Share

Bab 2

"Aaaaaaa! Pergi! Pergi!"

Gadis itu melempar sosok hantu perempuan itu dengan bantal. Lagi-lagi dia menghilang meninggalkan tawa cekikikan yang membuat bulu kuduk meremang. Degup jantung gadis itu terdengar sangat kencang bahkan melebihi suara detik pada jarum jam dinding yang terdengar.

"Please... jangan ganggu aku, ku mohon pergilah dari sini, pergi!" pinta Alina lalu ia berkomat kamit membaca surat Al Ikhlas, karena mirisnya hanya surat pendek itu yang ia tau.

Sosok perempuan itu muncul dari balik pintu kamar mandi. Ia tertawa lagi lalu menghilang entah kemana. Mungkinkah itu sosok kuntilanak seperti yang pernah ia tonton di film - film horor?

Alina berusaha turun dari ranjang dengan menggenggam infus di tangannya. Gadis itu mencari sosok perempuan tadi di kamar mandi, lalu di kolong kasur, kemudian dibalik tirai jendela. Tak ada juga ia temukan sosok perempuan yang tadi.

Gadis itu sesungguhnya ketakutan tetapi ia merasa sangat penasaran. Baru kali itu ia dapat melihat sosok hantu. Hati kecilnya hanya ingin memastikan lagi apa yang dia lihat.

"Itu hantu apa bukan, ya?" tanyanya pada diri sendiri.

"Ngapain, Mbak Alina?"

"Astagfirullah!"

Suara suster yang datang tiba-tiba itu mengagetkan Alina sampai membuat gadis itu bersandar lemas di dinding.

"Suster mah... ngagetin aja!" seru Alina sambil kembali ke kasurnya.

"Makan bubur dulu, ya, lalu minum obat yang sudah saya siapkan ini,” ucap Suster tersebut.

Alina mengamati tanda pengenal suster bertuliskan “Diah” itu dengan saksama.

“Mbak Alina, saya mau ukur suhu dan tensi darahnya juga."

“Iya, Suster.”

Seorang anak laki-laki berusia kurang lebih lima tahun masuk ke kamar Alina. Anak itu memegangi baju suster itu dan bermain cilukba dengan gadis tersebut dari balik baju sang suster. Wajah bocah itu terlihat pucat.

"Suster, itu anak ngapain di belakang suster pake main cilukba segala sama saya?” tanya Alina.

"Anak yang mana, Mbak?"

Suster Diah terlihat sangat heran seraya menengok ke belakang, ke kanan dan ke kiri, tetapi tidak ada siapapun dia temui.

"Hai! Siapa nama kamu?"

Alina masih fokus pada anak kecil yang mengajaknya bermain cilukba itu.

"Mama."

Anak itu mengucap mama sambil menarik-narik baju suster dan memeluk pinggang suster.

"Mbak, Mbak Alina!" seru suster itu berusaha menyadarkan Alina dari fokusnya.

"Ya, Suster."

"Siapa yang Mbak lihat?" tanya suster Diah yang mulai merasakan hawa merinding pada tengkuknya.

"Dia panggil Suster barusan, Mama."

Jawaban Alina sukses membuat tangan wanita yang menggunakan seragam warna hijau pastel itu mulai gemetar. Ketakutan terpancar di wajah wanita itu saat memperhatikan tingkah laku gadis di hadapannya.

"Suster bawa anak, ya, tuh dia manggil mama lagi katanya sambil nunjuk suster?"

Alina menunjukkan senyuman dengan deretan gigi rapi pada anak itu.

"Mbak, ja-ja-jangan bercanda."

"Bercanda gimana maksud Suster?" tanya Alina tak mengerti.

"A-anak, anak saya sudah meninggal, Mbak."

Alina langsung menoleh pada sosok anak kecil tadi. Benar saja sosok anak itu sudah menghilang. Kini, bukan hanya suster Diah yang gemetar dan ketakutan, tetapi gadis itu juga merasakan hal yang sama.

