Share

Langkah awal Danu

POV DANU

Tanpa terasa air mata ini menetes saat ku mengenang kembali kisah hijrahku. Dikamar dengan fasilitas lengkap ini ku bersandar memeluk guling.

Ah,,, apa ini aku 'kan laki-laki tak boleh cengeng.

Azdan Maghrib sayup sayup terdengar. Segera ku bangkit tak terasa lama juga aku bersandar tadi.Aku harus bersiap siap untuk shalat Maghrib.

Ah tapi aku ingin menelpon Zahra dulu ingin bertanya langkah apa yang akan ku ambil. Aku tak boleh buang-buang waktu hari ini sudah masuk dalam hitungan hari untuk memenuhi syarat mahar bidadari ku.

"Aaarrggh," Ku acak rambut melampiaskan kebingungan ini duduk di spring bed.

Aku harus bagaimana dulu? "Telpon nggak. Telpon nggak telpon." Menghitung 5 jariku.

Telpon. Yah aku telpon Zahra saja timbang mati penasaran.

Segera ku raih ponsel yang ada diatas spring bed ku buka pola ponsel kemudian mencari kontak Zahra. Kuhubungi bidadari itu.

"Tut, tuuut." Suara khas telepon tersambung dibalik ponsel .

"Nyambung." Menempatkan ponsel di dekat telinga.

"Tut Tut Tut." Sambungan telepon terputus.

"Kok nggak diangkat si," lirihku gelisah mendera hati kucoba menghubungi lagi.

"Tut tuuuut,"

"Hallo Assalamualaikum,"

"Wa'alaikum salam," jawabku agak gugup.

"Mas, maaf ada apa nelepon sore begini? Ini sudah masuk waktu shalat Maghrib Mas," ucap Zahra di balik ponsel.

"Maaf, Zahra. Ada hal penting yang ingin ku tanyakan," balasku tersenyum ada rasa bahagia saat mendengar suara Zahra lewat sambungan telepon.

"Iya Mas, ada apa silahkan." ucap Zahra suaranya lembut.

"Maksud perkataan tidak boleh dibantu orang lain itu gimana? Apa aku sama sekali tak boleh mendapat bantuan sedikitpun dari orang tua ku dan bantuan dari orang lain? Aku sudah menyiakan waktu sehari ini Zahra," tanyaku sedikit malu.

"Ohh itu. Mas, tak mungkin bila kita hidup tanpa bantuan orang lain," jawab Zahra.

"Lalu?" Aku bingung.

"Mas boleh menerima bantuan sekedarnya dari siapapun selama masih wajar. Bantuan itu sifatnya hanya meringankan Mas. Jadi kalau sekedarnya Mas boleh kok menerima bantuan orang lain siapapun itu, asal Mas jangan bergantung dan mengandalkan bantuan orang lain tanpa berusaha," jelas Zahra.

"Oke Zahra terimakasih. Aku paham. Doakan aku ya bidadari," ucapku lega.

"Sama-sama Mas, ya sudah aku tutup ya, jangan lupa shalat Maghrib, Mas. Assalamualaikum."

"Iya, Wa'alaikum salam."

Tut, Tut, tut. Sambungan telepon putus.

Akhirnya ku dapat titik terang setelah menelepon Zahra.

Oke tunggulah Zahra akan ku buktikan bahwa aku bersungguh sungguh menjalani semua ini. Semoga Allah meridhoi jalan ku.

Besok aku akan bergerak cepat memulai misiku tapi sekarang sebaiknya aku harus shalat Maghrib dulu.

Aku segera menuju kamar mandi yang ada di kamar ini, badanku lengket. Aku mandi lalu berwudhu.

Kemudian keluar kamar mandi dan gegas ganti baju untuk siap-siap Shalat Maghrib.

Meskipun bacaan shalat ku masih belum lancar aku yakin Allah maha Pengasih, lagi Maha Penyayang yang penting tetap berusaha menjalani semua ini dengan Istiqomah.

Ku gelar sajadah biru bermotif bordiran gambar Ka'bah hendak mendirikan shalat sebisaku.

Selesai shalat duduk sejenak berzikir sebisaku dan berdoa.

