Share

2. Kenyataan Pahit

Bab 2

.

“Setiap orang tak bisa mengendalikan orang lain, tapi bisa mengatur hati sendiri, untuk tidak jatuh terlalu dalam.”

*

Aluna kembali membaca nama yang tertulis di kertas yang ada di tangannya. Bahkan hingga ia berulangkali membacanya, nama itu tetap sama. Sama sekali tak berubah, meski pikirannya mengatakan ini mimpi. Ini hanya kekhawatirannya. 

Namun, kenyataan sama sekali tak berubah hanya dengan berpikir ia akan berubah. Nama suami Aluna tertulis jelas di kertas itu.

Aluna yang salah, karena ia hadir setelah Haura memiliki Abian. Namun, perempuan itu tak sepenuhnya salah. Abian tak pernah mengatakan ia telah menikahi perempuan lain di luar sana. Ia merasa di bodohi, Abian menyematkan gelar yang buruk untuknya. Gelar yang paling dibenci Aluna, perebut suami orang.

Lutut Aluna terasa begitu lemas, ditambah gejolak amarah dalam hatinya kian menjadi. Hingga ia terduduk di atas lantai keramik berwarna putih mengkilap, menampakkan bayangan samar wajahnya yang hancur menyedihkan. Duduk meratapi kisah pernikahannya yang mungkin sebentar lagi akan menuju akhir.

Abian telah membohonginya, juga keluarga dan orangtuanya. Namun, ia sama sekali tak membohongi perasaannya untuk Aluna. Perasaan tak cinta yang memang kerap kali ditunjukkan oleh lelaki itu.

Sungguh! Jika saja Aluna tahu bahwa Abian telah menikah dengan Haura, ia pasti akan berusaha lebih keras untuk tak mewujudkan keinginan orangtuanya. Jika saja Aluna tahu, ia tidak akan memberikan pengabdiannya untuk seorang lelaki yang hatinya telah tercuri oleh perempuan lain. Aluna hanya tak sanggup dengan rasa sakitnya.

Aluna benar-benar menyiapkan hatinya sendiri untuk terluka. Terluka dan melukai tanpa sengaja. Melukai hati perempuan lain yang lebih dulu memiliki Abian. 

Perempuan yang mengenakan celana sebatas paha itu mulai meneteskan air mata. Ia merapatkan tubuhnya ke dinding, memeluk lutut sendiri sebagai tumpuan kekuatan. Aluna pernah berpikir untuk berjuang atas cinta Abian. Berjuang untuk mempertahan pernikahannya, karena bagi Aluna menikah adalah sekali dalam hidup. Ia telah merelakan takdir pernikahannya. Namun, lelaki itu sendiri mematahkan usahanya bahkan sebelum ia mencoba. Aluna tak bisa berjuang sendirian tanpa balasan. Ia tak bisa bertahan pada cinta yang bertepuk sebelah tangan, karena Abian sama sekali tak bisa menerimanya.

“Bodoh!” rutuk Aluna pada diri sendiri.

“Kau hanya menyakiti diri.” Kembali Aluna merasakan hantaman keras mengoyak hatinya. Sakit. Bahkan terlalu sakit untuk sekadar dijelaskan. Ia meratapi nasibnya sendirian, seolah dipaksa untuk bungkam. Bahkan, Aluna tak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini. Aluna hanya bisa menangis, melampiaskan amarah yang memuncak dalam hatinya.

Perempuan itu masih sesenggukan di kamar Haura. Menangis atas kebodohan yang pernah ia lakukan dalam hidupnya. Juga menangis atas rasa kehilangan dalam hatinya. Kehilangan yang nyata, bahwa setelah ini dan nanti, Aluna tetap tak akan ada di hati Abian. Kosong, tak pernah tereja nama Aluna di sana.

Hampir satu jam Aluna menenggelamkan diri dalam tangisan. Perempuan itu bangkit, ia menyimpan kembali buku milik Haura, menata kembali laci itu seperti semula. Lalu, keluar dari kamar yang beberapa waktu lalu membuka rahasia besar untuknya. Rahasia yang begitu menyakitkan dalam hidupnya.

