"Kau? Yang waktu itu?" tanya Nicky ragu dan terselip rasa curiga.
Diperhatikannya penampilan pemuda di hadapannya. Rambut hitam legam berkilau memantulkan cahaya matahari sore, menciptakan gradasi hitam-oranye. Rambut pemuda itu terikat di atas tengkuk, tetapi cukup banyak yang tak terikat, karena tak cukup panjang, dan dibiarkan tergerai menutupi sebagian wajahnya.
Pemuda rambut hitam yang ditolong Nicky dua minggu yang lalu itu menatap dengan intens. "Benar. Aku hanya ingin berterima kasih, karena kau menolongku."
Seharusnya tidak ada urusan di antara keduanya. Orang dari klinik tidak pernah menghubungi Nicky untuk urusan administrasi maupun yang lainnya. Jadi mau apa dia?
"Aku?"
"Ya, perawat di klinik itu mengatakan kau yang membawaku ke sana."
"Baiklah. Terima kasihmu diterima. Aku harus pulang." jawab Nicky cuek sambil mulai melangkah.
"Apa kau pulang sendiri? Jalan kaki?" si pemuda rambut hitam melangkah cepat mengejar Nicky. "Aku bisa memberimu tumpangan, kalau kau mau."
Nicky menghentikan langkahnya lalu berbalik. "Tidak, terima kasih, aku tidak mau merepotkan."
"Sama sekali tidak, karena kita searah."
"Kau tahu rumahku? Kau memata-mataiku, ya?"
"Tidak, bukan begitu. Kita beberapa kali berpapasan saat kau keluar dari halaman rumahmu, tapi sepertinya kau tidak menyadarinya. Dan apa kau sudah lupa? Waktu itu kita melewati jalan yang sama. Aku lewat jalan itu bukan karena mengikutimu, tapi memang rumahku di sana."
"Aku pikir kau menguntit." gumam Nicky. "Lalu bagaimana kau tahu aku sekolah di sini?"
"Kau sering membeli baguette¹ di toko yang di sana itu, 'kan?" tanya si rambut hitam sambil menunjuk ke arah di mana terdapat sebuah toko roti yang berjarak beberapa puluh meter dari sekolah Nicky. "Rhein’s Pastry & Bread, itu tokoku. Jadi kupikir mungkin kau bersekolah di sini. Dan ternyata tebakanku benar. Kebetulan yang bagus 'kan?"
"Kau memperhatikanku?" Nicky masih terus menyelidik.
Si rambut hitam terkekeh. "Kau percaya diri sekali. Lihat dirimu. Dengan penampilan seperti itu ..., kau terlalu mencolok untuk diabaikan."
Nicky mengusak rambutnya canggung. Memang apanya yang salah? Rambut pirang keemaasan yang menyilaukan yang potongannya seperti laki-laki, iris mata biru secerah langit dan kulit kecoklatan—normal-normal saja. Atau karena tingkat kebisingan yang biasa dibuatnya, yang entah mencapai berapa desibel? Apa hanya karena itu ia jadi mudah ditandai?
"Oh ya, namaku Shoujin. Jadi bagaimana ...?"
Nicky memotong kalimat Shoujin, "Lalu bagaimana dengan tokomu? Belum waktunya tutup 'kan, kautinggalkan begitu saja?"
"Aku punya karyawan."
"Lalu kenapa waktu itu kau jalan kaki kalau kau punya kendaraan sendiri?"
"Kau sepertinya curiga padaku. Apa aku terlihat seperti orang jahat?"
"Apa kau tidak pernah bercermin?" Nicky melotot tajam. "Caramu melihatku kemarin itu seperti kau mau membunuhku."
"Astaga." Pemuda bernama Shoujin itu menyibak rambutnya yang menutupi sebagian wajahnya. "Kata-katamu pedas sekali, padahal kita baru kenal."
"Kenal? Memangnya kau tahu namaku?"
"Nicole, 'kan, namamu?"
"Ya ampun, jadi benar kau itu penguntit?" nada suara Nicky meninggi.
"Kau ini ..."
"Coba jelaskan!"
"Baiklah, akan kujelaskan. Beberapa hari sebelumnya aku mendapat kecelakaan kecil, akhirnya sepeda motorku harus masuk bengkel. Dan soal caraku melihatmu ... itu bukan pilihanku, aku terlahir seperti ini. Dan jujur saja aku sedikit heran dengan penampilanmu, kau terlihat seperti anak laki-laki middle school."