"Ma- ma-maaf, saya permisi, Mbak."

Suster itu buru-buru pergi meninggalkan ruangan sampai alat tensi darah tertinggal di atas kasur Alina. Tak lama kemudian suster yang bernama Irma datang ke ruang perawatan gadis itu. Ia segera merapikan alat tensi yang tertinggal berikut dokumen perkembangan kesehatan gadis itu.

"Sus, itu suster barusan kenapa ya, sampai alat tensi ketinggalan dan buru-buru pergi?" tanya Alina.

Suster Irma memeriksa mata Alina, suhu tubuhnya normal, tekanan darah juga normal. Wanita itu menelisik gadis di hadapannya dengan saksama.

"Kamu lagi enggak mengigau atau berhalusinasi kan, Nak?" tanya suster Irma.

"Maksud Suster? Saya baik - baik ajak kok, Sus, malahan saking baiknya saya mau tanya kapan saya bisa pulang?" tanya Alina berharap dia segera pergi dari tempat itu.

Perlahan demi perlahan juga ingatan gadis itu membaik.

"Hmmm... begini ya, tadi itu suster Diah yang periksa kamu tadi, dia ketakutan."

"Oh, masalah tadi ya, saya juga nggak ngerti, Sus, kenapa saya bisa lihat anaknya yang sudah meninggal."

Alina menarik selimutnya lebih tinggi, ia takut jika anak itu kembali ke ruangan itu. Ia akan segera bersembunyi di balik selimut itu.

"Apa benar perkataan kamu itu?" tanya Suster Irma.

"Perkataan yang mana ya, Sus?"

"Soal anak tadi yang kamu lihat."

"Kan tadi saya udah bilang saya juga heran dan enggak ngerti kenapa bisa melihat anak itu. Tadi saya lihat anak itu mengikuti suster Diah, makanya saya heran kok suster bawa anak saat memeriksa pasien, kenapa enggak dititipin, terus nanti kalo ketularan penyakit gimana terus—"

"Tetapi anak itu sudah meninggal!" potong suster Irma menegaskan.

"Nah itu, bagaimana mungkin saya bisa melihat anak itu kalau dia sudah meninggal. Apa mungkin anak yang berbeda kali, ya, yang mukanya mirip."

Alina berusaha mencoba pemikiran logis lainnya karena nyalinya ciut juga jika ia bertemu dengan hantu. Apalagi sebelumnya ia melihat sosok yang ia yakini sebagai hantu tadi.

"Apa ini anak yang kamu lihat?"

Suster Irma menunjukkan kalung berfoto yang di dalamnya terpampang wajah anak tadi. Anak laki-laki yang tampan menurutnya. Gadis itu mengangguk membuat raut wajah suster Irma lebih pucat dan panik.

"Iya, itu mukanya mirip banget," jawab Alina.

"Saya akan memanggil Dokter Ridwan kemari dan membawa dokter psikologis untuk kamu."

Suster Irma menarik kalung itu dari hadapan Alina dan menyimpannya di saku kembali.

"Psikolog? Tapi, saya enggak gila, Sus!"

Alina meraih lengan suster Irma.

"Saya enggak bilang kamu gila, saya hanya ingin memastikan kondisi kamu," ucap wanita berusia 40 tahun itu.

"Tapi kenapa harus psikolog, sih?"

"Nanti tanya saja dengan Dokter Ridwan, saya permisi dulu."

Alina memandang suster Irma yang sudah keluar dari ruangannya, dia masih heran dengan penglihatannya bagaimana bisa seseorang yang sudah meninggal dapat ia lihat.

"Tadi kayak lihat hantu perempuan masa sekarang lihat hantu anak kecil, sih. Ini rumah sakit serem banget kali ya, banyak hantunya," gumam gadis itu seraya merebahkan dirinya ke posisi terlentang.

Ia lantas memiringkan tubuhnya ke kiri. Pandangannya lurus mengamati lukisan pedesaan di dinding ruang perawatan itu.

"Hai, Kakak!"

******

To Be Continue...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status