Share

03. Nicky & Cousin

"Kau? Yang waktu itu?" tanya Nicky ragu dan terselip rasa curiga.

Diperhatikannya penampilan pemuda di hadapannya. Rambut hitam legam berkilau memantulkan cahaya matahari sore, menciptakan gradasi hitam-oranye. Rambut pemuda itu terikat di atas tengkuk, tetapi cukup banyak yang tak terikat, karena tak cukup panjang,  dan dibiarkan tergerai menutupi sebagian wajahnya.

Pemuda rambut hitam yang ditolong Nicky dua minggu yang lalu itu menatap dengan intens. "Benar. Aku hanya ingin berterima kasih, karena kau menolongku."

Seharusnya tidak ada urusan di antara keduanya. Orang dari klinik tidak pernah menghubungi Nicky untuk urusan administrasi maupun yang lainnya. Jadi mau apa dia?

"Aku?"

"Ya, perawat di klinik itu mengatakan kau yang membawaku ke sana."

"Baiklah. Terima kasihmu diterima. Aku harus pulang." jawab Nicky cuek sambil mulai melangkah.

"Apa kau pulang sendiri? Jalan kaki?" si pemuda rambut hitam melangkah cepat mengejar Nicky. "Aku bisa memberimu tumpangan, kalau kau mau."

Nicky menghentikan langkahnya lalu berbalik. "Tidak, terima kasih, aku tidak mau merepotkan."

"Sama sekali tidak, karena kita searah."

"Kau tahu rumahku? Kau memata-mataiku, ya?"

"Tidak, bukan begitu. Kita beberapa kali berpapasan saat kau keluar dari halaman rumahmu, tapi sepertinya kau tidak menyadarinya. Dan apa kau sudah lupa? Waktu itu kita melewati jalan yang sama. Aku lewat jalan itu bukan karena mengikutimu, tapi memang rumahku di sana."

"Aku pikir kau menguntit." gumam Nicky. "Lalu bagaimana kau tahu aku sekolah di sini?"

"Kau sering membeli baguette¹ di toko yang di sana itu, 'kan?" tanya si rambut hitam sambil menunjuk ke arah di mana terdapat sebuah toko roti yang berjarak beberapa puluh meter dari sekolah Nicky. "Rhein’s Pastry & Bread, itu tokoku. Jadi kupikir mungkin kau bersekolah di sini. Dan ternyata tebakanku benar. Kebetulan yang bagus 'kan?"

"Kau memperhatikanku?" Nicky masih terus menyelidik.

Si rambut hitam terkekeh. "Kau percaya diri sekali. Lihat dirimu. Dengan penampilan seperti itu ..., kau terlalu mencolok untuk diabaikan."

Nicky mengusak rambutnya canggung. Memang apanya yang salah? Rambut pirang keemaasan yang menyilaukan yang potongannya seperti laki-laki, iris mata biru secerah langit dan kulit kecoklatan—normal-normal saja. Atau karena tingkat kebisingan yang biasa dibuatnya, yang entah mencapai berapa desibel? Apa hanya karena itu ia jadi mudah ditandai?

"Oh ya, namaku Shoujin. Jadi bagaimana ...?"

Nicky memotong kalimat Shoujin, "Lalu bagaimana dengan tokomu? Belum waktunya tutup 'kan, kautinggalkan begitu saja?"

"Aku punya karyawan."

"Lalu kenapa waktu itu kau jalan kaki kalau kau punya kendaraan sendiri?"

"Kau sepertinya curiga padaku. Apa aku terlihat seperti orang jahat?"

"Apa kau tidak pernah bercermin?" Nicky melotot tajam. "Caramu melihatku kemarin itu seperti kau mau membunuhku."

"Astaga." Pemuda bernama Shoujin itu menyibak rambutnya yang menutupi sebagian wajahnya. "Kata-katamu pedas sekali, padahal kita baru kenal." 

"Kenal? Memangnya kau tahu namaku?"

"Nicole, 'kan, namamu?"

"Ya ampun, jadi benar kau itu penguntit?" nada suara Nicky meninggi.

"Kau ini ..."

"Coba jelaskan!"