"Dan asal kau tahu, aku juga tidak pernah memilih terlahir seperti ini."
"Lalu tentang namamu, orang di klinik yang memberi tahuku." Shoujin menjeda. "Jadi ...?"
Nicky masih belum selesai membuat penilaian tentang pemuda di hadapannya.
"Kumohon. Ijinkan aku berterima kasih padamu."
"Sungguh?"
Shoujin mengangguk.
Nicky mengalihkan pandangannya pada sebuah sepeda motor berwarna hitam yang terparkir di tepi jalan di belakang Shoujin.
"Jadi itu sepeda motormu?"
"Ya, kau mengenalinya?"
"Kau bilang sepeda motormu di bengkel?"
"Aku baru mengambilnya tadi siang."
Nicky telah selesai membuat penilaian, sepertinya laki-laki bernama Shoujin itu tidak berbahaya. "Baiklah, karena kau memohon ..., ayo kita pulang."
Kedua orang yang baru saling berkenalan itu tak menyadari bahwa sedari tadi beberapa pasang mata memperhatikan mereka dengan rasa penasaran. Perhatian itu lebih tepatnya ditujukan pada Shoujin.
Orang asing dengan ciri fisik Asia Timur yang terlihat menawan, manly. Dan sorot matanya yang tegas. Siapa dia?
Shoujin menyodorkan sebuah helm berwarna dominan hitam dengan grafis berupa nyala api berwarna oranye pada Nicky. Kemudian ia sendiri memakai helm berwarna hitam dengan sedikit grafis berupa kilatan cahaya berwarna biru. Sepertinya Shoujin sudah mempersiakan diri untuk membonceng Nicky.
.
.
Lima belas menit berkendara dengan sepeda motor yang dipacu pelan dan tenang, mereka telah sampai di depan rumah Nicky.
Nicky turun dari sepeda motor.
Shoujin membuka visor helmnya. "Sesekali mainlah ke rumah," kata Shoujin dengan wajah tetap tersembunyi di balik helm. Suaranya berkerumuk. "Kita bisa main game bersama. Aku tinggal di ujung sebelah barat, satu blok ke utara dari sini."
Nicky melepas helmnya, lalu mengacak rambutnya yang gatal berkeringat. "Oh, jadi di situ rumahmu?"
"Benar. Aku pergi dulu."
"Ini ...." Nicky menyodorkan helm yang tadi dipakainya.
"Buatmu saja. Itu cocok denganmu."
"Benarkah? Kau serius?"
"Hum."
"Baiklah, terima kasih, Shoujin," jawab Nicky sambil menarik kembali tangannya, disertai cengiran dengan hak paten Nicky.
“Oh ya, apa boleh besok aku mengantarmu?”
“Asal kau tidak terlambat.”
“Oke.” Shoujin mengangguk lalu menarik gasnya.
Penglihatan Nicky mengikuti arah Shoujin menghilang di ujung jalan.
_______
Di sebuah ruang kelas yang sedang sepi, Nicky membiarkan kepalanya tergeletak di atas kedua tangannya yang terlipat di atas meja bangku yang ia duduki. Tak mempedulikan rengekan temannya dengan rambut sewarna permen kapas.
"Ayolah Nick, kenalkan aku dengan sepupumu itu." Sharon terus merayu.
"Kau kenalan saja sendiri." Nicky menanggapi teman pink-nya itu dengan malas.
"Kau ini ..., mana bisa? Aku tidak tahu dia itu siapa."
"Kau tidak tahu, Sharon?" Nicky melirik malas pada Sharon.
"Dasar bodoh!" Sharon membanting pena yang sedari tadi digenggamnya, pada meja. Dan hal itu berhasil menarik atensi si pirang. "Karena itulah aku minta tolong padamu."
"Kau bisa .... Ah tidak! Aku tidak mau mengenalkannya denganmu."
"Kenapa?"
"Kau suka dengan dia kan?"
"Tentu saja, dia itu sangat tampan. Ayolah Nick, aku akan membelikanmu croissant, muffin, atau apa saja dari Rhein’s setiap hari."
Apa saja dari Rhein’s? Yang benar saja? Nicky bisa makan sepuasnya varian apa pun di toko itu yang diinginkannya tanpa perlu repot mencomblangkan Sharon dengan sepupu palsunya—Shoujin. Cukup minta saja pada pemiliknya. Menggelikan.
