All Chapters of Istri Best Seller : Chapter 61 - Chapter 70
100 Chapters
Kamu Ingin Kita Berpisah?
Bunga kembali ke rumah Kafkha. Haidan mengantarnya sampai di gerbang rumah, ia menahan pria itu mengantarnya sampai di sana karena tidak ingin mereka bertemu dan menciptakan perdebatan juga pertengkaran yang membisingkan telinganya. Ia sudah membaca seperti apa situasi yang akan terjadi mengingat Kafkha mudah emosi dan sulit mengendalikan emosi itu. “Terima kasih,” ucap Bunga dan melanjutkan kaki melangkah memasuki gerbang rumah. Gerbang rumah dikunci dan lanjut berjalan menuju rumah. Tanpa disadari olehnya, Kafkha sedang memantaunya dari balkon kamar bersama api cemburu. Kafkha kembali masuk ke kamar, mengambil Raisa yang tertidur pulas dari kasur dan menaruh anak itu ke keranjang bayi. Setelah itu, ia membaringkan badan di kasur, berpura-pura tidur. Perlahan Bunga mengendap masuk ke dalam kamar, memperhatikan Kafkha yang dikira sudah tidur. Ia menghampiri keranjang bayi, melihat Raisa di sana. Ketika hendak menggendong anak itu, Kafkha memeluknya dari belakang dengan dagu pria i
Read more
Tidak Menduga
Bunga berdiri dari bangku meja makan dan beralih menggendong Raisa dari pangkuannya. Ia berjalan keluar dari dapur, meninggalkan Kafkha tanpa memberikan jawaban. Di tengah perjalanan menuju kamar, dentingan pesan masuk ke ponselnya yang berasal dari Rika, teman sekaligus pengacara yang pernah menyiapkan surat gugatan perceraian dan orang yang ditemuinya kemarin untuk membicarakan kembali tentang gugatan perceraian dan hak asuh anak.Ekspresi Bunga berubah sedikit kaget, ia menoleh ke belakang, menatap pintu dapur. Menatap seakan bisa melihat Kafkha di sana dan melanjutkan kaki berjalan menaiki tangga menuju kamar bersama raut wajah yang tidak dalam keadaan enak itu.Di kamar, Bunga mengajak Raisa bermain di lantai kamar yang sudah bersih. Anak itu duduk sambil memperhatikan mainan di tangannya dan Bunga duduk sambil menatap layar ponsel dalam lamunan. “Bunga selalu bersedih ketika bersama ku, tetapi dia bisa tersenyum saat bersama Haidan. Apa dia memang tidak bisa bersamaku dan keba
Read more
Ingin Kamu Menjadi Milikku
Diamnya Bunga di dalam mobil membuat Haidan semakin bingung. Ia menepikan mobil, menginterogasi kediaman wanita yang biasa banyak berbicara itu, apalagi ketika dirinya mengangkat topik pembicaraan mengenai pekerjaan. Diamnya Bunga bukan karena marah, tetapi rasa takut, mengetahui pria yang ada di sampingnya itu adalah orang yang sudah membuatnya trauma berat. “Bunga.” Haidan memanggilnya dengan tangan ikut mendarat di bahu wanita itu. Bunga sontak kaget dan menarik diri, menjauh dari sentuhan Haidan. “Kenapa?” Haidan mulai kesal. Bunga menatap Haidan dengan wajah sedikit takut. Lalu, ia menurunkan pandangan, menatap sang anak yang ada di gendongannya, yang sedang tidur, sambil mengingat kejadian di masa lalu, ketika dirinya hampir dinodai. “Antarkan aku pulang. Aku merasa tidak enak badan,” bohong Bunga, masih dengan kepala tertunduk. “Sesuatu terjadi? Mengapa aku merasa kamu berusaha menyembunyikan sesuatu dariku?” tanya Haidan, mengemukakan sesuatu yang dirasakan olehnya. “T-