"Baiklah, akan kujelaskan. Beberapa hari sebelumnya aku mendapat kecelakaan kecil, akhirnya sepeda motorku harus masuk bengkel. Dan soal caraku melihatmu ... itu bukan pilihanku, aku terlahir seperti ini. Dan jujur saja aku sedikit heran dengan penampilanmu, kau terlihat seperti anak laki-laki middle school."

"Dan asal kau tahu, aku juga tidak pernah memilih terlahir seperti ini."

"Lalu tentang namamu, orang di klinik yang memberi tahuku." Shoujin menjeda. "Jadi ...?"

Nicky masih belum selesai membuat penilaian tentang pemuda di hadapannya.

"Kumohon. Ijinkan aku berterima kasih padamu."

"Sungguh?"

Shoujin mengangguk.

Nicky mengalihkan pandangannya pada sebuah sepeda motor berwarna hitam yang terparkir di tepi jalan di belakang Shoujin.

"Jadi itu sepeda motormu?"

"Ya, kau mengenalinya?"

"Kau bilang sepeda motormu di bengkel?"

"Aku baru mengambilnya tadi siang."

Nicky telah selesai membuat penilaian, sepertinya laki-laki bernama Shoujin itu tidak berbahaya. "Baiklah, karena kau memohon ..., ayo kita pulang."

Kedua orang yang baru saling berkenalan itu tak menyadari bahwa sedari tadi beberapa pasang mata memperhatikan mereka dengan rasa penasaran. Perhatian itu lebih tepatnya ditujukan pada Shoujin.

Orang asing dengan ciri fisik Asia Timur yang terlihat menawan, manly. Dan sorot matanya yang tegas. Siapa dia?

Shoujin menyodorkan sebuah helm berwarna dominan hitam dengan grafis berupa nyala api berwarna oranye pada Nicky. Kemudian ia sendiri memakai helm berwarna hitam dengan sedikit grafis berupa kilatan cahaya berwarna biru. Sepertinya Shoujin sudah mempersiakan diri untuk membonceng Nicky.

.

.

Lima belas menit berkendara dengan sepeda motor yang dipacu pelan dan tenang, mereka telah sampai di depan rumah Nicky.

Nicky turun dari sepeda motor.

Shoujin membuka visor helmnya. "Sesekali mainlah ke rumah," kata Shoujin dengan wajah tetap tersembunyi di balik helm. Suaranya berkerumuk. "Kita bisa main game bersama. Aku tinggal di ujung sebelah barat, satu blok ke utara dari sini."

Nicky melepas helmnya, lalu mengacak rambutnya yang gatal berkeringat. "Oh, jadi di situ rumahmu?"

"Benar. Aku pergi dulu."

"Ini ...." Nicky menyodorkan helm yang tadi dipakainya.

"Buatmu saja. Itu cocok denganmu."

"Benarkah? Kau serius?"

"Hum."

"Baiklah, terima kasih, Shoujin," jawab Nicky sambil menarik kembali tangannya, disertai cengiran dengan hak paten Nicky.

“Oh ya, apa boleh besok aku mengantarmu?”

“Asal kau tidak terlambat.”

“Oke.” Shoujin mengangguk lalu menarik gasnya.

Penglihatan Nicky mengikuti arah Shoujin menghilang di ujung jalan.

_______

Di sebuah ruang kelas yang sedang sepi, Nicky membiarkan kepalanya tergeletak di atas kedua tangannya yang terlipat di atas meja bangku yang ia duduki. Tak mempedulikan rengekan temannya dengan rambut sewarna permen kapas.

"Ayolah Nick, kenalkan aku dengan sepupumu itu." Sharon terus merayu.

"Kau kenalan saja sendiri." Nicky menanggapi teman pink-nya itu dengan malas.

"Kau ini ..., mana bisa? Aku tidak tahu dia itu siapa."

"Kau tidak tahu, Sharon?" Nicky melirik malas pada Sharon.

"Dasar bodoh!" Sharon membanting pena yang sedari tadi digenggamnya, pada meja. Dan hal itu berhasil menarik atensi si pirang. "Karena itulah aku minta tolong padamu."

"Kau bisa .... Ah tidak! Aku tidak mau mengenalkannya denganmu."

"Kenapa?"

"Kau suka dengan dia kan?"

"Tentu saja, dia itu sangat tampan. Ayolah Nick, aku akan membelikanmu croissant, muffin, atau apa saja dari Rhein’s setiap hari."