Dalam do'a ini ku minta ampunan kepada Allah atas semua kesalahan di masa lalu juga memohon dikuatkan menjalani hijrah ini tak lupa ku memohon agar mama mau merestui aku dan Zahra untuk bersatu meskipun aku harus melakoni syarat yang sulit di akhir do'a ku memohon ampunan atas semua kesalahan mama dan papa.

Aku masih duduk di atas sajadah biru ini mengakhiri doa ku mengusap kedua telapak tangan kewajah sambil berucap "Amin"

"Ceklek!"

Pintu kamar dibuka, ku toleh ternyata mama yang membuka pintu.

Mama berjalan menghampiriku dengan raut muka yang sulit kupahami. Sedih, marah, senang. Entah aku tak tahu.

Mama berdiri tepat di samping sajadahku.

"Danu, kamu shalat?" lirih Mama badannya kini luruh kelantai duduk menatapku tak percaya.

"Iya, Ma," lirihku melempar senyum kemudian meraih tangan mama kucium dengan lembut. Hal yang sudah lama tidak ku lakukan seingatku terakhir kali mencium tangan mama saat lebaran idul Fitri kemarin.

Mama kelihatan senang saat ku cium tanganya.

"Danu, sejak kapan kamu shalat?" tanya mama kini kami berhadapan.

"Sejak aku hijrah Ma. Aku menemukan ketenangan dalam shalat Ma," ungkapku padanya.

"Hijrah? Apa itu hijrah Danu?" tanya Mama. Kini mama lebih bersahabat dengan ku suaranya pun lembut tak seperti tadi siang saat dalam perjalanan pulang, berdebat dengan papa dan marah sepanjang perjalanan.

Ku tersenyum menggenggam tangan mama ku jelaskan pada Mama makna hijrah sesuai pemahaman ku. "Hijrah itu berubah menjadi lebih baik Ma. Seperti yang ku lakukan sekarang ini shalat."

"Sejak kapan kamu hijrah?" tanya mama lagi satu persatu pertanyaan mama bermunculan.

"Setelah aku mengenal Zahra dan jatuh cinta kepadanya Ma," aku tertunduk dihadapan mama.

"Zahra?" tanya mama lagi.

Tangan mama masih ku genggam.

"Iya Ma," lirihku.

Mama bertanya terus menerus hingga akhirnya ku ceritakan saja kisah hijrahku kepada mama. Mama mendengarkan dengan seksama hingga terlihat sudut matanya berair.

"Ma, mama menangis? Maafkan Danu Ma?" lirihku pada Mama sambil menciumi tangan mama masih ku genggam.

"Maaf, untuk apa Danu," lirih Mama terisak.

Ku usap lembut air mata yang menetes di pipi Mama.

"Danu tidak menurut pada Mama dengan nekat melanjutkan hal yang menurut mama gila dan memalukan," tuturku lirih.

"Danu mohon, Ma. Restuilah Danu," pintaku menghiba.

"Tapi Danu mama lebih menderita melihat anak mama susah," ungkap mama lirih.

"Ma, Danu mencintai Zahra karena Allah, Ma," ungkapku lirih. "Danu tak bisa hidup tanpa Zahra, Ma," ungkapku lagi.

Mama diam entah apa yang beliau fikirkan.

"Danu, kau sanggup, Nak?" tanya Mama.

"Jika mama merestui dan meridhoi, insyaallah Danu pasti sanggup menjalani semua ini, Ma," rayuku pada Mama.

Mama diam lagi memejamkan mata wajahnya menghadap langit-langit kamar.

"Yah, jika kamu sanggup..., Mama akan merestui mu," ucap mama tersenyum mengusap pipiku.

Aku sungguh terkejut mendengar ucapan mama barusan. Hatiku bahagia sekali.

"Benarkah, Ma?" tanyaku tak percaya. Mencoba mencari kebohongan di mata mama. Ah, tak terlihat.

Mama mengangguk kemudian memelukku erat.

Aku berhambur menangis bahagia karena mendapat restu dari Mama. Semangatku pun berkobar.

"Jika kamu benar-benar mencintai Zahra jangan menyerah, Danu," ucap mama kini mendukungku.

Ku lepas pelukan mama kuciumi tangan dan pipi Mama.

"Terimakasih, Ma. Terimakasih." Ku hapus air mata ini. Laki-laki kok nangis cengeng. Aku pun tertawa bahagia.

