Seorang remaja dengan rambut pendek pirang keemasan dan berperawakan kecil melangkah malas meninggalkan sekolahnya. Hoodie-nya basah kuyup. "Sial!" umpatnya. Bagaimana dia bisa lupa bahwa hari ini ia berulang tahun—yang ke-17 tepatnya? Tentu saja ia lupa, karena tidak pernah merayakannya. Dan sudah menjadi tradisi dalam 'gerombolannya', siapa pun yang berulang tahun akan mendapatkan kejutan paling manis dari teman-temannya. Kalau saja dia tidak lupa bahwa hari ini adalah 'judgement day', ia akan memilih membolos sekolah saja.
Gara-gara perbuatan teman-temannya, Nicky jadi kemalaman. Tak nampak riuhnya para siswa saat menjelang malam hari, hanya sebagian siswa saja yang masih bertahan di sekolah melakukan kegiatan klub. Biasanya anak-anak klub basket, baseball, teater atau paduan suara yang masih sedikit meramaikan.
Sudah seminggu Nicky pulang dengan berjalan kaki setelah aksi protesnya yang berbuntut perdebatan sengit antara dirinya, Kenneth dan Aaron tentang siapa yang akan mengantar dan menjemput. Dan inilah hasilnya, ia harus berjalan kaki, karena ia hanya mau dijemput oleh Aaron, sedangkan Aaron menolak.
Saat ia sedang memasangkan headset di telinganya, penglihatannya tanpa sengaja berpapasan dengan seseorang yang berdiri tak jauh di depannya, hanya beberapa langkah darinya sambil menatapnya dengan tatapan seperti elang yang siap menerkam buruannya. Nicky melanjutkan langkahnya, mengabaikan orang itu tanpa mengurangi kewaspadaannya.
Ternyata orang itu mengikutinya. Nicky pun mulai memikirkan hal-hal buruk. Bagaimana kalau orang itu berbuat jahat padanya? Gadis tomboi berwajah imut-imut itu baru saja akan memasuki dunia barunya yang seru, penuh petualangan dan impian. Ia tak ingin mengakhirinya saat baru saja akan memulainya. Dan ia tak ingin menjalaninya dengan dihantui pengalaman pahit.
Lima belas menit berjalan, hari mulai gelap. Saat ini Nicky sedang melewati sebuah gang sempit dengan penerangan minim yang biasa ia jadikan jalan pintas ketika harus berjalan kaki dari sekolah ke rumah selama seminggu terakhir. Ia mulai memikirkan hal yang tidak-tidak. Dan sialnya jalan itu cukup panjang, terasa lebih panjang dari biasanya. Ia berusaha menyangkal rasa takutnya dan ingin berlari saja, tetapi kakinya terasa berat.
Bagaimana kalau orang itu memp ...
Bruk.
Seperti suara seseorang terjatuh. Nicky menoleh ke belakang. "Hei!" pekiknya, "Bangun! Kau kenapa?" Mengambil posisi satu langkah di atas kepala orang asing itu, Nicky menendang-nendang perlahan pundak laki-laki yang sudah hilang kesadaran itu. Ia waspada, takut orang itu hanya berpura-pura, lalu setelah lengah orang itu akan menariknya dan .... Tak ada respon, ia lalu menendang sedikit keras. Nicky perhatikan wajah orang itu. Pucat.
"Sial! Bagaimana ini? Kenapa hari ini aku sial sekali?" rutuknya.
Nicky ingat di ujung gang ada sebuah klinik. Meski hanya sebuah klinik kecil, seharusnya itu cukup. Dengan susah payah dan tetap waspada, Nicky meminggirkan tubuh si pemuda, lalu ia berlari menuju klinik. Tak seberapa lama, kemudian ia kembali bersama dua orang petugas medis dengan membawa brangkar.
_______
Aaron berkali-kali menoleh pada jam yang tergantung pada dinding di samping tempat ia duduk. Wajahnya terlihat cemas.
"Tenangkan dirimu, Aaron! Kecemasanmu tidak akan membuat Nicky pulang lebih cepat." Mata Kenneth masih fokus pada laptopnya di meja kerja. Ia duduk menghadap meja kerja dengan sebelah tangannya menyangga kepala.
Aaron berdiri dan mulai melangkah gusar ke jendela, mencari tanda kemunculan Nicky. "Kau dulu selalu menjemputnya 'kan?!"
"Kau mendengarnya sendiri, dia menolak. Ingin kau yang menjemputnya."
"Kau tahu aku sangat mengantuk dan butuh tidur setelah patroli semalaman."
