Share

Obat rindu

POV ZAHRA

Aku termenung dikamar ini menatap keluar jendela. Sesekali kulihat bingkisan mewah dari keluarga Mas Danu.

Orangtua laki-laki itu kini benar-benar resmi melamar ku untuk putranya.

Sebenarnya ada rasa kecewa dalam diriku pada Bapak. Kenapa harus berhutang pada keluarga Mas Danu? Hingga membuatku harus menanggung semua ini. Sedang aku belum lama berada dirumah ini, baru saja 4 bulan dirumah ini. Aku masih rindu Emak. Malah sekarang aku sudah resmi dilamar Keluarga sahabat Bapak.

Apalagi Mas Danu itu sama sekali bukan tipeku. Meskipun dia bergelimang harta dan tampan rupawan, dua kriteria laki-laki yang biasa diincar kaum wanita masa kini.

Tapi, aku Mutiara Azahra, tak sedikitpun terpikat oleh kekayaan yang dimiliki keluarga Mas Danu. Bukannya semua itu cuma titipan? Dan bisa lenyap kapan saja Jika Allah menghendaki.

Tak munafik juga, ku akui hidup ini butuh uang, harta, tahta, dan yang lainya. Tapi apakah cukup itu saja? Buat apa kekayaan di dunia ini bila hanya di sombongkan tanpa digunakan untuk membantu orang lain.

Aku bangkit dari kursi kayu usang yang ada di kamarku. Ku coba untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi.

Uang 50 juta bagi keluarga Danu pasti sedikit. Berbeda dengan kami, uang segitu sungguh sangat berarti. 'Kenapa nggak diiklaskan saja sih'.

Cincin bermata biru di kotak ini buktinya kalau Keluarga Mas Danu ini bukan orang sembarangan. Ku genggam erat kotak cicin ini.

Tapi mengapa mereka tak mengikhlaskan saja uang yang mereka pinjamkan ke pada Bapak, dan malah menjadikan hal ini alasan perjodohan. Apa sebenarnya tujuan mereka? Mengapa Papanya Mas Danu bersikeras menjodohkan putranya dengan ku? Padahal diluar sana banyak wanita yang lebih layak bersanding dengan putranya itu, apakah mereka tak malu memiliki menantu miskin, berbesan dengan keluarga miskin?

Berbagai pertanyaan ini membuatku bingung.

Sengaja ku minta mahar sederhana kepada Mas Danu. Tak seperti yang mamanya Mas Danu tawarkan tadi. Memang mahar yang disebut oleh wanita glamor itu lebih berharga, bahkan jika ku terima bisa membuatku jadi orang kaya baru.

Ah, bukanya harta itu hisabnya repot di akhirat kelak? Seperti kata Abah, "Orang miskin yang beriman akan lebih mudah hisabnya kelak di akhirat."

Ku akui Mas Danu memang laki-laki nekat. Ku kira syarat maharku bisa membuatnya mundur dan menolak perjodohan ini. Ternyata, ia malah maju.

Apa yang membuatnya berani menyanggupi syarat maharku? Ini sungguh membuatku bingung.

Untuk laki-laki seperti Mas Danu, urusan uang pasti sangatlah mudah, tinggal sebut kepada Papa atau Mama nya pasti dikasih.

Tapi sepertinya untuk urusan bekerja mandiri, apa kabar? Aku jadi penasaran dengan usahanya nanti. Berhasilkah dia?

"Bidadari ku" apa Mas Danu menganggap aku seperti bidadari? Apa dia jatuh cinta padaku? Hingga membuat dia nekat.

Biarlah Allah yang menjawab semua ini.

"Ya Allah kuatkan hamba Mu ini," desahku. Menatap langit-langit kamar ini.

Lalu ku raih gawai jadulku yang ada diatas meja. Gawai sekend yang ku beli dari hasilku menabung. Rupanya batre--nya minta di cas.

Astaghfirullah, aku lupa. Untung saja masih bisa menyala.

++++++++

Tok! Tok! Tok!

Siapa yang mengetuk pintu?

"Nak, boleh emak masuk?"

Oh rupanya Emak, "Silakan, Mak. Masuk saja," jawabku sambil menghempaskan badan di ranjang reot. Ranjang yang berderit bila aku bergerak saat tidur.

Ku sunggingan senyum untuk wanita yang melahirkan ku kedunia ini 20 tahun lalu, wajahnya kini nampak tua. Beban hidupnya pasti banyak.

"Duduk, Mak," ucapku padanya.