Kemudian menuntun mama untuk berdiri dan menduduk kan mama di spring bed.

Aku melipat sajadah kemudian meletakkan diatas meja.

"Danu kenapa tak memberitahu mama hal ini lebih awal?" tanya mama menatapku yang kini duduk disampingnya.

"Maafkan Danu, Ma. Sebenarnya Danu ingin cerita tapi mama sibuk terus," ungkapku menggenggam tangan mama dan duduk disampingnya.

"Apakah papa mu tau kalau kamu hijrah?" selidik mama.

Aku menggeleng sambil tersenyum penuh kemenangan.

Mama mengusap kepalaku hal yang jarang sekali dilakukannya.

"Anak mama sudah besar sudah pandai memilih mana yang baik mana yang buruk," puji mama mengusap lembut kepalaku.

"Semua ini kudapat berkat mengenal Zahra, Ma. Dia berhasil mengalihkan duniaku," ungkapku.

"Papamu, tak salah pilih menjodohkan mu dengan Zahra. Kamu jadi lebih baik," tutur mama menyudahi usapannya.

"Papamu seperti sudah mengenal lama Keluarga mereka, kalau tidak rasanya tak mungkin dia kekeh menjodohkan mu," ungkap mama.

"Pak Rojali itu sahabat lama papa, Ma. Masa mama nggak tau?" tanyaku aneh.

"Mama nggak tau, Danu. Papamu nggak pernah cerita kalau bersahabat dengan pak Rojali." Mama menatapku penuh tanya.

Oh, rupanya papa merahasiakan semua ini. Pantas saja mama tadi terlihat bingung dan terkesan sombong saat melamar Zahra.

"Aku dan papa bertemu Zahra kurang lebih satu bulan yang lalu, Ma. Kita bertemu di sebuah restoran di pasar dekat tempat tinggal Zahra, Ma."

"Kalian janjian?" tanya mama lagi.

"Iya, Ma. Awalnya Danu menolak sih, Ma. Tapi papa maksa," ungkap ku kini kami berhadapan.

"Eh, setelah ketemu Zahra aku kepincut, Ma. Zahra itu beda banget dengan wanita yang lain. Apa lagi sama Hany kaya bumi sama langit, Ma," ungkapku mengenang pertemuan sebulan yang lalu.

"Iya, Danu. Zahra memang berbeda dengan Hany. Bahkan tadi saat mama tawarkan mahar lain dia kekeh menolak," balas mama ada senyum di wajahnya kini.

"Zahra juga bijaksana, lho, Ma." Aku manggenggam tangan mama.

"Bijaksana?"

"Iya, Ma. Tadi sebelum shalat Maghrib aku telpon Zahra nanyain tentang kalimatnya 'Tanpa bantuan orang lain' itu," ucapku sambil melepas genggaman tanganku.

"Terus?" Mama sepertinya penasaran.

"Kata Zahra, hidup tanpa bantuan orang lain itu mustahil. Jadi Danu boleh mendapat bantuan tapi sekedarnya, nggak boleh bergantung. Kata Zahra bantuan itu hanya meringankan saja." Kini ku berbaring meletakkan kepalaku di paha mama.

"Serius Zahra bilang begitu?" Mama mengusap lembut rambutku yang masih basah.

"Iya, Ma." Aku terpejam menikmati usapan lembut mama.

"Terus apa rencana mu selanjutnya?" Mama menghentikan usapannya.

"Besok rencananya aku mau mulai cari lahan untuk menanam padi, Ma. Akan ku ajak Roby sama Aryo buat nemenin aku."

"Sekarang aku mau istirahat dulu buat besok. Waktu ku semakin sedikit, Ma."

"Mau cari lahan kemana?" Mama mencubit hidungku.

"Aaaaw, sakit, Ma." Aku meringis mama nyubitnya niat banget.

"Kamu itu bikin Mama gemas," ucap mama mengusap hidungku.

"Tapi jangan dicubit gini dong, Ma. Nanti kalo hidungku berubah, Zahra bisa pangling." Ku usap hidungku. Sakit juga cubitan mama.

"Kalau dia mencintaimu, dia pasti bisa menerima kamu apa adanya." Kini gantian telingaku ditarik sedikit.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status