“Coba jelaskan apa ini!”
Bersamaan dengan teriakan sang suami yang baru pulang kerja, secarik kertas mengenai wajah Poppy. Hal ini membuat wanita hamil itu kebingungan. Tak biasanya Keenan bersikap kasar…. “Apa ini, Mas?” tanya Poppy sembari mengambil kertas tersebut. “Kau tidak buta huruf, kan?” sarkas Keenan.Menyadari suaminya enggan menjawab, Poppy pun gegas membaca isi kertas yang ternyata hasil laboratorium itu. Memang, perempuan itu baru saja melakukan tes darah karena diwajibkan oleh rumah sakit untuk mengecek hemoglobin, seperti yang dilakukan ibu-ibu hamil lainnya. Awalnya, tak ada masalah, sampai mata Poppy berhenti di bagian agak bawah. [ HIV: Positive ] Tangan wanita itu bergetar hebat. “Bagaimana bisa?” lirih Poppy, bingung. Keenan hanya tersenyum jijik. “Jangan bertanya padaku karena aku tidak pernah bermain dengan perempuan manapun, selain denganmu!” “Aku juga sama, Mas. Kenapa–” “Ck! Tak usah sak polos, Poppy. Aku ini dokter dan aku tahu bahwa kau tidak pernah dioperasi ataupun menerima dan mendonorkan darah. Jadi, ini pasti karena kau berselingkuh! Aku bahkan yakin anak di kandunganmu itu juga bukan milikku.” potong Keenan sembari menunjuk perut Poppy yang sedikit buncit. Wanita itu sontak menggeleng. “Aku tidak berselingkuh dengan siapapun, Mas! Tentu saja ini anakmu,” ujarnya. “Hahahaha,” tawa pria itu sarkas, lalu menatap Poppy tajam, “apa kau tidak hanya berselingkuh dengan satu orang pria saja? Jadi, sekarang kau bingung menjelaskan anak siapa dia?”Poppy kini mengusap wajahnya dengan kasar. Bingung dan sedih menyelimuti hatinya. Lebih sakit lagi karena Keenan tidak mempercayainya. “Mas, aku hanya melakukannya denganmu. Jadi ini anakmu,” ujar Poppy sekali lagi dengan wajah memelas. Ia berharap Keenan mempercayainya. Sayangnya, Poppy harus menelan kepahitan karena pria itu langsung mengangkat tangannya dan mengatakan sesuatu yang tidak pernah Poppy duga. “Poppy Hadley Clover, sekarang kau bukan lagi istriku!” “Karena kau bukan lagi istriku, sekarang lebih baik kau pergi dari sini!” tambahnya. Bruk! Tubuh Poppy didorong Keenan keluar sampai terjatuh. Dengan tenaga tersisa, wanita itu mencoba meraih tangan Keenan dan memohon. Namun, ayah dari anaknya itu justru menepis kasar tangan Poppy. “Pergi!” sentaknya. Tak butuh waktu lama, pintu rumah itu pun tertutup. Mata Poppy menatap nanar. Bagaimana bisa ini terjadi? Ia tak mengerti mengapa dirinya bisa terkena HIV. Lalu, mengapa Keenan tak percaya sedikitpun padanya? Sadar tak punya pilihan apapun, Poppy lantas berbalik dan meninggalkan rumah dengan perasaan sakit yang luar biasa. Namun, saat akan melewati gerbang rumah, ia bertemu dengan Seren–teman satu profesi Keenan di rumah sakit. “Wooow … apa yang terjadi, Poppy? Sepertinya kau baru saja dicampakan oleh Keenan,” ujarnya sembari tersenyum bahagia. Poppy melirik sekilas. Ia tahu Seren sangat terobsesi dengan Keenan dan memberitahukan pada pria itu. Namun, Keenan selalu mengira karena dirinya cemburu. Sekarang, Poppy sudah tak punya hak lagi. Jadi, ia memilih mengabaikan wanita itu dan melanjutkan langkahnya entah ke mana. Ia adalah yatim piatu. Tidak ada sanak saudara yang dia