Emak duduk di sampingku di ranjang reot ini membelai lembut bahuku jilbab cokelat menghias wajah Emak. "Kamu bahagia, Nak?" tanya Emak menatapku lekat.

"Ya, aku bahagia, Mak," jawabku menggenggam tangan keriput Emak. Aku harus mengalah untuk semua ini. Demi Emak dan Bapak.

"Maafkan kami, Nak," lirih Emak wanita dihadapan ku ini menunduk.

"Maaf untuk apa, Mak?" tanyaku heran.

"Kamu yang harus menanggung semua ini," ucap Emak. "Boleh Emak bertanya," ucapnya menatap lekat padaku. Seperti ada sesuatu yang ingin diketahui Emak.

"Iya, Mak. Jika aku bisa pasti ku jawab, tapi kalau pertanyaan Emak sulit aku harus cari dulu jawabannya," balasku padanya dengan suara yang paling lembut.

"Mengapa kau beri Nak Danu syarat mahar yang njlimet?" ucapnya penuh sesal.

Aku terkejut mendengar pertanyaan Emak. Aku berusaha tersenyum dan memberikan pemahaman secara halus pada Emak.

"Njlimet bagaimana, Mak? Biasa saja 'kan. Maharku sederhana, Mak. Ya memang si syarat untuk membuat nasi goreng seeafood itu njlimet," jawabku tersenyum manis.

"Kenapa tak seperti tawaran Mamanya nak Danu saja," tanya Emak heran.

Ku tarik napas dalam-dalam, berusaha tenang menjawab pertanyaan Emak. Tidak mungkin jika ku bilang aku sebenarnya menolak perjodohan ini, dan itu caraku untuk mengetes calon suamiku itu. Secara dia anak mami apa-apa berlindung dibawah kekayaan papanya. Jarak waktu 120 hari nanti apa yang terjadi aku pun tak tahu.

"Kalau meminta seperti yang ditawarkan oleh Mama nya Mas Danu, itu terlalu mudah, Mak. Mereka orang kaya, apapun bisa dibeli. Tapi bukan itu yang aku mau," ungkapku menggenggam erat tangan Emak.

"Terus, apa maksudnya?" tanya Emak.

"Mak, Mas Danu itu calon suamiku, aku ingin dia belajar bagaimana proses mencapai sesuatu dengan kerja keras. Aku ingin Mas Danu bisa memenuhi kebutuhan hidup kita nanti setelah menikah dengan hasil kerja halal nya, bukan hasil Papanya. Yang kaya 'kan orangtuanya mas Danu, Mak," jelasku lembut pada Emak menyunggingkan senyum manis menghiasi wajah ini menyembunyikan sesuatu yang hanya aku dan Allah saja yang tau.

"Sebelum menikah mas Danu harus bisa mandiri 'kan, Mak. Tidak mengandalkan kekayaan orangtuanya," lanjutku masih menggenggam tangan wanita yang telah melahirkan diri ini.

"Nak, papanya Nak Danu itu orang baik. Beliau sudah banyak membantu keluarga kita. Kalau tak di bantu papanya Nak Danu, mungkin Emak sudah di perut bumi," ungkap Emak berkaca-kaca.

Aku sangat terkejut mendengar penuturan Emak. Ku pilih diam agar emak mau bercerita lebih kepadaku.

"Sahabat bapakmu itu, sangat dermawan, Nak. Emak ingat apa yang dilakukan nya dulu," ucap emak mengenang masa lalunya.

Ku tatap lekat wanita yang melahirkan ku ini. Memang selama 10 tahun kami hidup terpisah, tapi itukan demi kebaikanku juga. Mungkin jika aku hidup dengan mereka aku tak seperti sekarang. Selama 10 tahun yang ku tau Emak baik-baik saja meskipun Emak tak pernah mengunjungi ku di pondok.

"Mak, boleh aku tahu kisahnya?" tanyaku pada Emak berharap emak mau membagi kisahnya.

"Tentu, Nak. Tentu kau perlu tahu. Karena hal itu penyebab kau dijodohkan dengan seorang putra Herlambang," ucap Emak tersenyum getir.

Lama Emak terdiam berusaha mengingat masalalu nya.

Ku biarkan Emak. Ku sabar menunggu emak berkisah tentang kebaikan keluarga Herlambang yang beliau sebutkan tadi.

Semenit, dua menit, tiga menit ... Lima menit.

Tak jua keluar sepatah kata dari Emak. Wanita ini lebih memilih memelukku erat dengan tangisan yang tumpah membasahi hijab yang menutup kepalaku.

