All Chapters of Istri Best Seller : Chapter 81 - Chapter 90
100 Chapters
Sudahlah! Jangan Berdebat Lagi
Bunga meredam emosi, berusaha kembali untuk berpikiran positif. Ia mengikuti Risa dan Kafkha dari belakang, sampai akhirnya mengambil alih tugas yang diberikan suaminya itu kepada Risa sebelumnya untuk mendorongnya kembali ke kamarnya. Karena tidak ingin Bunga mengambil tugas Risa, Kafkha menepis kasar kedua tangan istrinya itu dari kursi rodanya. Ia menoleh ke belakang, mengangkat pandangan dengan mata sinis kepada sang istri. “Kamu kenapa tiba-tiba berubah begini? Salah aku, apa? Seharusnya aku yang marah kepadamu karena kamu dan ….” Bunga menggantungkan perkataannya setelah sadar emosi terselubung rasa marah yang terpendam itu hendak dikeluarkan seluruhnya. "Jika aku membuat kesalahan, kamu bisa bilang," kata Bunga, berbicara baik-baik. Kafkha mengeluarkan selembar kertas dari saku baju pasien yang masih terpasang di badannya, ia menaruh kertas berukuran kecil itu yang merupak foto, di atas telapak tangan kanan Bunga. Kemudian, Kafkha memutar sendiri ban kursi rodanya. "Ayo," a
Read more
Mereka Bersikap Dingin
Bunga menuruni tangga kamar bersama Raisa dalam gendongannya bersama perasaan bahagia karena ingin mengajak anaknya itu bertemu Kafkha. Setelah membuka pintu kamar tamu, Bunga melihat Risa sudah di sana, sedang berbicara bersama Kafkha dengan topik tampak menyenangkan sampai mereka tertawa ringan. Selain merasa kaget, Bunga merasa kedatangannya malah mengganggu karena mereka sontak diam menatapnya yang baru masuk. “Aku mengajak Raisa bertemu denganmu. Sepertinya dia merindukan mu,” kata Bunga dengan sedikit senyuman. Kafkha menatap Raisa dengan wajah datar. Pria itu menyodorkan tangan, meminta anak itu diberikan padanya. Bunga tersenyum ringan dan lanjut berjalan dari pintu menghampiri mereka, memberikan bocah itu pada Kafkha. “Hai, Sayang …!” Risa yang duduk di bangku di samping kasur, ikut menyapa bocah itu. “Iya, Tante ....” Kafkha bertingkah sok asik dan akrab bersama Risa. Mereka berdua terlihat dekat, memunculkan kecemburuan di hati Bunga yang ditahan wanita itu dengan gigi
Read more
Kamu Tidak Percaya Lagi Padaku?
Deringan telepon menghentikan tangis Bunga. Wanita itu berdiri, bangkit dari posisi duduknya di lantai sambil menyeka air mata dan berjalan menghampiri ponsel yang ada di atas meja, di samping kasur. Ia melihat nomor baru menghubungi nomornya dan menjawab sambungan telepon itu.“Bu Bunga? Proses pencetakan bukunya hampir selesai. Ceritanya bagus sekali, sampai saya sendiri terbawa perasaan saat membacanya,” kata seorang wanita dari seberang sana, berbicara seolah mereka akrab. Dahi Bunga mengerut bingung, tidak mengerti dengan perkataan wanita yang tidak diketahui siapa orang itu. “Ini siapa? Perasaan saya tidak menggunakan jasa cetak buku akhir-akhir ini karena saya sedang sibuk mengurus naskah film. Ini penerbit apa, ya?” tanya Bunga, penasaran. Tidak ada jawaban dari seberang sana, senyap, dan sambungan telepon berakhir begitu saja, tanpa ada jawaban. Bunga menurunkan ponsel yang sempat di tempelkan di telinga kanannya, ia memperhatikan nomor itu dengan perasaan bingung dan pena
Read more
Rasanya Tidak Mungkin