Read more
Kita Tidak Bisa Berpisah
Tamparan diberikan Bunga di pipi kanan Haidan, membuat pria itu kaget dan membetulkan posisi wajah yang sempat oleh ke sisi kiri. Ia menatap Bunga dalam bersama sorot mata tajam, tidak menduga wanita itu akan menamparnya, tidak seperti dugaannya sebelumnya, Bunga mengikuti perkataannya. “Kamu menamparku setelah begitu banyak yang aku korbankan untukmu? Aku banyak membantumu selama ini.” Haidan mengingatkan Bunga akan bantuannya selama ini. “Aku tidak akan pernah lupa dan aku berterima kasih karena kamu sudah banyak membantuku. Tapi, aku juga tidak bisa lupa dengan penderitaan yang kamu berikan padaku, membuatku dihantui oleh kejadian itu. Memang benar, kamu sudah banyak membantuku, termasuk membantuku sembuh dari trauma itu. Tapi, kami harus ingat kalau itu semua karena dirimu,” kata Bunga. Haidan mengangkat tangan ingin menampar Bunga karena terbawa emosi dan tidak sadar. Kafkha menggenggam pergelangan tangannya, menahannya dan mendorongnya dengan keras sampai pria itu melambangkan
Read more
Ucapkan Lagi
Kafkha berdiri dari tepi kasur, ia berjalan menuju balkon kamar sambil menyalakan pemantik dan menghidupkan rokok yang baru dikeluarkan dari saku celananya. Sejak dua tahun terakhir, Kafkha menggunakan rokok sebagai alat untuk menenangkan dirinya saat berada dalam beban pikiran yang begitu berat. Ia berdiri di samping pagar balkon kamar yang menjorok ke halaman rumah sambil menghisap rokok itu dan mengingat kembali sikap kasarnya pada istrinya itu. “Bukan dia yang menghancurkan hidupku. Tapi, sejak kami bersama, aku yang sudah menghancurkan hidupnya,” kata Kafkha, merasa bersalah. Deringan ponsel terdengar dari dalam kamar. Kafkha sadar itu bersumber dari ponsel sang istri yang tadi sempat dilihat ada di atas meja. Kafkha menjatuhkan rokok yang masih belum terbakar banyak itu ke lantai dan menginjaknya, memadamkan api dan berjalan memasuki kamar. Ia menghampiri ponsel Bunga, melihat nama seorang sutradara terkenal terpampang di layar ponsel itu. “Halo?” Kafkha bersuara. “Bunganya
Read more
Maafkan Aku
Bunga dan seorang pria paruh baya berjabat tangan. Pria itu seorang sutradara hebat yang sudah membuat banyak film layar lebar dan mencetak rekor sebagai sutradara terbanyak merilis film setiap tahunnya. Ini pertama kalinya mereka bekerja sama.“Rasanya dunia ini terasa sempit. Ternyata, dokter Kafkha adalah suami Bunga,” kata pria bernama Harianto itu. “Ternyata Bapak yang berbicara bersama saya semalam. Semoga bisa bekerjasama dengan baik,” ucap Kafkha, ikut menjabat tangan Harianto. Mereka duduk di sekumpulan bangku salah satu meja yang ada di sudut restoran Marellan. Selain berbicara mengenai pekerjaan, mereka juga makan siang bersama. Di tengah makan siang itu, Haidan menghampiri mereka karena Harianto mengundangnya, mengingat pria itulah yang sudah merekomendasikan Bunga sebelumnya. Kehadiran Haidan di sana membuat suasana jadi sejuk, tidak mengenakan seperti sebelumnya. Kafkha dan Bunga menyimpan luka kemarin dan memiliki banyak diam. Raisa mengarahkan tangan kepada Haidan,
Read more
Kamu Baik-Baik Saja?
