Share

Bab 3

"Hai, Kakak!"

Anak laki-laki yang Alina lihat tadi sudah duduk di kursi yang berada di samping ranjang. Ia menyapa gadis itu dan melambaikan tangan. Anak itu melemparkan senyuman dengan wajah pucatnya.

"Ka-Kamu, kamu hantu, kan?"

Sontak saja gadis itu langsung mengalami hilang kesadaran saking takutnya.

Seorang pria dengan postur tubuh tinggi, menggunakan kaca mata dan memakai seragam dokter datang ke ruang perawatan Alina sore itu. Ia datang bersama Dokter Ridwan.

"Selamat sore! Halo perkenalkan nama saya Indrawan," ucapnya pada Alina dengan senyum hangat.

Pria itu mengulurkan tangannya pada Alina. Gadis itu mengamati pria di hadapannya itu dengan saksama. Dia melihat nama pada kartu pengenal yang menggantung di saku kemeja seragam dokternya.

"Psikolog, dokter kejiwaan? Oh... berarti kau dikirim menemui aku karena mereka menganggapku gila, ya?" tanya Alina.

Suara Dokter Ridwan yang tertawa terdengar meski langsung ia tahan. Ia lantas menepuk punggung Indra.

"Apa semua pasien yang bertemu dengan dokter jiwa seperti saya itu sudah pasti dianggap gila?" tanya Indra menunjuk dirinya sendiri.

"Bukankah cara kerja dokter seperti itu, menangani para pasien gila," sahut Alina dengan nada ketus.

"Bukan begitu, saya hanya kemari karena ingin berbincang-bincang saja, kok, sekalian kenalan," tuturnya seraya melayangkan senyuman manis.

"Saya capek tau, dari pagi dua orang polisi itu sudah memberondong saya dengan banyak pertanyaan, memangnya Dokter mau tanya apa lagi dari saya?" tantang Alina.

Kedua mata gadis itu menatap tajam ke arah pria yang memperhatikan sekeliling ruangan tersebut.

"Saya hanya ingin berbincang, boleh saya duduk?" tanyanya.

Namun, tanpa menunggu persetujuan Alina, dia sudah merebahkan bokongnya di kursi samping ranjang gadis itu.

"Baiklah kalau begitu saya tinggal kalian berdua, ya, saya masih harus ke ruangan pasien lain," ucap Dokter Ridwan lalu melangkah pergi dari ruangan tersebut.

"Apa Dokter percaya hantu?" tanya Alina tiba-tiba mengejutkan Indra.

"Saya percaya, sih, memangnya kamu benar ya bertemu hantu, seperti pengakuan suster Irma tadi?"

"Benar, aku enggak bohong, mereka ada di sekitar kita," bisik Alina sembari kedua bola mata gadis itu berkeliling mengamati sekitar.

"Apa hantu yang kamu lihat itu menyeramkan?" tanya Indra.

Alina menganggukkan kepalanya.

"Saya ketemu dua, satu seperti kuntilanak, yang satu anak kecil berwajah pucat, hiiiiiy...!"

Alina menutup wajahnya dengan selimut karena takut bertemu dengan para hantu itu lagi.

Tiba-tiba suara ponsel di saku seragam milik Indra berbunyi dan membuat Alina tampak gusar.

"Matikan, matikan ponsel itu!" bentak Alina.

Indra yang tadinya hendak mengangkat sambungan ponsel itu jadi mengamati Alina dan membiarkan ponselnya berdering. Bahkan pria itu bangkit dan mendekatkan ponsel itu ke dekat si gadis.

"Ada apa dengan hape saya?" tanya Indra.

Ponsel itu kembali berdering tepat di telinga Alina. Gadis itu melotot menatap ke arah dokter tersebut lalu meraih ponsel dari tangan Indra dan melempar benda itu ke lantai.

"Lho, hape saya kenapa dilempar?"

Indra menghampiri ponsel miliknya di lantai dan meraihnya.

"Sudah saya bilang, matikan!" bentak Alina.

Wajahnya terlihat pucat ketakutan. Gadis itu menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut meskipun sesekali ia mengintip.

"Hape saya jadi mati karena kamu banting, memangnya ada apa dengan hape saya?" tanya Indra.

"Dia, dia akan datang, dia akan membunuh kita semua," ucap Alina dengan nada ketakutan sampai ia tutupi semua tubuhnya dengan selimut sampai ke kepala. Ia menyembunyikan dirinya di balik selimut itu.

Indra masih menatap tak percaya ke arah gadis itu seraya menyalakan ponsel di tangannya kembali.

"Ada apa dengan gadis ini, ckckckc," gumamnya.

***

Alina tersadar saat berada di ranjang rumah sakit malam itu. Seorang pasien sudah berada di samping ranjangnya.

"Hai...!" sapa gadis berusia 17 tahun itu.

"Kamu, sejak kapan ada di sini?" tanya Nadia.

"Baru aja, Kok. Halo nama aku Laila, kamu namanya siapa?"

"Aku Alina."

Tiba-tiba seorang wanita masuk ke dalam ruangan itu.

"Laila anak Mamah, kamu enggak apa-apa kan, Nak?" Seorang wanita paruh baya datang langsung memeluk gadis itu.

"Aduh, jangan kenceng-kenceng, sakit ini kepala aku," jawab Laila.

"Untung saja kamu selamat, kamu kok bisa sih seperti ini?"

"Mana Laila tau, Mah."

"Karena kamu mabuk, iya kan?" Seorang pria masuk seraya berkacak pinggang.

"Apa benar itu, Nak, kamu mabuk-mabukan?"

Nyonya itu menatap Laila dengan menahan air matanya, ia mencari kejelasan dari mulut putri semata wayangnya itu yang belum juga didapatkan.

"Aku cuma minum dikit kok, Mah," sahut Laila akhirnya.

"Dikit apanya? Tuh, buktinya dua kawan kamu lainnya mati, hah?" Sang ayah membentak Laila kala itu.

"Pah, ini rumah sakit tolong tenang sedikit, lagi pula bukan Laila yang menyetir, pasti kawannya lah yang mabuk," ucap sang ibu masih membela putrinya.

"Halah... terus saja kamu membela bocah tengik itu, dasar anak sial, selalu saja membuat orang tua malu!" Sang Ayah langsung keluar ruangan meninggalkan putrinya dan sang istri.

"Sudah jangan kamu dengarkan Papah kamu itu, kamu istirahat saja ya, Nak, sebentar lagi suster akan membawa kamu pindah," ucap sang ibu lalu mencium kepala putrinya.

"Kenapa harus pindah?" tanya Laila.

"Mamah mau bawa kamu ke rumah sakit yang lebih bagus. Dah kamu tenang aja enggak usah pikirin ayah kamu." Wanita itu lalu pamit pergi menyusul suaminya.

Alina yang melihat perlakuan ayah gadis itu ikut merasa sedih.

"Kamu enggak apa-apa, kan?" tanya Alina.

"Kamu lihat semuanya, ya? Papah aku tuh ya gak mandang ada orang lain juga kalau dia mau marahin aku, ya marah aja dia mah, aku udah biasa kok di gituin sama dia, dia tuh gak pernah nunjukkin kalau dia sayang sama aku hanya karena aku anak perempuan." 

Alina tahu ada kesedihan terpancar dari matanya yang berkaca-kaca, tetapi gadis itu berusaha untuk menyembunyikan sekuat wajahnya yang mencoba tersenyum.

Kedua gadis itu berbincang dan mencoba lebih akrab lagi.

******

To be continue...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status