Bunga ke rumah Willa, ia mencurahkan semua perasaan, rasa sedihnya kepada sahabatnya itu dengan air mata menetes tidak terhenti. Willa merasa miris dengan cerita Bunga, membuatnya ikut prihatin juga berpikir keras mengingat Kafkha rasanya bukan orang yang bisa mendua. Sejenak Willa diam, memikirkan cerita Bunga yang saat ini duduk di sampingnya, di teli kasur, di mana Bunga menepuk pelan punggung Raisa yang baru tidur. "Kalau salah paham mengira kamu selingkuh, mungkin saja. Tapi, coba pikir, dia menyendiri selama dua tahun lebih karena istri pertamanya. Kemudian, dia juga menyendiri karenamu. Jadi, rasanya tidak mungkin dia mendua dengan suster Risa. Bukankah karakter suster itu juga baik?" tanya Willa setelah mengeluarkan pendapatnya. "Awalnya aku juga merasa begitu. Aku berusaha berpikir positif sampai akhirnya rasa percaya ku goyah ketika dia memberikan cincin untuk suster Risa," jelas Bunga. "Kamu pernah bercerita sebelumnya mengenai dokter Kafkha pernah berbohong untuk mengh
Read more
Memprovokasi Suami
Ponsel menempel di antara pundak dan telinga Bunga ketika wanita itu sedang memasak untuk sarapan pagi. Kafkha memperhatikan tingkah istrinya itu sejak tadi, menyadari Bunga berbicara bersama pria bernama Alex yang tidak diketahui Kafkha adalah Danar. Sebenarnya kondisi ponsel Bunga saat itu mati, ia hanya berpura-pura sedang tersambung dengan pria bernama Alex itu. "Terima kasih Bunganya. Bagus sekali," ucap Bunga dan menoleh ke belakang, menatap buket bunga mawar di atas meja makan, di mana Kafkha duduk di salah satu bangku, sedang menggendong Raisa. "Bukankah ini terlihat bodoh? Mengapa aku membiarkan istri berhubungan dengan pria lain di hadapanku?" tanya Kafkha, dalam hati, bersama perasaan kesal. "Baiklah. Dah ...." Bunga memutuskan sambungan telepon dan menaruh ponsel itu ke samping wastafel, lanjut memasak. "Kamu tidak merasa bersalah selingkuh di hadapanku? Aku masih hidup," kata Kafkha, cemburu. Bunga diam, mengabaikan perkataan Kafkha, menarik rasa kesal pria itu. Kaf
Read more
Aku Bukan Kamu
Bunga berdiri di depan jendela bagian dalam kamar tamu, kedua tangannya menyilang di dada, dan pandangannya mengarah ke luar dengan wajah terlihat kesal dalam diamnya. Di belakangnya, Kafkha duduk di tepi kasur dengan perasaan merasa bersalah. "Kamu tidak menganggapku ada. Itu sebabnya kamu selalu menjalankan diriku darimu seolah aku tidak bisa bertanggung jawab denganmu," kata Bunga."Maksudku bukan begitu.""Aku sudah tau segalanya. Malam itu aku sudah berbicara bersama Haidan, di sana juga ada dokter Danar dan Willa. Haidan menceritakannya, kalau kamu sengaja bersekongkol dengannya untuk membuatku menjauh darimu agar bisa bersama Haidan. Kamu pikir aku boneka?" Bunga memutar badan ke belakang, mengeluarkan sedikit emosi. "Jangan kekanak-kanakan. Kita sudah dewasa dan kita selesaikan semua masalah secara kedewasaan," kata Bunga sambil menghampiri Kafkha, berdiri di hadapan suaminya itu dengan wajah emosi. Kafkha hanya diam dengan kepala tertunduk bersama perasaan merasa bersalahn
Read more
Mamaku Cuma Mama Stella
Bunga berdiri di samping Danar, memperhatikan pria itu memeriksa kondisi Kafkha pagi ini yang belum sadarkan diri sejak semalam. Banyak alat-alat yang rumah sakit yang menempel di tubuh Kafkha, membuat Bunga khawatir, takut suaminya itu benar-benar tidak bisa bertahan. “Donor jantung itu masih belum didapatkan?” tanya Bunga kepada Danar. “Kami sedang mengusahakannya. Jangan cemas, kamu hanya perlu berdoa. Biar kami yang akan mencarinya,” kata Danar, prihatin melihat kondisi Bunga yang tidak bisa tidur sejak semalam dan kerjaan wanita itu hanya mencemaskan kondisi Kafkha.“Dokter!” panggil Risa dari pintu kamar dengan salah satu tangan Risa masih menggenggam handle pintu. Danar menoleh ke belakang, menatap Risa dengan interaksi kontak mata yang memiliki penafsiran. Danar menganggukkan kepala, lalu tangan kanannya menepis pelan bahu kiri Bunga sebagai interaksi pamit, dan keluar dari kamar itu mengikuti Risa. Bunga beranjak duduk di bangku besuk. Ia menggenggam tangan kanan Kafkha d