punya di kota ini. Karena terus berjalan tanpa arah, Poppy pun kelelahan. Perempuan itu memilih beristirahat di bangku taman. Namun, baru saja duduk, ia malah melihat seorang nenek yang akan dibegal. Refleks Poppy berlari lalu membantu nenek tersebut tanpa memikirkan kandungannya. “Berhenti!” seru Poppy menerjang pembegal yang sedang menodongkan sebuah senjata kepada nenek tersebut. Nenek tersebut pun bisa melepaskan diri. Melihat itu, Poppy tidak menyia-nyiakan kesempatan! Direbutnya tas nenek itu dengan cepat. “Copet! Tolong ... tolong!” Seruan Poppy lantas mengundang orang-orang di sekitar berkumpul. Menyadari jika keadaan tidak aman, pembegal memilih kabur dari amukan masa. Sementara itu, Poppy langsung menyerahkan tas kepada nenek tersebut. “Ini, Nek ….” Ucapan perempuan itu terhenti kala ia merasa perutnya begitu sakit. Refleks Poppy menunduk dan terkejut mendapati darah segar mengalir di kakinya.“Bayiku ....” Kegelapan menyambutnya seketika. ***** “Akhirnya kamu sadar juga, Nak.” Sosok nenek yang ditolongnya tadi menyambut Poppy begitu membuka mata.Entah sejak kapan ia berbaring di kamar itu. Yang jelas, Poppy kini merasa begitu pusing. “Aku di mana?” tanya Poppy masih linglung. “Di rumah sakit, tadi kamu pingsan.” Terdiam sebentar, Poppy yang baru mengingat kakinya berdarah refleks memegang perutnya. Matanya melebar karena merasa perutnya yang rata. “Bayiku?” tanyanya dengan tenggorokan tercekat. Belinda—nenek itu menunjukkan raut wajah bersalah. “Maaf ... Nak. Karena menolongku, membuatmu harus kehilangan calon anak.” “Be-benarkah?” Wajahnya Poppy semakin pucat lagi ketika ia melihat Belinda mengangguk, membenarkan. Untuk beberapa saat, Poppy hanya diam membuat Belinda semakin khawatir. Hingga tiba-tiba Poppy mejerit pilu–menyayat hati siapa pun yang mendengarkannya. “Bayiku! Kenapa semua meninggalkanku? Iba, Belinda refleks memeluk tubuh ringkih Poppy sambil menepuk punggungnya agar lebih tenang. “Tenanglah, kau tidak sendiri. Jika yang lain meninggalkanmu, maka aku akan bersamamu.” “Aku akan selalu menemanimu.” “Kau tidak sendirian.” Belinda terus menenangkan Poppy. Kehilangan bayi pasti pukulan besar untuk wanita itu. Namun, jika melihat Poppy yang begitu kacau, Belinda tahu jika masalah yang dihadapinya pasti lebih dari itu.Perlahan tapi pasti, kalimat penenang dan pelukan hangat Belinda berhasil membuat Poppy berhenti menjerit. Hanya isak tangis yang sesekali masih terdengar. Selama tiga hari Poppy dirawat, tidak sekalipun Belinda meninggalkannya. Wanita tua itu benar-benar melakukan seperti apa yang dikatakannya. “Kondisimu semakin membaik, sepertinya Dokter sudah membolehkanmu pulang nanti siang.” Belinda berkata sambil menyisir rambut sepunggung Poppy dengan penuh kasih layaknya seorang nenek kepada cucunya. Poppy yang sedang menatap kosong tersenyum miris mendengarnya. “Aku tidak memiliki rumah untuk pulang," ujarnya lirih setelah mogok bicara dalam 3 hari ini. Gerakan tangan Belinda berhenti sejenak mendengarnya. Sebenarnya, ia begitu penasaran sejak awal. Hanya saja, dia menahannya sampai hari ini. “Kalau boleh tahu, di mana suamimu, Nak?” “Aku tidak memiliki suami,” jawab Poppy