Aku membalas pelukan Emak dengan eratnya. Pelukan seorang ibu yang selalu kurindukan saat aku masih di pondok dulu. Hangat, hangat sekali menembus relung hatiku yang merindukan Emak membasuh jejak-jejak kerinduan yang lama ku pendam.

10 tahun aku di pondok hanya bapak yang sering menjenguk ku Emak tak pernah ikut. Emak hanya titip salam dan makanan kesukaan ku saja. Entah mengapa wanita ini tak pernah mau ikut menjenguku dipondok. Taukah Emak aku tersiksa menahan rinduku pada Emak. Hanya selembar foto yang sering kupandangi atau sekedar berbicara lewat sambungan telepon saja. Ingin rasanya ku bertanya mengapa dulu emak tak mau menjenguk ku.

Hingga hari itu bapak menjemputku pulang kerumah ini dan kini ku bebas memeluk Emak ku tercinta. Ku hanya ingin Emak bahagia walau harus berkorban nyawa aku rela semua itu tak sebanding dengan Emak yang mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh, merawat, hingga akhirnya aku dititipkan di pondok.

Ku larut dengan tangisan antara bahagia dan sedih. Bahagianya aku kini sudah berkumpul dengan Emak dan bapak tercinta, sedihnya aku harus menerima perjodohan ini. Perlahan emak melonggarkan pelukannya.

"Maafkan emak, Nak. Emak belum bisa bercerita kepadamu. Tanyakan saja pada Bapak," ucap emak menghapus air mata di sudut matanya yang tua itu.

"Tak apalah Mak. Tak usah dipikirkan. Aku siap menunggu kapan emak bercerita," ucapku pada wanita ini jemari tanganku membelai wajah emak terasa hangat air mata yang luruh dari sudut mata Emak.

Aku lalu memposisikan diri ini berjongkok dihadapan Emak ku genggam tangannya yang dulu pernah menimangku, mendekap ku, membelaiku, merawatku, meski hanya 10 tahun. Ku letakkan kepalaku diatas paha Emak. Emak membelai lembut kepalaku nikmat, nikmat sekali. Teruskan Mak. Teruskan. Ini bisa mengobati kerinduanku kepada mu Mak. Tak tahan aku menangis menumpahkan kebahagiaanku mendapatkan obat kerinduanku ini.

Aku masih merindukanmu Mak, kenapa aku harus secepatnya menikah. Aku takut berpisah dengan mu Mak.

Setelah menikah apakah aku bisa hidup bersamamu? Merasakan belaian mu?

Jika boleh jujur aku belum ingin menikah. Masih ingin berlama-lama denganmu. Membantu sekedar menyiapkan makanan untuk Emak dan Bapak hal yang dulu tak pernah ku lakukan.

"Mengapa menangis Nak?" tanya Emak.

"Aku bahagia Mak. Tapi-" ucapan ku menggantung.

"Tapi apa? Katakanlah jangan ragu," ucap Emak.

"Aku takut Mak," ucapku memeluk erat lutut Emak. Kaki yang dulu tanpa lelah berjalan menggendongku kesana kemari.

"Apa yang kamu takutkan?" tanya Emak lirih tangannya terus mengusap kepalaku.

"Aku takut berpisah lagi dengan Emak. Aku rindu Mak. Aku rindu. Aku takut kita berpisah lagi bila aku menikah," ucapku tak sengaja mengungkap bahwa aku sebenarnya belum siap menikah.

"Jadi kamu belum siap menikah?" ucap Emak menyimpulkan.

"Bukan itu Mak, jika jodohku tiba aku siap menikah. Tapi berpisah lagi dengan Emak aku tak sanggup Mak," ucapku disela isak tangisku. "Sepuluh tahun aku menahan rindu pada Emak kini perlahan terobati rasa rindu itu setelah aku pulang Mak," imbuhku berusaha mengungkap sebagian isi hati ini.

"Maafkan Emak Zahra. Maafkan Emak. Emak yang salah tak ikut menjengukmu di pondok pesantren. Emak yang salah," sesal Emak mencoba membangkitkan ku.

"Emak hanya ingin kamu belajar tanpa harus memikirkan Emak," ucap Emak kini memelukku erat sekali.

"Emak sudah ku maafkan sebelum emak memintanya," lirihku ditengah isak tangis membalas pelukan Emak.

Terimakasih Mak atas obat rindu ini.

Adzan Maghrib sayup sayup terdengar, di susul dengan dering gawai jadulku.

Siapa yang menelepon?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status