Read more
Kami Tidak Akan Membedakannya
Bunga membawa Raisa ke dapur, memperlihatkannya kepada gadis kecil itu, yang saat ini duduk di bangku meja makan, memperhatikan Jelita membuat kue. Melihat anak digendong Bunga, gadis itu tersenyum antusias, ia tampak suka pada bocah itu. Bunga duduk di samping Raisa dan memperlihatkan wajah anaknya itu ke arah gadis kecil itu. "Cantik sekali," puji Raisa. "Jadi, siapa yang menang?" tanya Bunga, bercanda. "Adik kecil ini. Dia cantik, putih, dan lihat! Dia tersenyum padaku," ucap Raisa, tersenyum senang.Jelita dan Bunga tersenyum melihat tingkah Raisa yang tampak bahagia. Meskipun tahu Raisa bukan anak kandung Kafkha, Bunga dan Jelita tidak berubah, mereka memperlakukan anak itu seperti Raisa sebelumnya. Di tengah mereka sedang menikmati waktu dalam candaan, Stella datang ke rumah itu bersama emosionalnya karena Bunga membawa Raisa tanpa izin padanya langsung. Stella menerobos masuk, menggelegarkan suara memanggil Raisa dari ruang tamu rumah itu bersama mata mencari-cari. Bunga k
Read more
Untuk Bunga
Bunga duduk di bangku taman dengan mata dipejam, di bawah langit malam yang cerah dipenuhi bintang-bintang berkelipan. Kafkha dalam setelan jaket tebal dan menggunakan syal duduk di atas kursi roda di hadapan Bunga sedang menunggu sesuatu dengan mata menoleh ke kanan, memperhatikan Raisa, Danar, dan Jelita yang berjalan menghampiri mereka bersama kue di tangan Risa. Kue itu dihadapkan Risa ke arah Bunga, sejajar dengan dada wanita itu. "Sekarang sudah boleh buka mata?" tanya Bunga, tidak sabar ingin melihat kejutan apa yang diberikan suaminya itu. "Boleh." Bunga langsung membuka mata dan menatap kaget kue di hadapannya, meskipun sudah bisa menebak hal itu akan terjadi. Kue yang ada di hadapannya saat ini adalah kue yang dibuat Jelita, sempat dilihatnya sekejap saat itu ketika berganti pakaian di rumah sebelum akhirnya kembali ke rumah sakit. "Selamat ulang tahun, Sayang," ucap Kafkha. "Umm ... aku terharu," kata Bunga. "Tiup lilinnya," suruh Jelita. Bunga menganggukkan kepala
Read more
Tujuan Gadis Kecil Itu
Bunga berhenti di tengah kamar Kafkha, ia berdiri di hadapan suaminya itu. Bunga menatap Kafkha yang masih memalingkan muka darinya sampai akhirnya pria itu meneteskan air mata saat menatapnya. Kafkha sejak tadi menahan air mata kesedihan dan kekecewaannya. Ingin sekali rasanya Kafkha memeluk Raisa tadi. Akan tetapi, setelah tahu, mengingat kebenaran kotor dari Marissa yang menghasilkan anak itu, Kafkha jadi ikut membenci Raisa. "Kenapa? Aku bisa melihat kamu masih sangat menyayangi anak itu. Lalu, mengapa kamu malah menghindarinya seolah kamu membencinya?" tanya Bunga, setelah membaca tingkah Kafkha sejak tadi. "Aku memang membencinya. Aku tidak suka wanita kotor, aku juga tidak suka anak dari hubungan kotor itu," balas Kafkha, mengagetkan Bunga dengan jawaban tersebut. Bunga memeluk lutut dan memegang kedua tangan Kafkha, menatap suaminya itu dengan wajah memelas. "Sayang ... Raisa itu tidak salah. Dia hanya korban dari hubungan orang tuanya. Contohnya, seperti kita. Jika kita m
Read more
PREV
1
...
5678910
DMCA.com Protection Status