Sejak berkenalan kira-kira sebulan yang lalu, Shoujin selalu baik pada Nicky. Ia membiarkan Nicky mengambil pastry atau bakery yang mana saja yang diinginkan. Berapa pun banyaknya. Namun, Nicky bukanlah orang yang rakus. Kecuali perutnya sedang tak tahu diri dan tak bisa diajak kompromi. Perut kecilnya sangat elastis, bisa melar hingga dua kali lipat.
"Menyebalkan. Aku tidak suka croissant."
"Tadi 'kan kubilang bukan cuma croissant. Muffin, macaroon, orange mousse ..., apa saja." Sharon semakin gencar merayu Nicky.
"Tidak. Pokoknya tidak."
"Kenapa? Aah, aku tahu. Bigg’s Taco?"
Wow ... Bigg’s Taco? Makanan yang menduduki posisi teratas dalam tangga makanan favorit Nicky? Namun Nicky tetap menolak, "Apa kurang jelas? Kubilang 'tidak' ya tidak."
"Tapi kenapa, Nick?"
"Di mana keangkuhan yang selama ini jadi image-mu, Sharon. Tch ... menyedihkan.” Nicky pergi meninggalkan bangkunya dengan kesal.
"Baiklah, kalau kau tidak mau, aku akan mencari tahu sendiri." Gadis yang identik dengan warna pink itu cemberut.
"Terserah." Nicky tak peduli, ia menghilang begitu saja.
"Mulai sekarang kau bukan temanku!" Si pinky semakin kesal.
_______
Suara bel pintu berbunyi.
Sabtu pagi yang cerah. Shoujin sudah menunggu di depan pintu rumah Nicky sambil belajar tersenyum, persiapan ketika nanti bertemu Nicky. Namun, tak lama kemudian senyum itu langsung luntur ketika Aaron muncul dari balik pintu.
Kau tahu seberapa beratnya tersenyum bagi Shoujin? Itu seperti kau sedang mendapat hukuman membersihkan toilet.
"Kau Shoujin, 'kan?" tanya Aaron setelah membukakan Shoujin pintu. Ia mengenali Shoujin dari tunggangan dan jaket hitam yang selalu dikenakannya ketika mengantar-jemput Nicky. Dan tentu saja, wajah khas Asia-nya.
"Benar."
"Masuklah."
"Terima kasih."
Shoujin berjalan mengikuti Aaron memasuki rumah dan menuju ruang tamu. Shoujin duduk setelah dipersilakan oleh Aaron.
"Di mana Nicky?"
"Masih tidur. Memangnya kalian tidak janjian dulu?"
"Kami sudah janjian."
"Benarkah?" Aaron mengernyit heran.
"Hum ... ."
"Kalau begitu kau harus menunggu. Dia pasti lupa, biar kubangunkan dulu." Aaron meninggalkan Shoujin. "Dasar, anak itu."
Tak berselang lama, muncullah Kenneth menemui Shoujin. Bagus, freak vs. freak yang sama-sama efisien dalam berbicara. Kira-kira apa yang akan menjadi topik pembicaraan mereka? Kenneth duduk di depan Shoujin.
"Kau teman Nicky?" Kenneth menanyakan hal yang sebenarnya sudah ia ketahui jawabanya, ia hanya sedang mencoba membuka obrolan.
"Ya."
"Teman sekolah?" Kenneth memperhatikan penampilan Shoujin yang tidak terlihat seperti anak high school, terlihat lebih dewasa.
"Bukan."
"Teman apa?"
"Hanya teman main."
"Kau bukan anak high school?"
"Bukan."
"Namamu?"
"Shoujin."
"Shoujin?"
"Ueda"
"Oh ... Ueda ...."
Hanya pertanyaan dan jawaban pendek yang terlontar dari keduanya. Selebihnya mereka lebih banyak diam dengan masing-masing saling melemparkan sorot mata tajam.
"Kau kuliah?"
"Tidak."
"Bekerja?"
"Ya."
"Di mana?"
Tiba-tiba Aaron menginterupsi obrolan mereka yang sangat seru. Sangat ... sangat ... seru ... mungkin mereka lebih banyak menggunakan telepati, kita saja yang tidak tahu.
"Wah ... wah ... sepertinya Kenneth sangat cocok ngobrol dengan teman Nicky."
