Share

AFRAID
AFRAID
Penulis: Vie Junaeni

Bab 1

"Kenapa, kenapa aku tidak mati?"

Lirih gadis itu seraya menatap langit-langit kamar perawatannya.

"Dokter, Dokter pasien sadar."

Suara seorang suster membuat Alina merasa semakin terjaga. Ia menoleh ke arah suara tersebut.

Dilihatnya seorang Dokter pria bernama Ridwan, sesuai yang tertulis pada tanda pengenal dokter tersebut, menghampiri gadis itu. Ia memeriksa kondisi dari gadis yang masih terbaring lemah itu.

Dua orang suster di kanan dan kiri ranjang tempat gadis itu terbaring juga bersiaga mengecek keadaan Alina. Mereka sigap dengan segala perintah sang dokter.

"Syukurlah akhirnya kamu sadar juga," ucap Dokter Ridwan.

Dokter itu menempelkan stetoskop pada dada gadis itu untuk mengecek detak jantung dan kondisi tubuhnya.

"Semuanya baik suster, coba nanti mulai kasih makanan yang lembut ya, Sus."

"Baik, Dokter," sahut kedua suster itu bersamaan.

"Oke, kalau gitu saya pamit dulu, nanti kabari lagi perkembangan gadis ini," ucap pria itu.

Dokter itu tersenyum pada Alina, lalu ia melangkah pergi ke luar dari ruang perawatan gadis itu. Namun, saat di depan pintu langkah pria itu terhenti dan menoleh ke arah dua suster tadi.

“Oh, iya, jangan lupa beri tahu pihak kepolisian kalau gadis ini sudah bangun dari koma,” tegas Dokter Ridwan, lalu ia melanjutkan lagi langkahnya menjauhi ruangan itu.

Alina menoleh pada seorang suster yang mengenakan hijab warna putih itu.

"Saya, saya ada di rumah sakit mana, Sus?" tanya Alina.

"Kamu ada di Rumah Sakit Lestari," jawab salah suster bernama Irma.

“Di Rumah Sakit Lestari? Duh, sejak kapan saya berada di sini?”

Kepala gadis itu terasa berdenyut. Ia sampai mengarahkan tangannya menyentuh perban yang melilit di kepalanya itu. Alina mencoba untuk duduk tetapi tak bisa. Salah satu suster langsung memutar knop di ujung ranjang agar ranjang yang ditempati gadis itu bergerak naik.

Kedua suster itu saling bertatapan bingung satu sama lain, mereka jadi bingung bagaimana dan darimana harus menjelaskan perihal gadis itu sampai di sana. Alina terus saja mengeluh sakit pada bagian kepalanya, apalagi saat ia mengingat kejadian apa yang menimpa dan membawanya sampai ke rumah sakit itu.

“Sebaiknya kamu istirahat dulu, jangan terlalu dipaksakan, apalagi kamu baru sadar dari koma selama satu bulan,” ucap Suster Irma.

“Saya koma? Selama satu bulan pula?” tanya Alina makin tak mengerti.

Suster Irma mengangguk dengan melayangkan senyum hangat.

"Ada keluarga yang bisa kami hubungi, Nak?" tanya suster Irma.

Alina menggeleng karena ia merasa tak mampu untuk mengingat kejadian apapun yang menimpanya. Ia bahkan tak ingat dengan dirinya sendiri selain kalung dengan liontin nama bertuliskan “Alina” yang ada di lehernya tersebut.

Kring… Kring…

Suara ponsel Suster Irma terdengar berdering. Alina langsung berteriak dan menjerit-jerit kala mendengar suara ponsel tersebut.

“Matikan, matikan!”

Gadis itu berteriak sambil menutup kedua lubang telinganya. Wajahnya tampak ketakutan dan terlihat pucat pasi seperti melihat sosok hantu yang menakutkan.

Para Suster itu langsung kembali memandang satu sama lain dengan panik. Sontak saja Suster Irma langsung mematikan ponselnya dan menenangkan gadis itu.

"Panggil Dokter Ridwan, Ya!" pinta Suster Irma.

Suster Yaya langsung pergi ke luar ruangan memanggil sang dokter. Tak lama kemudian dokter itu datang dan memeriksa kembali keadaan Alina.

"Kelihatannya dia mengalami trauma," ucap sang dokter.

Suntikan obat penenang membuat gadis itu lebih baik dan akhirnya tertidur kembali. Jika hal itu tidak dilakukan gadis itu masih saja akan menjerit ketakutan.

Setelah memastikan kondisi Alina sudah tenang para suster itu lalu pergi dan membiarkan gadis yang terlelap di atas ranjang itu untuk beristirahat.

Hening seketika, ruangan kamar perawatan gadis itu terasa sepi karena dari dua kasur di kamar itu hanya ada dia seorang. Beberapa jam kemudian Alina terbangun. Ia bangkit dan mencoba untuk duduk lalu menyalakan TV.

"Hmmm… hmmm… hmmm… hmmm…."

Terdengar suara wanita bersenandung dari arah samping ranjang gadis itu.

"Suara siapa itu, apa jangan-jangan hanya suara TV ini, ya?” gumam Alina.

Lalu, senandung itu terdengar lagi, kali ini gadis itu mematikan TV. Anehnya, suara senandung seorang perempuan makin terdengar. Dilihatnya sepasang kaki yang mengguncang-guncang dengan posisi duduk berada di ranjang sebelah Alina. Sepertinya sosok itu memakai daster berwarna putih, tapi terlihat kusam dan lusuh.

"Perasaan tadi enggak ada orang, apa pasien baru datang, ya? Umm... maaf, Bu, apa Mbak, ya?"

Alina memberanikan diri untuk bertanya.

"Hihihihihihihihi."

Suara perempuan yang sedang bersenandung itu sekarang tertawa terdengar menyeramkan dan membuat bulu kuduk Alina meremang seketika itu juga kala mendengarnya.

Alina mencoba membuka tirai samping pemisah dengan kasur sebelahnya perlahan-lahan. Tangannya gemetar saat menyentuh tirai tersebut. Sampai perlahan demi perlahan tirai itu tersingkap dan memperlihatkan ranjang di sebelahnya, dia tidak melihat siapapun di situ.

Namun, saat gadis itu mencoba menutup tirai pemisah itu kembali, tiba-tiba…

"Hihihihihihihi."

Perempuan berdaster lusuh itu sudah berdiri di hadapan Alina. Disekitar mata sosok itu tampak menghitam dengan kedua bola mata merah. Dia tersenyum menyeringai menatap ke arah gadis itu seraya memainkan rambut kusutnya yang berantakan.

"Aaaaaaa... Pergi...."

Alina berteriak sekuat tenaganya, tetapi anehnya tak ada satupun suster yang datang menghampiri ke kamar saat itu.

"Ka-ka-ka- kamu, kamu siapa?"

Sosok perempuan berdaster lusuh tadi langsung menghilang. Alina menutup kedua matanya, dia yakin betul kalau barusan melihat sosok perempuan. Saat menoleh ke kanan tak ada siapapun tetapi saat ia menoleh ke kiri, wajah perempuan yang sudah berselimut darah itu hadir kembali mengejutkannya.

"Aaaaaaa! Pergi! Pergi!"

******

To be continue...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status