. Namanya Mantan. Telepon yang lain saja,” kata si pria.Laureta ingin kejang-kejang rasanya jika sampai orang itu menelepon Erwin. Seharusnya mereka menelepon Kian, tapi Laureta juga takut jika sampai Kian datang ke sini dan menyalahkannya karena hal
Read more
90. Kian Yang Berlebihan
Reksi menghela napas, lalu membuang wajahnya. Ia melipat tangannya di dada sambil kesal. “Untuk apa aku mengaku? Apa pentingnya untukmu? Kamu kan hanya memikirkan tentang dirimu sendiri. Kamu bebas melakukan apa saja yang kamu mau. Ya silakan saja. Aku tidak pernah protes. Lalu, kenapa sekarang kamu protes kalau aku bersama dengan Erwin?”“Kamu …!” Laureta seperti yang kehabisan kata-kata.“Apa? Kamu kan wanita yang sudah bersuami. Kenapa kamu masih memikirkan tentang mantanmu? Apa jangan-jangan kamu masih ada rasa padanya?”“Tidak! Itu tidak benar!” bantah Laureta.“Kalau begitu, kenapa kamu harus kesal?”Laureta sungguh bingung harus menjawab Reksi apa. Ia sendiri tidak mengerti untuk apa ia sekesal itu melihat Reksi bersama Erwin.“Kamu sendiri bingung kan? Ah, itu sudah jelas kalau kamu sebenarnya masih mencintai Erwin. Kamu bangga karena kamu bisa menikahi omnya, lalu Erwin pun masih mengejar-ngejarmu. Kamu merasa seperti yang berada di atas angin. Aku salut padamu, Ta. Kamu mema
Read more
PREV
1
...
7891011
...
26
DMCA.com Protection Status