Kafkha berjalan gontai keluar dari kamar mandi dengan wajah memucat, lesu. Ia duduk di tepi kasur sambil menggelengkan kepala beberapa kali setelah melihat samar apa yang dilihatnya. Jantungnya juga terasa sakit, seperti ditusuk-tusuk benda tajam. Bergegas tangannya membuka laci meja, mengambil botol obat yang sebelumnya diminum olehnya saat penyakit itu beberapa kali kambuh sejak dua tahun terakhir. “Huff …!” Kafkha menghembuskan napas. Pria itu menenangkan perasaannya dengan berdiam diri bersama mata dipejamkan. Sapuan angin kecil menyapu wajahnya. Kafkha membuka mata, melihat sang istri sudah berdiri di hadapannya dan sedang menghembuskan udara dari mulutnya ke wajahnya. “Sarapan sudah siap,” ujar Bunga. “Ini obat apa?” Bunga hendak mengambil botol obat di tangan Kafkha. Akan tetapi, pria itu bergegas menjauhkannya dari Bunga. “Obat kuat,” balas Kafkha, berbohong. “Dasar! Makin tua otaknya makin me–,” terpotong karena Kafkha menarik tangannya, membuat Bunga terduduk di pangku
Read more
Kamu Juga Akan Menyakitinya
Kafkha jadi tidak bisa fokus karena kondisi tubuh yang tidak baik akhir-akhir ini, ditambah lagi dengan beban pikirannya. Di tengah duduk bersandar merilekskan badan di bangku kerjanya, Bunga masuk memberikan kejutan. Pria itu berusaha tersenyum, meskipun rasanya tidak mood untuk melengkungkan bibir. "Papa ...!" Bunga mengajari Raisa yang ada di gendongan tangannya dengan tangan lain menjinjing rantang makanan.Bunga menaruh rantang itu ke atas meja dan membiarkan Raisa berkeliaran. Bunga menghampiri suaminya itu, mengecup pipi Kafkha dengan tangan menyalam tangan suaminya itu. "Kamu sedikit pucat, kami baik-baik saja, kan?" tanya Bunga dengan badan masih merendah, wajahnya sejajar dengan wajah Kafkha."Aku baik-baik saja. Hanya lapar, kamu lambat sekali." Pandainya Kafkha berbohong. "Kamu makanan atau merindukanku?" Bunga menggoda suaminya itu. Bunga duduk di pangkuan Kafkha, kedua tangannya melilit leher suaminya itu dan mengecup bibir Kafkha dengan mesra. Pria itu hanya diam,
Read more
Berdetak Begitu Cepat
Kafkha merasakan tubuhnya begitu lemah setelah keluar dari kamar mandi dalam balutan handuk kimono dan rambut masih lepek. Ia bergantung dengan merekatkan kedua telapak tangan ke dinding dan perlahan merangkak kan telapak tangan itu di satu sisi kamar itu, beralih bergantung di meja dan duduk di tepi kasur. Jantungnya berdetak begitu cepat, lebih cepat dari semalam.Beberapa kali ia menarik napas untuk setelah merasa dadanya begitu sesak. Tangannya mengambil ponsel di atas kasur, ia menghubungi nomor Danar untuk meminta bantuan pria itu agar bisa datang ke rumahnya karena Bunga sudah berangkat kerja pagi ini bersama Raisa. "Segera ke sini. Dadaku terasa sesak dan detak jantungku berdetak begitu cepat," ucap Kafkha dengan suara berat. Kafkha menurunkan ponsel ke atas kasur dan mengelus dadanya sambil menarik napas secara perlahan dan berusaha tetap tenang. Sekitar lima belas menit kemudian, Danar sampai bersama kotak medis yang lengkap, yang sudah dipersiapkan dari rumah sakit untu
Read more
Kamu Berbohong Padaku
Bunga membawa Raisa keluar dari sebuah ruangan, di sana bocah itu diperiksa yang merupakan ruangan seorang salah satu dokter anak di rumah sakit itu. Setelah keluar dari sana, Bunga ke administrasi untuk membayar pengobatan Raisa sambil bertanya mengenai Kafkha kepada mereka yang ada di sana. "Suster, dokter Kafkha sudah selesai bertugas di Papua?" tanya Bunga. Tiga perawat yang ada di meja administrasi itu mengerut bingung, mereka saling menatap satu sama lain. Dari raut wajah mereka, Bunga sudah bisa membaca ada sesuatu yang tidak beres. Siap-siap ia mendengar kebenaran kalau suaminya itu sudah berbohong padanya. "Dokter Kafkha tidak bertugas ke Papua. Dia baru saja keluar dari rumah sakit bersama suster Risa," jawab salah satu dari mereka. Penampakan wujud Kafkha dan Risa tadi tidak salah setelah sempat meragukannya. "Baiklah," ucap Bunga, tidak memperpanjang pertanyaan lagi. Bunga berjalan dalam beban pikiran keluar dari rumah sakit itu dan secara kebetulan berpapasan bersa
Read more
PREV
1
...
5678910
DMCA.com Protection Status