Share

Tiga

Selama belanja di pasar, Ambar tak banyak bicara. Membuat Fitri jadi serba salah, akhirnya dia hanya mengikuti langkah wanita berhidung mungil itu. Sebenarnya Fitri ingin menegur Ambar karena dia membeli barang tanpa menawar.

"Kok gak ditawar sih, Mbak?" tanya Fitri yang sudah tak tahan lagi. Ambar hanya menoleh sekilas, tanpa ingin membalasnya. Saat ini pikirannya benar-benar kacau. Bayangan Rudi tengah 'bermain' dengan wanita lain, selalu terlihat jelas ketika Ambar menutup mata, sampai-sampai dia enggan berkedip karena tak ingin melihat hal menjijikkan itu. 

"Mbak ditawar dong, kemahalan itu. Di tempat saya gak sampai segitu." Lagi Fitri mencoba memperingatkan Ambar.

"Berapa ongkos dari sini ke tempatmu, Fit?" tanya Ambar tanpa menoleh pada Fitri.

"Ma puluh lebih, Mbak. Ada apa?" tanyanya bingung.

"Berarti pulang pergi seratus ribu?" tanya Ambar semakin membuat Fitri bingung. Wanita yang sedang memakai rok sepan itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Terserah kamu lah, Mbak. Mau nawar apa nggak," ujarnya sewot. Membuat bibir Ambar tersenyum sedikit.

Semua keperluan sudah terbeli, Ambar dan Fitri bergegas pulang karena Rahayu sudah berkali-kali menelpon, mengingatkan agar segera pulang.

"Dikira kita ini ninja apa, yang bisa menghilang begitu saja," gerutu Ambar yang didukung anggukan oleh Fitri.

Setelah sampai di rumah mereka langsung mengeksekusi bahan makanan yang mereka beli dengan ditemani wejangan dari Rahayu.

"Dalam hubungan yang penting itu perut. Kalau perut kenyang maka cinta itu akan selalu tumbuh dan berkembang.

Ambar hanya mendengarkan saja, tanpa ada keinginan untuk menjawab. Dalam benaknya, dia sibuk memikirkan cara untuk membuka aib suaminya di depan ibunya. Namun, dia bimbang, bagaimana kira-kira tanggapan mertuanya tersebut.

"Mbar! Diajak ngomong kok malah ngelamun. Rugi aku ngomong tadi, lebih baik aku ngobrol sama Alif," gerutunya sambil bangkit dari tempat duduknya. Belum juga dia keluar dari dapur tiba-tiba terdengar bel berbunyi. "Nah, itu suamimu datang, pasti itu. Cepetan ndang ditata makanannya. Setelah itu segera bersihkan diri. Mandi bebek juga ndak pa-pa, asal bau minyaknya hilang. Cepat!" titahnya pada sang menantu. 

Ambar tak langsung menjalankan perkataan mertuanya. Membuat Rahayu semakin kesal padanya. "Mbar!" bentaknya dengan mata melotot, persis seperti seorang ibu yang memarahi anaknya sendiri.

"Ibu nginep di sini kan?" Rahayu semakin melotot mendengar pertanyaan menantunya.

"Iya ...! Haduh, Ambar! Kamu kenapa sih, dari tadi ndak nyambung kalau diajak bicara. Embulah, aku mau keluar. Terserah kamu mau apa," sungutnya sambil berlalu meninggalkan Ambar yang masih berdiri mematung di tempatnya semula.

"Mbak, cepatan mandi, biar aku yang menyelesaikan semuanya." Fitri ikut mengingatkan. Setelah menghela napasnya, Ambar pun melangkah menuju kamarnya.

Ambar sengaja mengulur waktu, dia benar-benar tak ingin melihat suaminya. Ambar takut jika dia tak bisa mengontrol emosinya. Sungguh, rasa sakit dikhianati membuatnya ingin mencakar atau mencekik suaminya itu.

"Assalamualaikum," ucap suara yang sangat dikenal oleh Ambar. 

"Wa'alaikumussalam," balasnya tanpa menoleh. Seandainya saja menjawab salam bukanlah kewajiban, dia enggan untuk mengucapkannya.

Ambar langsung menghindar ketika Rudi hendak menyentuhnya. Dia pura-pura mengambil sesuatu di dalam lemari.

"Ada apa?" tanya Rudi karena merasa aneh dengan sikap wanitanya akhir-akhir ini.

"Apanya yang ada apa?" Ambar balik bertanya.

"Kamu aneh, sejak seminggu yang lalu sikapmu berubah. Ada apa?" tanya Rudi lagi. Lelaki itu mulai tersulut emosi. Dia sama sekali tak merasa bersalah, karena menganggap istrinya itu tak tahu apa-apa.