dengan tenggorokan tercekat. Hatinya sakit ketika mengingat ia yang dicampakkan oleh Keenan. Apa anaknya pergi karena tahu hidupnya akan sulit bila hanya berdua dengannya? Melihat kepedihan di wajahnya, Belinda tentu heran. Namun, wanita tua itu memilih untuk tidak banyak bertanya karena ingin menjaga perasaan Poppy. “Kalau begitu, kau tinggal saja bersamaku,” ucapnya. Poppy sontak menggeleng. “Aku tidak ingin merepotkanmu.” “Aku sama sekali tidak merasa repot. Justru aku senang karena memiliki teman. Sejujurnya aku tinggal bersama cucuku, tapi dia terlalu sibuk dan jarang pulang.” “Apalagi seperti itu, nanti jika cucumu pulang dia pasti akan sangat terganggu dengan kehadiran orang asing sepertiku,” tolak Poppy lagi. “Itu tidak akan terjadi,” ujar Belinda yang masih mencoba membujuk Poppy agar mau tinggal bersamanya. “Anggap saja ini sebagai tanda terima kasih karena kau sudah menolongku juga sebagai penebus rasa bersalahku karena kau kehilangan calon anakmu.” Poppy tersenyum tipis. “Aku sudah mengikhlaskan kepergian anakku, jadi kau tidak perlu merasa bersalah.” “Kalau begitu katakan rencanamu sekarang. Apa yang akan kau lakukan setelah pulang dari sini?” Perempuan itu menoleh lalu menatap Belinda dengan ragu. “Aku ingin meminjam uangmu untuk menyewa rumah, aku janji akan mengembalikannya jika sudah memiliki pekerjaan.” Belinda terkekeh kecil mendengarnya. “Kenapa harus membayar? Aku akan memberikanmu uang, dan kau tidak perlu membayar. Untuk pekerjaan, jika kau mau aku akan meminta cucuku untuk memberikanmu pekerjaan. Bagaimana?”“Bersihkan semua area, jangan sampai ada kotor sedikit pun jika kalian tidak ingin mendapatkan hukuman!” seru kepala kebersihan pada para cleaning service.Poppy yang baru seminggu bekerja di sana sontak merasa heran karena teman satu profesinya terlihat sibuk lebih dari biasanya. “Rexi, sebenarnya ada apa?”“Kau tidak tahu? Aku dengar Pak Erza hari ini kembali dari luar negeri.”“Pak Erza … dia bos kita?” tebak Poppy yang langsung dibalas anggukan oleh Rexi, teman satu profesinya. “Kau sudah mendengar bukan jika Pak Ezra merupakan pria yang cerewet? Segalanya harus bersih dan sempurna.”“Ya … aku sudah mendengarnya dari yang lain.”“Maka dari itu kau harus melakukan pekerjaan dengan baik.”Poppy yang akhirnya mengerti pun mengangguk paham. “Baiklah, aku akan berusaha melakukan yang terbaik.”Ia lantas mengerjakan pekerjaannya sebaik mungkin karena tidak ingin mendapatkan masalah. Meski hanya sebagai cleaning service, ini adalah pekerjaan terbaik yang ia bisa lakukan karena semua do
“Boleh pergi,” lanjutnya.Mendengar itu, Poppy tampak heran. Tadi Ezra begitu menggebu, tetapi sekarang nampak tenang?Meski demikian, Poppy tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk segera pergi dari hadapan Ezra. “Aneh sekali…."Ia segera pergi dan kembali ke ruangan cleaning service.“Bagaimana? Apa Pak Ezra meminta dibuatkan kopi yang baru?” tanya sang atasan begitu Poppy tiba di sana.Wanita itu sontak menggeleng. “Tidak, Pak Ezra meminumnya.”“Benarkah?” Sean masih tidak percaya karena sudah menjadi kebiasaan jika Ezra akan minta dibuatkan kembali kopi. Paling tidak, mereka harus melakukannya tiga kali dalam sekali Ezra ingin ngopi.Poppy mengangguk membenarkan. Melihatnya semakin membuat Sean tidak percaya. “Ini di luar nalar! Bagaimana bisa Pak Ezra langsung cocok dengan kopinya? Apa kamu….” Sean menatap Poppy penuh selidik, membuat wanita itu jadi gugup.“Saya tidak tahu,” balas Poppy cepat lalu membuang muka. “Ya sudah, karena kau tidak memiliki pekerjaan. Coba bersihkan r