Kenneth menatap Aaron dengan mata malas. Sedangkan Shoujin dengan senang hati memberikan tatapan setajam silet seperti yang ia perlihatkan pada Nicky saat di depan halaman St. Angelo High School. Apes kau, Aaron.
Aaron terkekeh hambar, ia menjadi salah tingkah, ia menggaruk pipinya. "Kenneth, aku mau pergi belanja dulu. Di mana kunci mobil?"
"Di laci."
"Laci yang mana?"
"Laci yang biasa."
"Kalau ada di sana, aku tidak akan bertanya padamu."
"Sebentar." Kenneth mengingat-ingat.
Sedangkan Aaron mencoba mencari di tempat lain. Ke sana kemari.
"Sudah ketemu," kata Aaron saat kembali ke ruang tamu. "Ada di ... sudahlah, tidak penting, yang penting sudah ketemu. Aku pergi dulu."
Tak lama setelah Aaron keluar dari rumah, terdengar suara mesin mobil sedang dinyalakan, lalu deru knalpot yang menjauh.
Kenneth sudah lupa dengan obrolannya dengan tamu sesama freak di depannya.
Ia lalu pergi meninggalkan Shoujin. Lebih baik mereka tidak berada di satu tempat berduaan saja. Jadinya seperti antara ada dan tiada. Sepi, membosankan.
"Maaf, Shou, aku lupa kalau kita janjian." Suara serak menghampiri Shoujin.
"Kau lupa?"
Si pirang nyengir. "Ayo!" ajak gadis tomboi itu sambil berjalan menuju pintu.
"Payah!” Shoujin meggumam seraya bangkit dari sofa lalu berjalan mengikuti Nicky.
"Apa?!"
"Sudahlah. Ayo kira berangkat.”
“Eh, ke mana tujuan kita?" Nicky menghentikan langkah saat tangannya telah memegang kenop pintu.
“Bengkel.”
“Oke .... Oh ya, siang ini aku mau sekalian ke Palmline Beach. Aku harus melakukan persiapan untuk kompetisi surfing St. Angelo. Kau bisa mengantarku ke sana?”
Nicky keluar dari rumah dan diikuti oleh Shoujin.
“Kau surfer? Mana surfboard-mu?”
“Ada di tempat temanku di Palmline.”
"Kenny, aku pergi dulu." Teriak Nicky tepat di telinga Kenneth yang sedang duduk santai sambil bermain ponsel ditemani secangkir kopi pahit di halaman depan.
"Pelankan suaramu, Sayang!" telinga Kenneth sudah terbiasa dengan suara Nicky yang kencangnya tak tanggung-tanggung itu. Jadi ia tak begitu terkejut.
"Ish ..." Nicky mencebik.
Sebuah kecupan dari Kenneth menempel sepintas di dahi Nicky. Lalu Nicky membalas dengan kecupan di sebelah pipi Kenneth.
Melihat kedekatan Nicky dengan Kenneth, Shoujin sedikit iri. Ia juga ingin mendapat kecupan itu.’
Kebiasaan buruk Shoujin memberikan tatapan tajam setajam pisau guillotine², dan kali ini Kenneth yang menjadi korban. Namun Kenneth bukanlah jenis orang yang akan merasa terintimidasi oleh tatapan Shoujin. Ia membalas dengan tatapan yang setajam lidah mertua.
"Aku pergi dulu." Suara Nicky memecah acara tatap-menatap Shoujin-Kenneth. “Ayo, Shou, cepat!” sementara tangannya menarik pergelangan tangan Shoujin.
"Hati-hati." Kenneth mengawasi adik pirangnya sampai menghilang bersama Shoujin.
