Share

CHAPTER 1

Diantara ratusan pelajar yang ada di dunia ini, pasti diantaranya ada yang membenci sekolah, kan? Tidak mungkin hanya aku saja kan? 

Sejujurnya sekolah ku ini sangat bagus. Sekolah yang cukup elit dan kebanyakan pelajarnya adalah anak orang kaya. Aku sangat bersyukur karena ayahku memiliki gaji yang cukup banyak sehingga bisa memenuhi kebutuhanku dan menyekolahkan ku disini.

Tapi... Karena sekolah ini elit kadang malah sangat membebaniku. Dengan uang yang banyak anak-anak orang kaya itu pun banyak yang dituntut untuk menjadi yang terbaik. Mereka dimasukan les ketempat yang mahal. Sedangkan aku, jangankan les melihat buku saja sudah merasa mual. Untungnya ayahku bilang, "tidak masalah. Ayah tidak akan memaksa kamu untuk pintar disegala bidang. Cukup fokus dengan apa yang aku sukai." 

Dan akhirnya aku hanya fokus bermalas-malasan karena itu yang aku sukai. 

Tidak, tidak.. aku hanya bercanda. Ah, walaupun itu setengah dari kejujuranku tapi aku punya beberapa hal yang ku suka yaitu mengambil foto dan menggambar. Tapi kamu tahu sendirilah gimana sekolah di sini. Yang pintar itu  yang cuma jago soal angka, kalau yang kayak aku? Haha.. hanya jadi beban sekolah saja. 

Dengan malas-malasan aku berjalan menuju kelasku. Jaraknya cukup jauh dari gerbang sekolah tapi karena efek malas masuk kelas dan belajar, rasanya jadi sangat dekat. 

Ketika sampai didepan pintu kelas, aku melihat beberapa teman kelasku sudah ada ditempat duduknya masing-masing. Aku juga melihat Irish si gembul itu melambaikan tangannya kepadaku.

Irish itu teman sebangku ku. Kami memutuskan untuk sebangku karena merasa cocok. Tapi bukan berarti aku dengan teman sekelasku tidak cocok dan bermusuhan. Hanya saja diantara dua puluh lima orang di kelas hanya Irish yang punya banyak kemiripan denganku.

"Masih pagi loh An. Yakali muka udah kusut gitu!" Dia menyenggol bahuku cukup kencang membuatku berlagak tersakiti. 

"Sakit loh Rish." Ucapku sambil memasang wajah imut walaupun jatuhnya malah keliatan menjijikan. 

"Halah, alay banget sih lo." Dia mengucapkan itu sambil meraup mukaku. Membuatku langsung mendorong tangannya sambil misuh-misuh.

"Gila lo ya. Rusak ini riasan inceus." Omelku yang langsung mendapat sambutan wajah Irish yang berlagak muntah-muntah. 

Ya, begitulah persahabatanku dengan Irish. Kami bukan tipe yang romantis dan akan saling memuji tapi kami tipe sahabat yang saling menghina dan tetap saling menyayangi. 

"By the way mbul, nggak ada gosip gitu?" 

Eh, aku bertanya seperti ini karena Irish ini itu lambe turah disekolahku. Jadi walaupun aku anti sosial, aku tetap tahu info-info penting disekolah. 

"dasar ye anak mude. Dikit-dikit pengennya ngegosip." Irish mencibir, "tapi ada sih. Lo mau yang mana? Ada tentang kak Tristan, ada tentang kak Mauryn si anak musik itu, terus ada tentang si Jen---"

"Nah tentang si Jenan!" Potongku semangat.

"Lo masih demen sama dia?" Irish bertanya sambil memandangku tidak percaya.

Aku mengangguk, "emang kenapa si Rish? Jenan kan perfect." 

"Iya. Kalau nggak kaya anjing buldozer." Irish bergidik ngeri buatku langsung memberinya tatapan tak terima. "Lagian dia kan bucinnya Alice? Nggak ada kesempatan buat lo deketin dia. Apalagi tuh anak senggol bacok." Sambungnya yang membuatku merasa tertampar secara tidak langsung.

Aku mengumpat pelan, "gue kan nggak ada niat ngedeketin. Gue tuh cuma mencintai dalam diam." 

Irish malah mengejekku, "nyenyenye. Dasar bucin yang cintanya tidak terbalas." Hujatnya kejam, "lagian gua nggak bilang Jenan ya, gue mau bilang Jeni." 

Aku kembali mengumpat dan Irish semakin mengejekku. 

"Awas aja ya lo!"

Baru saja Irish membuka mulutnya tiba-tiba bel masuk berbunyi dan tidak lama guru masuk ke kelasku. 

Ah sial. Kenapa jam pertama harus matematika?

