Semua Bab Neng Zulfa: Bab 111 - Bab 120
122 Bab
Part 37
Pelita melanjutkan wawancaranya lagi dengan Adhim. Gadis itu ingin menuntaskan semua pertanyaannya agar ia tidak perlu berurusan dengan Adhim lagi ke depannya. Ia tidak ingin berurusan dengan laki-laki yang sudah mengambil kesuciannya itu. Meski di sisi lain, ia tidak menyangka jika Adhim adalah seorang putra kiai. Sesuatu yang sebetulnya cukup menarik bagi Pelita karena penampilan Adhim yang terlihat nyeleneh dan urakan. Pelita sebenarnya penasaran sosok seperti apa Adhim. Bagaimana bisa Adhim tidur dengannya malam itu? Apa laki-laki itu masih memiliki hubungan dengan Arka, laki-laki yang berencana menghancurkan hidup Pelita? Kenapa Adhim tega melakukannya? Pelita ingat jika dirinya mencium bau alkohol di tubuh Adhim hari itu. Bagaimana bisa seorang anak kiai mabuk-mabukan? Kenapa laki-laki itu berani mengambil mahkotanya? Bukankah itu jelas-jelas perbuatan zina? Pelita menoleh pada Arina saat gadis itu memanggil namanya. Sesi wawancaran
Baca selengkapnya
Part 38
Jika Pelita ditanya bagaimana perasaannya bertemu dengan Adhim, seseorang yang telah mengambil apa yang seharusnya ia berikan kepada suaminya kelak sebagai istri, gadis itu merasa marah, kesal, sedih, dan takut. Hatinya kacau. Saat ia bersusah payah melupakan kejadian di kamar hotel itu, Adhim malah muncul di depannya ketika Pelita mulai bisa menerima keadaan dirinya yang tidak lagi sama seperti sebelumnya. Laki-laki itu muncul di hadapannya sebagai sosok putra kiai yang selama ini menjadi narasumber incarannya. Dan sekarang, laki-laki itu berkata ia akan mempertanggungjawabkan perbuatan tak bermoralnya. Pelita dilema tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Gadis itu kembali mencoba mengambil kalung miliknya yang ada di tangan Adhim. Namun, laki-laki itu kembali mencegahnya. "Tolong maafkan saya," ucap Adhim. "Hukum saya. Saya benar-benar akan menerima semuanya asal kamu mau memaafkan saya. Tolong, Pelita. Tolo
Baca selengkapnya
Part 39
Pelita melangkah gontai di jalan setapak yang menghubungkan taman dan selasar salah satu gedung kampus yang masih puluhan meter di depan sana. Kakinya terasa lemas, begitu juga tubuhnya. Gadis itu tidak kuasa melangkah lagi saat mata hazelnya melihat sebuah bangku taman kosong tidak jauh darinya. Pelita mendudukkan diri di sana dengan air matanya yang mulai menetes satu demi satu. "Tolong maafkan saya. Saya tahu apa yang saya lakukan pada kamu tak termaafkan. Tapi saya mohon, biarkan saya sedikit menebus dosa saya. Kamu bisa menghukum saya dengan cara apa pun yang kamu mau. Saya juga rela masuk penjara asal kamu memaafkan saya. Tolong, izinkan saya mempertanggungjawabkan perbuatan saya." Pelita merasakan sesak yang luar biasa di dadanya. Ia teringat kata-kata Adhim sewaktu mereka berada di kamar mandi perempuan kafe Haris. Laki-laki itu terdengar tulus. Tidak ada kebohongan di matanya. Tapi, memaafkan orang y
Baca selengkapnya
Part 40
Selama perjalanan tidak ada seorang pun yang berbicara di antara June dan Pelita di dalam mobil. Keduanya diam di tempat duduknya masing-masing. June di balik kursi kemudi mobil Pelita, dan Pelita di kursi penumpang yang ada di sebelah kirinya.June sebenarnya mengendarai mobilnya sendiri tadi saat berangkat ke kampus. Namun karena Pelita juga membawa mobil sendiri, ia sengaja meninggalkan mobil BMW putih miliknya yang sama seperti milik Pelita itu di kampus agar ia bisa pergi satu mobil dengan Pelita, menyopiri gadis itu seperti sebelumnya.Hari ini June baru kembali dari Singapura. Pesawat yang dinaikinya dari Bandara Internasional Changi Singapura landing sempurna di Bandara Internasional Husein Sastranegara Bandung pagi ini. Dan hal pertama yang ingin laki-laki itu lakukan setibanya ia di Bandung adalah menemui Pelita, karena itu, ia langsung pergi ke kampus untuk menyelesaikan urusan cutinya kemarin sekaligus menemui perempuan yang dicintainya itu.Su
Baca selengkapnya
Part 41
Nur Walis Pelita POV Jika ditanya perasaan apa yang kumiliki pada Kak June, maka aku menyayanginya. Dia adalah orang luar pertama yang peduli padaku, sayang padaku, bahkan tulus mencintaiku. Kak June adalah malaikat tanpa sayapku. Dia pelindungku. Saat kecil, sejak pindah ke Jakarta aku tidak memiliki teman. Rumah kami berdiri di kawasan elite dan tidak ada anak kecil lain yang kukenal di sekitar kompleks, sangat berbeda ketika kami masih tinggal di Yogyakarta, temanku sangat banyak dan ada di mana-mana. Di Jakarta, Papa melarangku keluar dari rumah selain les dan sekolah. Hari-hariku kuhabiskan untuk bermain boneka dan masak-masakan di dalam rumah atau di taman bersama bibi, sebab kakakku sendiri, Kak Leon, dia tidak pernah mau jika kuajak bermain boneka. Sesekali aku juga bermain dengan Mama saat Mama tidak pergi ke butik atau toko bunganya. Suatu hari, Kak Leon pulang bersama seorang temannya. Dan