“Poppy, kudengar kau menumpahkan kopi di baju Pak Ezra. Apa itu benar?” tanya Rexi penasaran.Dengan lemas, Poppy mengangguk. Terang saja hal itu membuat Rexi menutup mulutnya yang terbuka secara spontan. “Ini gila! Apa yang kau pikirkan sehingga berani melakukan itu?”“Itu bukan sebuah kesengajaan, Rexi.”“Ya … aku percaya padamu, mana ada yang berani melakukan hal kurang ajar seperti itu kepada Pak Ezra jika tidak ingin mati.”Poppy mengembuskan napas berat karena memikirkan nasibnya ke depan. “Apa setelah ini aku akan dipecat?”“Aku tidak bisa menjawabnya, tapi memang bisanya Pak Ezra akan memecat karyawan yang melakukan kesalahan fatal. Dan kau, sudah melakukannya.” Mendengar itu, Poppy semakin pusing. “Apa yang harus aku lakukan sekarang?”Bersamaan dengan itu, Sean tiba-tiba menghampirinya. “Poppy, kau dipanggil Pak Ezra ke ruangannya.”“Apa? A-ada apa?” tanya Poppy tergagap.“Aku tidak tahu, lebih baik kau segera temui beliau agar mengetahui alasannya.” “Tamat riwayatku,” li
Lama, Poppy berlutut di kepada Ezra yang kini menatapnya dengan puas. Pria itu bahkan tersenyum miring. “Kau berdirilah.” Mendengarnya, Poppy lantas bangkit dengan perlahan. Namun, tubuhnya malah oleng karena kakinya kesemutan. Ia tidak kuat menahan bobotnya sendiri. Refleks, Ezra menangkap tubuh Poppy agar tidak terjatuh.Beberapa saat keduanya tertegun saat menyadari posisi yang begitu dekat. Sayangnya, itu tidak bertahan lama karena Ezra dengan kasar melepaskan. Buk!Tubuh Poppy yang belum sempat tegap pun terjatuh.“Aduh,” keluh Poppy meringis sambil mengusap pantatnya yang ngilu.“Ck! Jangan melakukan hal konyol, aku tidak akan terpengaruh.” “Memang apa yang kau pikirkan? Kakiku benar-benar lemas.”Ezra menatap Poppy tajam karena berani menyahuti ucapannya. “Sudah kukatakan untuk bersikap sopan, aku atasanmu sekarang.”“Siapa juga yang mengatakan jika kau ini bawahanku,” gumam Poppy yang masih dapat didengar oleh Ezra.“Kau … dasar jalang! Berani-beraninya bicara tidak sop
Untungnya, Poppy bisa mengendalikan diri!Sudah dua jam, perempuan itu memijat Ezra.Hal itu jelas membuat kakinya pegal dan kesemutan.Ia pun menggerakan kepala ke kiri dan ke kanan sambil memegang tengkuk untuk meregangkan lehernya yang sekarang terasa pegal. Hanya saja, Ezra yang merasa tak ada pijatan pun menghentikan gerakan jarinya di atas papan ketik.“Apa yang kau lakukan? Lanjutkan,” perintah Ezra dengan dingin.Buru-buru wanita itu kembali memijat pundak Ezra. “Aku tidak merasakan apa pun dari pijatanmu. Sebenarnya kau bisa melakukannya atau tidak?”“Maaf, Pak. Jika diizinkan saya ingin minum,” ujar Poppy mencoba menawar.“Tidak ada, aku saja tidak minum sejak tadi.”Poppy hanya bisa pasrah melakukan perintah Ezra. Wanita itu beberapa kali melihat jam pada monitor yang ada di depannya. Ia kembali mendesah karena jam pulang kantor sudah satu jam berlalu, tetapi Ezra belum menyuruhnya untuk berhenti.“Kau sedang apa? Jangan coba-coba untuk mengintip dan menyabotase proyek y