Aluna menyeka sudut matanya dengan kasar. Ia tak ingin menjadi lemah hanya karena lelaki yang tak mencintainya. Ia tak akan memperlihatkan kelemahan itu pada Abian dan Haura. Bagaimana pun, ia berhak bahagia entah dengan cara apa pun.

Aluna kembali ke kamarnya, ia mengambil kunci mobil, ingin pulang ke rumah orang tuanya.

Meskipun sebenarnya, hubungan Aluna dan orangtuanya tak terlalu baik, tepatnya sebelum ia dan Abian menikah. Namun, perempuan itu merasa perlu menenangkan diri di sana. Rumah yang Aluna anggap akan menjadi titik balik kehidupan setelah menikah, hanya menyisakan rasa sakit tak berkesudahan. Pun, saat ini Abian sedang tidak ada di rumah.

“Aku akan nginap di rumah mama.” Aluna keluar dari rumah, ia berkata pada satpam yang menjaga rumahnya. Lelaki itu mengangguk tanpa bertanya, meski melihat mata majikannya sembab. 

Lelaki berusia empat puluh tahunan itu tak berani bertanya, meski ia sering melihat suasana dingin antara majikannya. Namun, tetap saja seorang pekerja tak boleh mencampuri urusan tuannya.

*

Aluna tiba di rumah orangtuanya. Kini ia berada di depan sebuah rumah megah berwarna putih gading. Ia melajukan mobilnya memasuki rumah, diiringi seorang satpam yang menunduk begitu mobilnya memasuki halaman rumah.

“Mama papa udah pulang?” tanya Aluna pada Pak Suryono, satpam yang telah bekerja lama di rumah itu. Seingat Aluna, sejak ia mulai bisa mengingat, Pak Suryono memang telah bekerja di sana.

“Belum, Non.” Pak Suryono menjawab. Aluna sudah bisa menebak jika orangtuanya tentu belum pulang.

Setelah memarkirkan mobilnya, Aluna masuk ke dalam rumah. Ia sempat mendapat sapaan dari Mbok Sumi. Wanita paruh baya itu tergopoh-gopoh berjalan saat mendengar suara pintu terbuka, sepertinya Mbok Sumi sedang mengerjakan sesuatu di dapur. 

“Non, sendirian?” tanya wanita paruh baya itu.

Aluna hanya mengangguk tersenyum dengan terpaksa, lalu tetap menaiki tangga menuju kamarnya.

Aluna membuka pintu kamarnya, terlihat rapi seperti biasanya. Kamar yang telah lama tak ia tempati sejak ia tinggal bersama Abian di rumahnya. 

Perempuan itu merogoh ponsel dari saku hoodie yang ia kenakan. Ia mencari kontak Abian untuk memberitahu bahwa malam ini dirinya tidak tidur di rumah.

“Lakukan apa yang kau sukai, dan aku juga. Tapi tidak dengan klub, bar atau sejenisnya.” Abian menegaskan saat itu, di malam pertama mereka. 

Aluna menatap wajah dingin milik Abian. Wajah dengan raut datar dan tak bersahabat yang sering ia tunjukkan pada Aluna. Untuk pertama kali, ketika Aluna mendengar ucapan dan kalimat Abian, ia merasa sakit itu benar-benar nyata. Sakit atas pernikahan yang dibangun tanpa cinta. Ia berharap Abian berubah dan menjadi suami yang baik seperti kebanyakan orang. Berhari-hari Aluna menunggu, sikap itu masih tetap sama. Dingin dan selalu mengacuhkannya.

Tak ada kecupan hangat, atau romansa manis malam pertama seperti kebanyakan pasangan pada umumnya. Karena hanya dingin dan beku yang terasa di hati keduanya. Abian bahkan berpaling sebelum Aluna menaklukkannya.

“Terserah saja.” Aluna menjawab dengan malas. Ia tak ingin banyak berdebat dengan suaminya. 