Apa saja dari Rhein’s? Yang benar saja? Nicky bisa makan sepuasnya varian apa pun di toko itu yang diinginkannya tanpa perlu repot mencomblangkan Sharon dengan sepupu palsunya—Shoujin. Cukup minta saja pada pemiliknya. Menggelikan.

Sejak berkenalan kira-kira sebulan yang lalu, Shoujin selalu baik pada Nicky. Ia membiarkan Nicky mengambil pastry atau bakery yang mana saja yang diinginkan. Berapa pun banyaknya. Namun, Nicky bukanlah orang yang rakus. Kecuali perutnya sedang tak tahu diri dan tak bisa diajak kompromi. Perut kecilnya sangat elastis, bisa melar hingga dua kali lipat.

"Menyebalkan. Aku tidak suka croissant."

"Tadi 'kan kubilang bukan cuma croissant. Muffin, macaroon, orange mousse ..., apa saja." Sharon semakin gencar merayu Nicky.

"Tidak. Pokoknya tidak."

"Kenapa? Aah, aku tahu. Bigg’s Taco?"

Wow ... Bigg’s Taco? Makanan yang menduduki posisi teratas dalam tangga makanan favorit Nicky? Namun Nicky tetap menolak, "Apa kurang jelas? Kubilang 'tidak' ya tidak."

"Tapi kenapa, Nick?"

"Di mana keangkuhan yang selama ini jadi image-mu, Sharon. Tch ... menyedihkan.” Nicky pergi meninggalkan bangkunya dengan kesal.

"Baiklah, kalau kau tidak mau, aku akan mencari tahu sendiri." Gadis yang identik dengan warna pink itu cemberut.

"Terserah." Nicky tak peduli, ia menghilang begitu saja.

"Mulai sekarang kau bukan temanku!" Si pinky semakin kesal.

_______

Suara bel pintu berbunyi.

Sabtu pagi yang cerah. Shoujin sudah menunggu di depan pintu rumah Nicky sambil belajar tersenyum, persiapan ketika nanti bertemu Nicky. Namun, tak lama kemudian senyum itu langsung luntur ketika Aaron muncul dari balik pintu.

Kau tahu seberapa beratnya tersenyum bagi Shoujin? Itu seperti kau sedang mendapat hukuman membersihkan toilet.

"Kau Shoujin, 'kan?" tanya Aaron setelah membukakan Shoujin pintu. Ia mengenali Shoujin dari tunggangan dan jaket hitam yang selalu dikenakannya ketika mengantar-jemput Nicky. Dan tentu saja, wajah khas Asia-nya.

"Benar."

"Masuklah."

"Terima kasih."

Shoujin berjalan mengikuti Aaron memasuki rumah dan menuju ruang tamu. Shoujin duduk setelah dipersilakan oleh Aaron.

"Di mana Nicky?"

"Masih tidur. Memangnya kalian tidak janjian dulu?"

"Kami sudah janjian."

"Benarkah?" Aaron mengernyit heran.

"Hum ... ."

"Kalau begitu kau harus menunggu. Dia pasti lupa, biar kubangunkan dulu." Aaron meninggalkan Shoujin. "Dasar, anak itu."

Tak berselang lama, muncullah Kenneth menemui Shoujin. Bagus, freak vs. freak yang sama-sama efisien dalam berbicara. Kira-kira apa yang akan menjadi topik pembicaraan mereka? Kenneth duduk di depan Shoujin.

"Kau teman Nicky?" Kenneth menanyakan hal yang sebenarnya sudah ia ketahui jawabanya, ia hanya sedang mencoba membuka obrolan.

"Ya."

"Teman sekolah?" Kenneth memperhatikan penampilan Shoujin yang tidak terlihat seperti anak high school, terlihat lebih dewasa.

"Bukan."

"Teman apa?"

"Hanya teman main."

"Kau bukan anak high school?"

"Bukan."

"Namamu?"

"Shoujin."

"Shoujin?"

"Ueda"

"Oh ... Ueda ...."

Hanya pertanyaan dan jawaban pendek yang terlontar dari keduanya. Selebihnya mereka lebih banyak diam dengan masing-masing saling melemparkan sorot mata tajam.

"Kau kuliah?"

"Tidak."

"Bekerja?"

"Ya."

"Di mana?"