Kenneth tak menanggapi, ia tetap fokus pada pekerjaannya membaca file-file yang baru saja disalinnya ke laptop.
"Kalau kau yang mengantar, kenapa tidak sekalian saja kau yang menjemput? Kau 'kan seharian di rumah? Kenapa malah kaubiarkan dia pulang sendiri? Dia seharusnya sudah pulang tiga jam yang lalu dan dia tidak memberi kabar. Harusnya kau menjemputnya." Aaron mengomel layaknya wanita.
"Kau sudah lihat bagaimana keras kepalanya dia. Kalaupun aku tetap menjemputnya, dia tetap akan menolak dan melawan." Kenneth mendesah. "Kenapa, tidak kautelepon saja?"
"Tidak diangkat."
”Tenanglah, ini bukan yang pertama kali. Ia pernah beberapa kali kabur dan pulang sendiri, karena aku terlambat menjemputnya.”
Aaron berjalan menjauh dari jendela dan kembali duduk di sofa. Mendesah lelah
"Oh ya, Aaron. Aku lupa memberi tahumu. Tadi dia mengirim pesan, akan pulang terlambat karena ada urusan." Kenneth berbohong, berharap temannya itu akan berhenti mengomel.
Aaron menegakkan badan. "Benarkah?"
"Ya."
"Kenapa kau tidak bilang dari tadi?"
"Maaf, aku lupa," jawab Kenneth sekenanya.
"Tapi tetap saja, ini sudah tiga jam."
"Tenanglah, Aaron! Dia sudah besar. Dia bisa menjaga dirinya sendiri."
"Bukannya kau sendiri selama ini sangat protektif padanya? Apa kau sudah berubah?"
"Eer ...." Kenneth kehabisan kata. Ia tak tahu lagi bagaimana harus menenangkan sahabatnya itu.
_______
Untuk keperluan administrasi Nicky memberikan identitas serta nomor ponselnya pada resepsionis klinik. Setelah identitas dan nomor ponsel terkonfirmasi, Nicky pun meninggalkan si pemuda di klinik.
"Kenapa juga harus aku yang bertanggung jawab? Apa aku juga yang harus membayar biaya perawatannya? Awas saja kalau sampai itu terjadi, aku akan mencarimu. Kau harus membayarnya. Aku akan mencarimu." omel Nicky tanpa jelas siapa yang diajaknya bicara.
_______
Aaron masih mempertahankan wajah cemasnya saat terdengar suara pintu depan rumah dibuka lalu ditutup oleh seseorang, itu pasti Nicky.
"Hei, bocah nakal!" sambut Aaron saat mendapati Nicky yang akan langsung naik ke lantai atas.
"Hai, Aaron. Hai, Kenny," sapa bocah itu pada saudara dan temannya sambil lalu, menaiki tangga menuju lantai dua.
"Hei, bocah ...!"
Nicky menghentikan langkahnya. "Aku bukan bocah, Aaron. Usiaku sudah tujuh belas. Jangan lupa!"
"Tetap saja, kau itu bocah nakal. Kelakuanmu tetap saja seperti bocah. Ini sudah malam, dari mana saja kau?"
"Aku sedang sial," jawab Nicky dengan enggan.
"Dan kenapa bajumu basah?" Aaron memelototi Nicky dengan pakaiannya yang masih basah.
"Sudah kubilang aku sedang sial!" jawabya lagi dengan setengah berteriak lalu melanjutkan langkahnya menapaki tangga ke lantai atas.
"Tidak punya sopan santun. Kenneth, bagaimana kau mendidik anak itu?!"
"Hum ... entahlah ...." Kenneth mengedikkan bahunya.
Kurang lebih sudah seminggu dan untuk seterusnya Aaron tinggal bersama Kenneth dan juga Nicky. Setelah tujuh tahun terpisah jarak, sekarang mereka yang tadinya hanya bisa bertemu sebentar saat salah satu mengunjungi yang lain, kini bisa tinggal bersama dan berdebat sepuasnya setiap hari. Karena sekarang Aaron bertugas di kota yang sama dengan tempat kerja Kenneth. Berita bagus bukan? Akhirnya Nicky bisa tinggal bersama kedua saudaranya.
_______
"Aku berangkat dulu." Pamit Nicky seraya beranjak dari kursi makan, setelah menghabiskan sarapan sederhana berupa sandwich dan segelas susu. Dia merangkul kakak tampan freak-nya, si rambut putih keabu-abuan Kenneth, sambil mengecup pipinya.
Aaron baru saja menelan kubyahan terakhirnya. "Kau tidak ingin memberiku kecupan juga, bocah?”
"Asal kau berhenti memanggilku ‘Bocah’.”