Baca selengkapnya
Part 42
"Bang, lo ada sesuatu sama Pelita?" Pertanyaan lirih yang baru saja dilontarkan Aldo itu sukses membuat Adhim menghentikan aktivitasnya, mengikat gelang tali hitam dengan bandul batu giok warna hijau di ujung. Laki-laki berambut gondrong itu melirik sekilas ke arah temannya itu lantas meneruskan kegiatannya lagi, tanpa mengatakan sepatah kata pun. Merasa tidak mendapat respons, Aldo mencondongkan badannya ke arah Adhim. Menoleh ke arah pintu sejenak yang tidak sepenuhnya tertutup lantas berbisik lirih ke telinga Adhim setelah yakin tidak ada siapa-siapa di sekitar mereka, "Jangan bilang kalau Pelita adalah cewek itu." Adhim langsung menoleh cepat ke arah Aldo mendengar penuturan laki-laki itu. Mata elangnya menatap ke arah pintu sebentar lantas melihat wajah Aldo lagi. "Apa maksud lo?" tanya Adhim dengan wajah biasa. Namun, ada riak keterkejutan dalam parasnya. Aldo menghela napas. Ia bangkit d
Baca selengkapnya
Part 43
Setya pun segera berlalu. "Kenapa, Pelita?" June langsung melempari Pelita pertanyaan seperginya Setya dari hadapan mereka. "Kenapa kamu menghalangi aku menghajar laki-laki kurang ajar itu?" "Kak, tolong ...," lirih Pelita. June menghela napas sambil mengistirahatkan kedua tangannya di masing-masing pinggang. Dua buah kancing kemeja paling atasnya ia lepaskan serampangan. "Dia udah kurang ajar sama kamu," katanya beberapa saat kemudian, menatap lembut namun dengan suara yang masih bernada tidak terima. "Enggak, Kak." Pelita menggeleng dengan tatapan mata yang seolah memohon pengertian June. June mendesah sambil mengurut pangkal hidung bangirnya menggunakan sebelah tangan, "Aku nggak ngerti lagi sama kamu, Pelita. Bisa-bisanya kamu menyetujui kontrak kerja sama sama orang seperti Setya saat aku ke Singapura kemarin? Kamu seharusnya nggak taken kontrak itu!" Pelita tersenyum simpul
Baca selengkapnya
Part 44
"Dengan keluarga Saudari Pelita?" June hendak pergi dengan seorang perawat untuk mengurus administrasi Pelita saat dokter yang menangani gadis itu keluar dari ruang pemeriksaan dan berujar seperti itu. June yang sudah akan bertolak pun berbalik, menghampiri sang dokter yang berdiri di depan pintu. "Ada apa, Dokter?" tanyanya. Arina yang juga berdiri di sana langsung mendekat ke arah June dan dokter laki-laki berusia empat puluh tahunan itu karena ingin tahu bagaimana keadaan Pelita. "Begini, saya perlu berbicara dengan suaminya. Apakah Anda suaminya?" tanya dokter itu lagi. Dahi June praktis mengernyit mendengarnya. Begitu pula dahi Arina. Kedua insan itu kemudian saling tatap kebingungan. Merasa telah terjadi sesuatu yang aneh, June akhirnya meminta Arina pergi menggantikannya mengurus administrasi Pelita di meja resepsionis bersama perawat yang sebelumnya akan pergi dengannya t
Baca selengkapnya
Part 45
Di dunia ini tidak ada yang benar-benar Pelita percayai selain dirinya sendiri. Sebab semua orang selalu meninggalkannya, pergi, dan mengkhianatinya. Mamanya, Papanya, Leon, June, juga Arina. Semesta selalu mempermainkan Pelita melalui orang-orang yang disayanginya. Pelita tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia hancur. Seolah tidak ada jalan keluar lagi untuknya. Ia bahkan tidak bisa melarikan diri karena apa yang terjadi benar-benar membuat Pelita lumpuh kali ini. "Jawab, Pelita ... siapa ayah anak itu?" June masih menanyakan hal yang sama kepadanya dengan wajah laki-laki jangkung itu yang terlihat terluka dan air mata yang semakin nyata jatuh dari manik cokelatnya. Pelita semakin menundukkan kepala. Ia mencengkeram kain seprai ranjang rumah sakit dengan kedua tangan. Sebelumnya Pelita pikir semuanya akan baik-baik saja. Tidak akan ada sesuatu yang terjadi pada dirinya setelah kejadian itu.
Baca selengkapnya
Part 46
Pelita keluar dari kamar rawatnya setelah menemukan tas kecil berisi ponsel dan dompet miliknya di atas nakas. Ia memakai tas itu dan merasa bersyukur karena tidak menemukan June ataupun Arina di luar saat ia melongok dari dalam kamar. Setelahnya, gadis itu mengayunkan langkah kakinya cepat-cepat menyusuri lorong panjang rumah sakit mencari jalan keluar. Keputusan Pelita sudah final, ia akan pergi. Ke mana pun asal tidak ada seorang pun yang bisa menemukannya. Tidak papanya, tidak kakaknya, tidak June, tidak Arina, dan tidak siapa pun itu yang berniat mencarinya. Soal pekerjaan dan kuliah, Pelita bisa memikirkan itu nanti. Yang penting sekarang dirinya harus pergi. Saat ia berbelok dari satu lorong ke lorong lain yang diyakini Pelita mengarah ke pintu keluar, gadis itu tercekat karena orang yang paling tidak ingin ditemuinya muncul tepat di depannya. Refleks, Pelita langsung memundurkan beberapa kali langkah kakinya.
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
8910111213
DMCA.com Protection Status