"Ayo makan dulu, biar nanti kuat menghadapi kenyataan," ucap Ambar yang semakin membuat Rudi emosi.

"Ada apa?" tanyanya sambil mencekal lengan Ambar. Wanita yang sudah delapan tahun dinikahinya itu tak menjawab, hanya melirik sekilas lengannya yang tertahan oleh tangan kekar Rudi.

"Lepas," ucapnya dengan suara lirih. Bukannya melepaskan, Rudi malah menarik tubuh Ambar, hingga jatuh ke pelukannya. 

Ambar berontak, dia benar-benar tak ingin disentuh oleh suaminya. Bayangan adegan dalam ponsel itu membuatnya mual dan benar-benar hendak muntah. Melihat kondisi istrinya, Rudi mengalah dia pun mengurai pelukannya.

Ambar segera berlalu ke kamar mandi, di ruang berukuran 2×1½ meter itu, wanita pemilik lesung pipi menumpahkan segala rasa. Setelah itu dia menguyur seluruh badannya tanpa melepaskan pakaian. Tubuh dan hatinya benar-benar menolak, tak sudi lagi disentuh oleh Rudi.

Setelah beberapa saat Ambar tak kunjung keluar, Rudi pun beranjak. Dia menemui putra dan ibunya yang tengah bercengkrama di ruang keluarga.

"Istrimu mana?" tanya Rahayu ketika melihat anaknya berjalan sendiri.

"Masih di kamar," sahut Rudi malas. Rahayu menatap putranya, wanita paruh baya itu seakan mengerti jika ada yang tak beres dalam rumah tangga anaknya.

Rudi mendekati Alif, lelaki itu kemudian mengangkat tubuh anaknya tinggi-tinggi, hingga menimbulkan tawa di bibir mungil buah hatinya tersebut. Setelah itu Rudi mencium perut Alif, membuat bocah berambut seperti ibunya itu tertawa lebih girang.

Ambar menghentikan langkahnya ketika mendengar kebahagiaan putranya. Hatinya bimbang. Mungkin, setelah dia mengutarakan niatnya, dia bisa bertahan dan menyerahkan pada waktu sebagai pengobat luka, tetapi bagaimana dengan Alif? Bisakah anaknya itu hidup tanpa ayahnya. Ambar teringat dengan sebuah tulisan, jika seorang ibu terluka, seorang anak juga akan menanggung akibatnya, sang anak tak kan bahagia. Lalu apa yang harus dilakukannya, jika kenyataan tak semudah tulisan yang banyak beredar.

"Alif, panggil Bundamu, kenapa lama sekali di dalam kamar. Gak tahu apa kalau kita semua menunggunya," titah Rahayu pada sang cucu. Setelah sudah terlalu lama menunggu di meja makan.

"Iya, Nek," sahut Alif. Bocah itu segera berlalu sambil berlari kecil. Rahayu kembali menatap Rudi, sebenarnya dia ingin sekali bertanya 'ada apa' namun harus ditahan karena masih ada Fitri diantara mereka.

"Ayo makan," ucap Rahayu setelah Ambar sampai di tengah-tengah mereka. Seolah mengerti, semua menikmati hidangan dalam diam, bahkan Alif yang biasanya banyak bertanya juga ikut diam. Jagoan kecil itu sesekali melirik ibunya, Alif seolah tahu jika ibunya sedang bersedih dan itu membuatnya terlihat tak bersemangat.

Ditengah-tengah keheningan yang tercipta, tiba-tiba bel rumah berbunyi. Semua yang berada di ruangan itu saling berpandangan.

"Aku aja yang buka," ucap Fitri mendahului Ambar. Tanpa menunggu ada yang menjawab perempuan berwajah manis itu segera bangkit dari duduknya, kemudian berlalu dengan langkah cepat.

"Di luar ada wanita yang mencari Pak Rudi," ucap Fitri setelah dia kembali masuk. "Tak suruh menunggu apa tak suruh masuk, Mbak?" imbuhnya bertanya pada Ambar.

Ambar merasa ada yang tak beres, karena selama ini tak ada temannya Rudi yang bertamu ke rumahnya di akhir pekan. Apalagi kata Fitri yang datang seorang wanita.

"Biar aku saja," sahut Rudi gugup. Membuat istri dan ibunya menatapnya penuh selidik.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
nah loh bakal ketahuan tuh klu yang datang adalah selingkuhannya rudi
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
apakah si ambar yg penulis merekam vc suaminya tsb?
goodnovel comment avatar
Nunyelis
video call itu harusnya di sc buat bukti.....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status