Aluna memang kerap menolak saat perjodohan itu diputuskan oleh kedua belah pihak. Namun, ia merasa ingin mencoba untuk memperbaiki suasana hati dan mempertahankan rumah tangganya. Ia ingin membuat Abian sama seperti dirinya, menerima takdir yang berlaku untuk keduanya. 

Aluna tahu, Abian tak pernah ingin mendengar apa pun tentangnya. Abian tak pernah ingin mendengar keluh kesahnya, juga tak ingin tahu apa yang dilakukan Aluna di luar sana. Abian tak peduli. Dan, baru Aluna sadari bahwa ternyata Abian memiliki alasan tersendiri. Lelaki itu punya satu nama di hatinya, perempuan yang bahkan dengan bodohnya tak bisa menyembunyikan foto pernikahannya di rumah itu.

Ck! 

Aluna berdecak pelan seorang diri. Ia tersenyum miring sambil menatap ponsel di tangannya. Menatap layar yang telah menampilkan kontak Abian. Ia ragu untuk melakukan panggilan untuk nomor itu, hanya untuk memberitahu bahwa ia akan menginap di rumah orangtuanya. Sekaku itu, Aluna terlihat miris.

Melawan rasa takut dan ragunya, Aluna malah melakukan panggilan video call. Ia ingin melihat wajah dingin itu saat sedang ketahuan telah membohongi dirinya dan keluarga.

Abian mengaku belum pernah menikah saat ia terpaksa menikahi Aluna. Itu semua ia lakukan karena ibunya, lelaki itu tak ingin kembali melihat ibunya dirawat di rumah sakit karena penyakit sesak yang dideritanya. Lelaki itu berkorban, dan mengorbankan orang lain secara bersamaan.

Aluna dan Abian sama-sama menyayangi ibunya. Mereka sama-sama tak ingin melihat keduanya terluka. Lalu, membiarkan hati sendiri remuk tak berbentuk.

Andai Aluna lebih dulu tahu tentang semua ini, ia tak akan pernah ingin menyentuh hati itu. Ia tak akan masuk ke dalam kehidupannya. Andai waktu bisa diputar kembali, Aluna tak akan pernah datang ke klub malam itu, dan menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.

Dua kali Aluna melakukan panggilan video call. Namun, tak ada tanda-tanda Abian akan mengangkatnya untuk melihat wajahnya. Padahal kontaknya terlihat aktif. Ah, mustahil sekali lelaki itu merindukan sosok Aluna. Tiba-tiba Aluna tertawa sedikit keras sambil mencengkeram erat ponsel di tangannya. Perempuan itu tertawa, hingga setetes air meluncur dari matanya. Tetes demi tetes itu menjadi lebih deras saat Aluna membayangkan tubuh sang suami sedang berada di pelukan perempuan lain. Aluna membayangkan Abian dan Haura sedang menikmati bulan madu mereka.

Bulan madu yang entah ke berapa.

Abian menghangatkan perempuan lain. Bukan dirinya. Kenyataan itu berdengung seolah bisikan di telinga Aluna, menghantam sisi hatinya begitu keras hingga membuatnya kembali menangis.

Keduanya mungkin sedang menyatukan rasa dalam penyatuan raga. Sedangkan Aluna hanya menikmati tangisnya sendiri di kamar yang luas itu.

[Aku nginap di rumah mama.]

Send.

Aluna mengirimkan sebuah pesan W******p untuk Abian. Berharap ia membacanya. Aluna tahu, Abian tak pernah menyukai apa pun tentangnya. Namun, di titik ini Aluna merasa nama Abian menghuni hatinya. Lelaki itu tetap suaminya, dan ia berdosa jika keluar rumah tanpa izin sang suami. Aluna memang tak pernah mendalami agamanya sendiri, tapi setidaknya itu adalah pidato sang kyai di hari pernikahan mereka.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
dasar dungu. udah tau kenapa suami mu bersikap seperti itu msh aja berharap. hanya orang dungu yg tetap bertahan setelah diperlakukan seperti itu g usah banyak alasan utk menghibur diri mu sendiri. bahagia g bahagia tergantung dirimu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status