“Baiklah.”
Nicky menaikkan sebelah alisnya, tak yakin.
"Kaucari adik yang lain saja!" sahut Kenneth.
"Aku rasa Kenny benar," setuju Nicky. "Aaron, kutunggu di mobil."
“Aku hanya ingin adik seperti Nicky.”
"Kau tak akan tahan mempunyai adik seperti dia."
“Sudahlah, Aaron! Ayo berangkat, aku tidak mau terlambat.” Nicky menyambar tasnya dari kursi makan, lalu berjalan keluar.
"Hati-hati!" jawab Kenneth.
"Kau memainkan peranmu dengan sangat baik," satire Aaron.
"Kau iri?"
Aaron mendengus. "Astaga, semoga arwah Marc dan Kamila tenang di sana."
"Ayo cepat!" panggil Nicky dari halaman.
"Oke!" sahut Aaron lalu menyusul Nicky.
Ini adalah kali pertama Aaron sarapan bersama dengan Kenneth dan Nicky sejak hari pertama ia tinggal bersama mereka lagi. Pasalnya begitu pindah ke St. Angelo, Aaron selalu mendapat giliran patroli malam dan baru pulang saat Nicky sudah berangkat ke sekolah. Dan yang dilihatnya baru saja sedikit membuatnya iri.
Dan saat ia mendapat perlakuan yang sama, sebelum Nicky keluar dari mobil Kenneth yang mereka gunakan, Aaron sungguh tak tahu harus bagaimana, salah tingkah. Sementara si pelaku sudah kabur.
“Adik yang manis.” gumam Aaron sambil memacu mobil menuju ke kantor polisi tempat ia ditugaskan.
_______
"Nick, kakakmu itu tidak pernah menjemputmu lagi?" seorang gadis berambut panjang pirang pucat berkepang menanyakan pada Nicky perihal kakaknya. Pertanyaannya itu lebih terdengar seperti rengekan.
"Apa urusanmu?" Nicky merespon tanpa mengalihkan fokusnya dari pekerjaannya menyalin PR.
"Ya, setidaknya sepulang sekolah aku bisa mendapatkan pemandangan segar."
"Ingat status, Irina! Sam mau kau kemanakan?" ledek Kevin yang duduk di belakang bangku Nicky dengan sebelah kaki naik ke atas meja bangku lain.
"Beda urusan, Kev." Gadis bernama Irina itu mendesah malas. "Sekarang aku jadi malas ke sekolah."
"Dasar genit!" ledek Nicky.
"Dasar menyebalkan!" Irina menarik pipi Nicky sebagai pelampiasan rasa kesal.
"Aawh ...!" Nicky berteriak. Dan sebagai balasan, Nicky menarik rambut ekor kuda Irina.
"Aawh ...!" pekik Irina.
"Rasakan!" Nicky menyeringai puas.
Inilah yang membuat Nicky menolak untuk dijemput oleh Kenneth. Ia merasa dimanfaatkan. Gadis-gadis di sekolah mendekatinya hanya untuk bisa mendekati Kenneth. Ia jengah dimanfaatkan. Jika sudah berhasil, pasti ia akan dicampakkan, begitulah perkiraan Nicky.
Bel sekolah berdering, tepat ketika Nicky selesai menyalin jawaban soal terakhir. Pelajaran segera di mulai. Tampak para siswa memasuki ruang kelas dan duduk di bangku masing-masing.
Nicky segera mengembalikan buku yang disalinnya pada seorang teman laki-lakinya yang berambut panjang yang diikat rendah.
_______
Sudah dua minggu, setiap hari Nicky berangkat sekolah dengan diantar oleh Aaron, menggantikan Kenneth, tetapi ia harus pulang dengan berjalan kaki, karena jam kerja saudara jadi-jadiannya belum berakhir. Ia tak mendapat jadwal patroli malam sampai seminggu ke depan, melainkan bekerja dari pagi hingga menjelang malam. Kenapa bukan Kenneth yang menjemput? Karena mobilnya masih dibawa Aaron. Dan penolakan Nicky bersifat absolut.
Nicky jadi sedikit menyesali keputusannya untuk tak mau lagi diantar-jemput oleh Kenneth. Sekarang ia jadi susah sendiri.
Langkah Nicky terhenti saat baru mengambil beberapa langkah meninggalkan halaman sekolah. Ia berpapasan dengan seseorang. Seorang pemuda dengan rambut rambut hitam berdiri di depannya.