_______
1. baguette : roti panjang khas Perancis
2. guillotine : alat yang digunakan memenggal kepala terpidana mati di Perancis pada era 1700an - 1900an
Jangan lupa vote, rate & komen
Matahari musim panas mulai bergeser dari titik tertinggi di hari itu, di pergantian musim, tanpa mengurangi panasnya. Perhatian Shoujin terus tertuju pada satu objek di air. Tanpa ia sadari, ia sendiri sedang menjadi objek perhatian beberapa pasang mata. Matanya terus mengikuti pergerakan objek yang meliuk-liuk lincah dan indah di atas ombak. Sesekali objek itu menghilang tergulung ombak, lalu muncul kembali ke permukaan air dan tangannya mengayuh di atas surfboard. Bergantian dengan temannya bermain di atas ombak. Sekarang ia tahu bagaimana Nicky mendapatkan kulit cokelatnya. Di bagian atas, lengan pakaian renang overall-nya tak sampai siku, sedangkan di bawah hanya setengah paha, membiarkan sengatan sinar matahari mengenai kulitnya. Sunblock pun tak sepenuhnya membantu menghalangi teriknya sengatan matahari di Palmline Beach. Sudah berapa lama Nicky menekuni surfing? Sepertinya Shoujin akan menanyakannya kapan-kapan. Sesekali Nic
Nicky pulang ke rumah dengan menumpang taksi, sementara Shoujin dengan sepeda motornya mengikuti di belakang. Hari sudah malam. Setelah membayar ongkos taksi, Nicky keluar dan berjalan dengan langkah berat menuju pintu rumahnya. Tak mempedulikan Shoujin yang mengkhawatirkannya. "Nicky!" panggil Shoujin seraya berlari. "Huhh ...?" "Aku yang membawamu keluar dari rumah ini, itu artinya aku juga harus mengantarmu pulang." "Kau sudah wengantarku, aku sudah sawai di ruwah. Wulanglah!" jawab Nicky sambil terus berjalan tanpa menoleh pada Shoujin. . . Sementara itu dari jendela kamarnya di lantai dua, Kenneth mengawasi tingkah laku adiknya dan temannya. "Kenneth ..." Aaron memasuki kamar Kenneth tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Sudah kebiasaan. "Sstt ...." Kenneth menoleh sekilas pada Aaron sembari memberikan isyarat untuk tak bersuara. Aaron bergabung dengan Kenneth. Mendadak mereka menjadi stalker. Keduanya mengamati tingkah laku Nicky dan Shoujin. Sesekali terlihat Shoujin
Sore itu, tak seperti biasanya, sepulang sekolah Nicky mendatangi Shoujin di Rhein’s, sesuai permintaan Shoujin. Di counter, di sebuah kursi yang bersebelahan dengan sebuah meja, Nicky menunggu temannya, yang menurutnya sudah seperti kakak baginya. Dengan seenaknya ia mengklaim orang sebagai kakaknya. "Tunggulah sebentar! Ada pesanan yang harus kuselesaikan dulu." "Oke, tidak masalah." Selang sepuluh menit setelah Shoujin kembali ke dapur, seorang karyawan Shoujin datang membawa nampan dengan segelas es teh lengkap dengan sedotan. Mengalihkan perhatian Nicky yang sedang tertunduk fokus pada permainan di ponselnya. "Silahkan tehnya, Nick." "Terima kasih, Karina," jawab Nicky dengan senyum tipis. Ia tak ingin memperlebar luka di bibirnya. Lalu kembali fokus pada ponselnya. "Nick, boleh aku duduk di situ?" tunjuk wanita berambut merah menyala dan berkacamata pada sebuah kursi kosong di sisi lain meja. Nicky mendongak sebentar, melihat wanita cantik yang memanggil namanya, menoleh p
Hampir satu jam Kenneth berdiam di dalam mobilnya yang terparkir beberapa meter dari sebuah club bermain pool di Palmline Beach, hingga terlihat olehnya seseorang keluar dari club itu. Kenneth mengawasi layar pada dasbor mobil yang menampakkan pergerakan laki-laki tadi. Si abu-abu memperbesar tampilan objek. Sekarang ia yakin bahwa laki-laki yang wajahnya tampak samar masih berhias lebam-lebam itu adalah targetnya. Target Kenneth terlihat menghampiri SUV berwarana mencolok, oranye. Kenneth bergegas mengambil pistol dari dalam dasbor mobil, keluar dari mobilnya, dan berjalan dengan cepat menuju targetnya sambil menyelipkan pistol ke pinggang belakang celana. Ia menarik pundak laki-laki itu dari belakang, membalik badannya, dan langsung menghadiahkan sebuah tinju telak ke wajah si target. Target Kenneth tersungkur. Sebelum si target bangun dan memberikan perlawanan, Kenneth sudah mengunci pergerakan laki-laki itu. Sebelah lutu