*******

Sebenarnya aku bukan tipe yang suka pergi ke kantin apalagi bik Inah selalu membuatkan bekal untukku. Tapi semenjak menyukai Jenan, semuanya berubah. 

Aku akan buru-buru ke kantin karena mengincar tempat dimana aku bisa melihat Jenan dengan jelas. Tepat dipojok baris kedua dari kiri. 

Seperti sekarang aku sudah berada di kantin, ditempat duduk yang sangat strategis untuk melihat Jenan. Aku menggoyang-goyangkan kaki sambil sesekali menengok ke arah tempat duduk Jenan yang berada di tengah baris pertama. Tempatnya masih kosong, kemungkinan dia belum keluar kelas. 

Aku juga melihat ke arah Irish yang sedang berdesak-desakan untuk memesan makanan. Irish juga memberi kode kepadaku untuk bersabar, padahal aku tidak menyuruhnya untuk buru-buru. Sejujurnya aku tidak terlalu peduli soal makanan di kantin karena tujuan ku ke sini pun bukan itu tapi karena Jenan. 

Puncuk dicinta ulam pun tiba. Orang yang kutunggu akhirnya datang juga. Aku melihat Jenan masuk ke kantin bersama dengan perempuan tercinta nya Alice. Mereka duduk di tempat biasa, tempat dimana aku bisa melihat Jenan dengan jelas. 

Ku lihat Jenan dengan seenaknya menyuruh salah satu siswa untuk memesan makanannya dan tentu juga untuk Alice. Tanpa membantah siswa itu lansung menurut. Setelah itu Jenan berbincang-bincang dengan Alice bahkan sesekali aku melihat Jenan membenarkan rambut Alice dan mengusapnya pelan. 

Sirik. Aku merasa iri dengan Alice yang sangat beruntung bisa ada diposisi itu. Andai aku yang ada diposisi itu aku pasti akan jadi manusia paling bahagia. 

"Udah jangan diliatin mulu. Nih makan sempol ayam lo!" Irish menyodorkan piring berisi sempol ayam dan jus jeruk pesananku

Aku pun menerima piring itu, "gila, andai ya gue ada diposisi tuh cewe.." ucapku sambil mulai memakan sempol ayamku. 

"Ck, jangan cari penyakit deh An." Ingat Irish dengan mulut penuh nasi goreng. 

"Yaelah mbul. Bener-bener ya lo jadi temen nggak ada ngedukungnya sama sekali." Aku menatapnya malas.

"Nggak gitu An." Sanggah Anna, "gue bakalan dukung lo asal jangan sama si buldozer itu. Serius deh gue bisa kenalin lo sama temen gue yang lain. Ada Mario, ada Reandra, ada banyak yang mau sama lo. Cuma mata lo udah ketutup cinta." Sambungnya dengan nada serius.

 "Nggak gitu mbul." Aku berusaha mengelak.

"Pala bapak lo nggak gitu," Irish menoyor kepalaku pelan membuatku mendecak kesal, "tapi serius An, menurut gue lo tuh harus move on. Sekarang lo liat tuh Jenan sama Alice mereka tuh lengket banget kemana-mana bareng. Sedangkan lo, Jenan tau lo aja nggak." Kan... Pada akhirnya ucapan Irish itu suka bikin hatiku nyut-nyutan. 

"Syuuttttt. Udah sana makan." 

"Halah. Nggak bisa ngelak kan lo?" Tanya Irish dengan nada menyebalkan.

Aku hanya menatapnya kesal tanpa menjawab. Anggap saja aku mengalah karena takut Irish kelaparan kalau terus-terusan meladeni ucapanku. Lagipula daripada berdebat dengan Irish lebih baik aku melihat Jenan yang sedang memakan Mie ayamnya dengan tenang. 

Astaga... Dia sangat tampan. Benar-benar membuatku ingin terus-terusan menatapnya.  Walaupun banyak sekali lelaki tampan di dunia ini, tapi dimataku Jenan itu beda. Semakin ku tatap wajahnya, semakin besar perasaanku untuknya.

Ah, andai ada keajaiban. Aku bisa mengungkapkan perasaanku dan dia menerimaku. Pasti itu akan menjadi hal yang paling indah dalam hidupku. 

Tapi... Sepertinya Jenan memang bukan hal yang bisa aku raih. Mungkin dia keindahan yang hanya bisa aku nikmati tanpa bisa aku milikki. 

Walaupun begitu bukan berarti aku tidak boleh mencintainya kan? Ya, meski tidak terbalas dan sepertinya tidak akan.

Apalagi melihat pemandangan didepanku sekarang. Jenan mengelus tangan Alice dengan lembut. 

Kenapa aku jadi ngenes gini sih? Ini pasti karena ucapan Irish. Iya, ini semua salah Irish. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status