_______
Jangan lupa vote, rate & komen
"Kau? Yang waktu itu?" tanya Nicky ragu dan terselip rasa curiga. Diperhatikannya penampilan pemuda di hadapannya. Rambut hitam legam berkilau memantulkan cahaya matahari sore, menciptakan gradasi hitam-oranye. Rambut pemuda itu terikat di atas tengkuk, tetapi cukup banyak yang tak terikat, karena tak cukup panjang, dan dibiarkan tergerai menutupi sebagian wajahnya. Pemuda rambut hitam yang ditolong Nicky dua minggu yang lalu itu menatap dengan intens. "Benar. Aku hanya ingin berterima kasih, karena kau menolongku." Seharusnya tidak ada urusan di antara keduanya. Orang dari klinik tidak pernah menghubungi Nicky untuk urusan administrasi maupun yang lainnya. Jadi mau apa dia? "Aku?" "Ya, perawat di klinik itu mengatakan kau yang membawaku ke sana." "Baiklah. Terima kasihmu diterima. Aku harus pulang." jawab Nicky cuek sambil mulai melangkah. "Apa kau pulang sendiri? Jalan kaki?" si pemuda rambut hitam melangkah cepat menge
Matahari musim panas mulai bergeser dari titik tertinggi di hari itu, di pergantian musim, tanpa mengurangi panasnya. Perhatian Shoujin terus tertuju pada satu objek di air. Tanpa ia sadari, ia sendiri sedang menjadi objek perhatian beberapa pasang mata. Matanya terus mengikuti pergerakan objek yang meliuk-liuk lincah dan indah di atas ombak. Sesekali objek itu menghilang tergulung ombak, lalu muncul kembali ke permukaan air dan tangannya mengayuh di atas surfboard. Bergantian dengan temannya bermain di atas ombak. Sekarang ia tahu bagaimana Nicky mendapatkan kulit cokelatnya. Di bagian atas, lengan pakaian renang overall-nya tak sampai siku, sedangkan di bawah hanya setengah paha, membiarkan sengatan sinar matahari mengenai kulitnya. Sunblock pun tak sepenuhnya membantu menghalangi teriknya sengatan matahari di Palmline Beach. Sudah berapa lama Nicky menekuni surfing? Sepertinya Shoujin akan menanyakannya kapan-kapan. Sesekali Nic
Nicky pulang ke rumah dengan menumpang taksi, sementara Shoujin dengan sepeda motornya mengikuti di belakang. Hari sudah malam. Setelah membayar ongkos taksi, Nicky keluar dan berjalan dengan langkah berat menuju pintu rumahnya. Tak mempedulikan Shoujin yang mengkhawatirkannya. "Nicky!" panggil Shoujin seraya berlari. "Huhh ...?" "Aku yang membawamu keluar dari rumah ini, itu artinya aku juga harus mengantarmu pulang." "Kau sudah wengantarku, aku sudah sawai di ruwah. Wulanglah!" jawab Nicky sambil terus berjalan tanpa menoleh pada Shoujin. . . Sementara itu dari jendela kamarnya di lantai dua, Kenneth mengawasi tingkah laku adiknya dan temannya. "Kenneth ..." Aaron memasuki kamar Kenneth tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Sudah kebiasaan. "Sstt ...." Kenneth menoleh sekilas pada Aaron sembari memberikan isyarat untuk tak bersuara. Aaron bergabung dengan Kenneth. Mendadak mereka menjadi stalker. Keduanya mengamati tingkah laku Nicky dan Shoujin. Sesekali terlihat Shoujin
Sore itu, tak seperti biasanya, sepulang sekolah Nicky mendatangi Shoujin di Rhein’s, sesuai permintaan Shoujin. Di counter, di sebuah kursi yang bersebelahan dengan sebuah meja, Nicky menunggu temannya, yang menurutnya sudah seperti kakak baginya. Dengan seenaknya ia mengklaim orang sebagai kakaknya. "Tunggulah sebentar! Ada pesanan yang harus kuselesaikan dulu." "Oke, tidak masalah." Selang sepuluh menit setelah Shoujin kembali ke dapur, seorang karyawan Shoujin datang membawa nampan dengan segelas es teh lengkap dengan sedotan. Mengalihkan perhatian Nicky yang sedang tertunduk fokus pada permainan di ponselnya. "Silahkan tehnya, Nick." "Terima kasih, Karina," jawab Nicky dengan senyum tipis. Ia tak ingin memperlebar luka di bibirnya. Lalu kembali fokus pada ponselnya. "Nick, boleh aku duduk di situ?" tunjuk wanita berambut merah menyala dan berkacamata pada sebuah kursi kosong di sisi lain meja. Nicky mendongak sebentar, melihat wanita cantik yang memanggil namanya, menoleh p