"Apa saja kegiatanmu hari ini?" tanya Kenny sambil bercermin, memastikan kemeja abu-abu gelapnya rapi dan rambutnya tak berantakan. "Aku hanya akan mengikuti kelas matematika dan Bahasa Spanyol hari ini. Setelah itu aku akan latihan di Palmline." jelas Nicky tanpa mengalihkan penglihatannya dari layar ponsel. "Kau serius mengikuti kompetisi itu?" "Tentu saja. Aku sudah jatuh cinta dengan olahraga ini. Kalau kau sendiri?" "Eer ... menyerahkan desain saja." "Kau akan bertemu klien atau semacamnya? Atau kembali pada kebiasaan lamamu, mengoleksi teman wanita?" satire Nicky pada saudara freak-nya yang akhir-akhir ini lebih sering mengurung diri di rumah. "Kau tidak harus percaya pada ucapanku. Fokus saja pada sekolah dan kompetisi!" Kenneth menghentikan kegiatannya di depan cermin di ruang keluarga. Ia menoleh pada adiknya, kalau tak sayang sudah lama bocah tomboi itu berakhir menjadi santapan singa yang biasa tampil menjadi lawan
"Tenanglah, Nicky! Aku di sini, dia tidak akan bisa menyakitimu." Beberapa menit Kenneth mendekap tubuh Nicky hingga adiknya itu lebih tenang. Kenneth merenggangkan dekapannya. "Tidak! Jangan tinggalkan aku!" refleks Nicky memeluk tubuh Kenneth dengan lebih erat, takut ditinggalkan. "Tidak, Nicky. Aku tidak akan meninggalkanmu," bisik Kenneth. "Bajumu basah, harus diganti." Perlahan dan hati-hati Kenneth menyingkirkan kedua tangan Nicky dari punggungnya. Tak ingin membuat gerakan tiba-tiba yang bisa membuat Nicky panik lagi. Ia kemudian beranjak untuk mengambilkan Nicky pakaian ganti, tetapi tangan Nicky menahan pergelangan tangannya. “Aku hanya akan mengambilkanmu pakaian di lemari, kau harus mengganti pakaianmu yang basah itu.” Setelah Nicky melepas pergelangan tangannya, Kenneth mengambil sehelai kaos dari salah satu tumpukan pakaian di dalam lemari pakaian Nicky. “Gantilah pakaianmu!” Kenneth menyodorkan kaos itu pada Nicky.
Kemudian wajah-wajah penuh harap itu kecewa ketika sesosok manusia tomboi, tomboi serupa kucing, kucing manis tukang onar, muncul dari dalam mobil itu. . . Siang yang panas, di dekat sebuah bangku panjang di bawah pohon rindang di halaman belakang sekolah, tak jauh dari lapangan baseball. Nicky, Kevin dan Charlie sedang duduk menikmati awal musim panas di sana. Duduk di atas rumput. Bersama mereka, Shawn sedang berbaring pada bangku panjang di belakang punggung ketiga temannya. "Heh, Nick, sejak kapan kau bisa menyetir mobil?" selidik Kevin. "Sejak kelas sembilan. Kenapa?" "Dengan badan pendekmu ini? Memangnya kakimu bisa menginjak gas?" Tak bisa disangkal, bahwa tubuh Nicky memang tergolong pendek untuk ukuran gadis Kaukasoid berusia tujuh belas tahun. "Kau meremehkanku. Itu semudah menginjak wajahmu, Kev." "Kau kenapa, Kev? Iri?" Shawn menimpali dengan matanya masih terpejam. “Lebih baik kau l
Nicky sedang berguling-guling tak jelas di kasur di kamar Shoujin sambil berkali-kali membuka ponselnya, lalu mematikan layarnya lagi. Shoujin merasa heran dengan kelakuan sepupu palsunya itu. Shoujin bersandar pada sebuah meja tulis di kamar itu. Kedua tangannya terlipat di dada. "Ada apa denganmu?" "Tidak apa-apa." "Katakanlah, mungkin aku bisa membantu." Nicky mendesah, "Aku kehilangan sebuah benda yang sangat berharga." "Apa itu?" "Sebuah foto." Pikiran Shoujin melayang pada sebuah foto yang diambilnya dari meja di kamar Nicky beberapa waktu lalu. Ia tak bisa berbohong, tetapi juga tak mungkin mengatakan bahwa ia yang mengambilnya. Shoujin berjalan ke arah ranjang, kemudian duduk di pinggirannya. "Apa foto itu sangat berharga?" "Begitulah. Umm ... aku belum pernah cerita, ya? Aku sudah tujuh tahun amnesia." Nicky merentangkan tubuhnya, menggunakan sebelah lengannya sebagai bantal, menatap pada langit