“Ck! Sebenarnya rencana apa lagi kali ini? Aku harap tidak menyusahkanku.” Poppy menggerutu sambil berjalan menuju unit apartemen milik Ezra. Menoleh ke kanan dan ke kiri ketika ia melewati beberapa pintu untuk memastikan agar tidak terlewat. Hingga akhirnya ia menemukan unit yang dimaksud."Kenapa lama sekali?" Wanita itu mengeluh karena sudah menekan bel beberapa kali, tetapi Ezra tidak kunjung membukanya. “Apa dia sedang mengerjaiku?” Lagi-lagi Poppy mengeluh karena kakinya mulai pegal menunggu tanpa kepastian. Hampir satu jam Poppy berada di sana sampai orang-orang yang kebetulan lewat menatapnya heran.Malu? Sudah jelas. Hanya saja rasa kesal lebih mendominasi. "Bilangnya jangan terlambat. Tapi lihatlah, dia malah membuang-buang waktuku!" Tidak ingin menunggu lebih lama lagi, Poppy putuskan untuk pergi. Namun, saat ia akan melangkah tiba-tiba pintu dibuka membuat Poppy mengurungkan niatnya. Wanita itu kembali berbalik dan menatap Ezra yang menguap dengan jengah.“Kau beri
“Poppy, dari mana saja kau? Sejak tadi Pak Ezra menanyakanmu!”“Mohon maaf, Pak. Tadi saya memiliki keperluan.”“Apa itu lebih penting daripada pekerjaanmu?”Tentu saja! Ingin sekali Poppy membalas Sean. Sayangnya ia tidak mungkin mengatakan tentang kontrak yang diperbaharui kemarin.“Maaf.”“Ck! Ya sudah, lebih baik kau segera temui Pak Ezra.”“Baik.” “Sekarang dia akan melakukan apa lagi padaku?” Poppy menebak-nebak saat ia baru tiba di depan ruangan Ezra.Tok! Tok! Tok!Ezra langsung menegakkan tubuhnya, menatap Poppy dengan senyum penuh arti.“Dari mana saja kau?” “Seperti yang Anda perintahkan sebelumnya, saya baru datang dari apartemen Anda, Pak.”“Ck! Apa kau yakin sudah membereskan semua ruangan?”“Sudah, Pak.” “Kalau begitu sekarang buatkan aku kopi! Sejak tadi tenggorokanku kering karena menunggu pekerjaanmu yang lama.” Tidak protes, Poppy langsung mengerjakan perintah Ezra.“Kalau haus yang tinggal minum. Kenapa harus menungguku?” Poppy melampiaskan kekesalannya dengan
“Hahaha ….” Ezra memegang perutnya yang hampir saja kram karena tertawa terlalu lama.Melihat Poppy yang gugup menjadi hiburan baginya.“Kau tenang saja, aku bukan pria yang haus belaian. Buka matamu! Aku masih memakai celana.”Perlahan Poppy membuka mata, dan benar saja pria itu mengenakan celana pendek. "Pikiranmu terlalu kotor, kau harus mencucinya!" cetus Ezra lalu memakai pakaian.Setelah kemeja dipasang, Ezra meminta Poppy untuk mengancingkannya. Tidak lagi protes, Poppy pun melakukannya. "Pasangkan juga dasinya!" "Baik." Gerakan Poppy tiba-tiba terhenti ketika Ezra menyentuh dahinya. Ia mendongak, sehingga bertemu pandang dengan Ezra tanpa sengaja. "Aku hanya ingin memastikan jika karyawanku baik-baik saja." Ezra menarik tangannya, membuat Poppy kembali memasangkan dasi. "Sudah selesai, Pak." Poppy mundur beberapa langkah. "Hemm." Pria itu pergi ke meja makan. "Kenapa berdiri di situ? Ayo duduklah!" Ragu-ragu Poppy bergabung dengan Ezra. "Kau memasak terlalu bany