Tiba-tiba Aaron menginterupsi obrolan mereka yang sangat seru. Sangat ... sangat ... seru ... mungkin mereka lebih banyak menggunakan telepati, kita saja yang tidak tahu.

"Wah ... wah ... sepertinya Kenneth sangat cocok ngobrol dengan teman Nicky."

Kenneth menatap Aaron dengan mata malas. Sedangkan Shoujin dengan senang hati memberikan tatapan setajam silet seperti yang ia perlihatkan pada Nicky saat di depan halaman St. Angelo High School. Apes kau, Aaron.

Aaron terkekeh hambar, ia menjadi salah tingkah, ia menggaruk pipinya. "Kenneth, aku mau pergi belanja dulu. Di mana kunci mobil?"

"Di laci."

"Laci yang mana?"

"Laci yang biasa."

"Kalau ada di sana, aku tidak akan bertanya padamu."

"Sebentar." Kenneth mengingat-ingat.

Sedangkan Aaron mencoba mencari di tempat lain. Ke sana kemari.

"Sudah ketemu," kata Aaron saat kembali ke ruang tamu. "Ada di ... sudahlah, tidak penting, yang penting sudah ketemu. Aku pergi dulu."

Tak lama setelah Aaron keluar dari rumah, terdengar suara mesin mobil sedang dinyalakan, lalu deru knalpot yang menjauh.

Kenneth sudah lupa dengan obrolannya dengan tamu sesama freak di depannya.

Ia lalu pergi meninggalkan Shoujin. Lebih baik mereka tidak berada di satu tempat berduaan saja. Jadinya seperti antara ada dan tiada. Sepi, membosankan.

"Maaf, Shou, aku lupa kalau kita janjian." Suara  serak menghampiri Shoujin.

"Kau lupa?"

Si pirang nyengir. "Ayo!" ajak gadis tomboi itu sambil berjalan menuju pintu.

"Payah!” Shoujin meggumam seraya bangkit dari sofa lalu berjalan mengikuti Nicky.

"Apa?!"

"Sudahlah. Ayo kira berangkat.”

“Eh, ke mana tujuan kita?" Nicky menghentikan langkah saat tangannya telah memegang kenop pintu.

“Bengkel.”

“Oke .... Oh ya, siang ini aku mau sekalian ke Palmline Beach. Aku harus melakukan persiapan untuk kompetisi surfing St. Angelo. Kau bisa mengantarku ke sana?”

Nicky keluar dari rumah dan diikuti oleh Shoujin.

“Kau surfer? Mana surfboard-mu?”

“Ada di tempat temanku di Palmline.”

"Kenny, aku pergi dulu." Teriak Nicky tepat di telinga Kenneth yang sedang duduk santai sambil bermain ponsel ditemani secangkir kopi pahit di halaman depan.

"Pelankan suaramu, Sayang!" telinga Kenneth sudah terbiasa dengan suara Nicky yang kencangnya tak tanggung-tanggung itu. Jadi ia tak begitu terkejut.

"Ish ..." Nicky mencebik.

Sebuah kecupan dari Kenneth menempel sepintas di dahi Nicky. Lalu Nicky membalas dengan kecupan di sebelah pipi Kenneth.

Melihat kedekatan Nicky dengan Kenneth, Shoujin sedikit iri. Ia juga ingin mendapat kecupan itu.’

Kebiasaan buruk Shoujin memberikan tatapan tajam setajam pisau guillotine², dan kali ini Kenneth yang menjadi korban. Namun Kenneth bukanlah jenis orang yang akan merasa terintimidasi oleh tatapan Shoujin. Ia membalas dengan tatapan yang setajam lidah mertua.

"Aku pergi dulu." Suara Nicky memecah acara tatap-menatap Shoujin-Kenneth. “Ayo, Shou, cepat!” sementara tangannya menarik pergelangan tangan Shoujin.

"Hati-hati." Kenneth mengawasi adik pirangnya sampai menghilang bersama Shoujin.

_______

1. baguette : roti panjang khas Perancis

2. guillotine : alat yang digunakan memenggal kepala terpidana mati di Perancis pada era 1700an - 1900an

Natalie Bern

Jangan lupa vote, rate & komen

| Like
Comments (1)
goodnovel comment avatar
I. R. A
kalo 1900.kan udah ada pedang katana atau pedang samurai. apa lagi shouji ke nya orang jepang
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status