Hampir satu jam Kenneth berdiam di dalam mobilnya yang terparkir beberapa meter dari sebuah club bermain pool di Palmline Beach, hingga terlihat olehnya seseorang keluar dari club itu. Kenneth mengawasi layar pada dasbor mobil yang menampakkan pergerakan laki-laki tadi. Si abu-abu memperbesar tampilan objek. Sekarang ia yakin bahwa laki-laki yang wajahnya tampak samar masih berhias lebam-lebam itu adalah targetnya. Target Kenneth terlihat menghampiri SUV berwarana mencolok, oranye. Kenneth bergegas mengambil pistol dari dalam dasbor mobil, keluar dari mobilnya, dan berjalan dengan cepat menuju targetnya sambil menyelipkan pistol ke pinggang belakang celana. Ia menarik pundak laki-laki itu dari belakang, membalik badannya, dan langsung menghadiahkan sebuah tinju telak ke wajah si target. Target Kenneth tersungkur. Sebelum si target bangun dan memberikan perlawanan, Kenneth sudah mengunci pergerakan laki-laki itu. Sebelah lutu
"Apa saja kegiatanmu hari ini?" tanya Kenny sambil bercermin, memastikan kemeja abu-abu gelapnya rapi dan rambutnya tak berantakan. "Aku hanya akan mengikuti kelas matematika dan Bahasa Spanyol hari ini. Setelah itu aku akan latihan di Palmline." jelas Nicky tanpa mengalihkan penglihatannya dari layar ponsel. "Kau serius mengikuti kompetisi itu?" "Tentu saja. Aku sudah jatuh cinta dengan olahraga ini. Kalau kau sendiri?" "Eer ... menyerahkan desain saja." "Kau akan bertemu klien atau semacamnya? Atau kembali pada kebiasaan lamamu, mengoleksi teman wanita?" satire Nicky pada saudara freak-nya yang akhir-akhir ini lebih sering mengurung diri di rumah. "Kau tidak harus percaya pada ucapanku. Fokus saja pada sekolah dan kompetisi!" Kenneth menghentikan kegiatannya di depan cermin di ruang keluarga. Ia menoleh pada adiknya, kalau tak sayang sudah lama bocah tomboi itu berakhir menjadi santapan singa yang biasa tampil menjadi lawan
"Tenanglah, Nicky! Aku di sini, dia tidak akan bisa menyakitimu." Beberapa menit Kenneth mendekap tubuh Nicky hingga adiknya itu lebih tenang. Kenneth merenggangkan dekapannya. "Tidak! Jangan tinggalkan aku!" refleks Nicky memeluk tubuh Kenneth dengan lebih erat, takut ditinggalkan. "Tidak, Nicky. Aku tidak akan meninggalkanmu," bisik Kenneth. "Bajumu basah, harus diganti." Perlahan dan hati-hati Kenneth menyingkirkan kedua tangan Nicky dari punggungnya. Tak ingin membuat gerakan tiba-tiba yang bisa membuat Nicky panik lagi. Ia kemudian beranjak untuk mengambilkan Nicky pakaian ganti, tetapi tangan Nicky menahan pergelangan tangannya. “Aku hanya akan mengambilkanmu pakaian di lemari, kau harus mengganti pakaianmu yang basah itu.” Setelah Nicky melepas pergelangan tangannya, Kenneth mengambil sehelai kaos dari salah satu tumpukan pakaian di dalam lemari pakaian Nicky. “Gantilah pakaianmu!” Kenneth menyodorkan kaos itu pada Nicky.
Kemudian wajah-wajah penuh harap itu kecewa ketika sesosok manusia tomboi, tomboi serupa kucing, kucing manis tukang onar, muncul dari dalam mobil itu. . . Siang yang panas, di dekat sebuah bangku panjang di bawah pohon rindang di halaman belakang sekolah, tak jauh dari lapangan baseball. Nicky, Kevin dan Charlie sedang duduk menikmati awal musim panas di sana. Duduk di atas rumput. Bersama mereka, Shawn sedang berbaring pada bangku panjang di belakang punggung ketiga temannya. "Heh, Nick, sejak kapan kau bisa menyetir mobil?" selidik Kevin. "Sejak kelas sembilan. Kenapa?" "Dengan badan pendekmu ini? Memangnya kakimu bisa menginjak gas?" Tak bisa disangkal, bahwa tubuh Nicky memang tergolong pendek untuk ukuran gadis Kaukasoid berusia tujuh belas tahun. "Kau meremehkanku. Itu semudah menginjak wajahmu, Kev." "Kau kenapa, Kev? Iri?" Shawn menimpali dengan matanya masih terpejam. “Lebih baik kau l