'Udah kuduga. Pasti bakal begini,' batin Naren. Naren lantas mencekal tangan Zanna dan melepaskan belitan Zanna dari tubuhnya."Ya udah kamu istirahat sana," ucap Naren mencoba sabar, walau ingin rasanya ia meneriakkan segala isi otaknya di depan Zanna."Kak Naren udah nggak marah lagi sama aku?""Aku nggak suka kalo kamu nggak serius berobat, Na. Ini bukan demi aku. Ini demi kamu, kesehatan kamu."Zanna menunduk seolah ingin menangis. "Iya, aku tau. Maaf, Kak. Kak Naren nggak akan pergi kan?""Aku nggak akan pergi kalo kamu jujur udah ngelakuin itu semua."Beberapa detik berlalu tapi Zanna masih bungkam."Ok, kalo gitu aku pergi," ancam Naren."I ... iya, Kak. Aku ... aku cuma pengen Kak Naren.""Pengen apa? Perhatianku? Bukannya udah kukasih, Na. Aku juga punya kehidupan sendiri yang harus kuurus.""Aku nggak mau Kak Naren sama Rhea.""Trus kamu maunya aku sama siapa? Sama kamu?"Zanna memandang Naren yang tengah menatapnya dengan frustrasi. "Rhea udah pergi, apa aku nggak bisa gant
Jantung Naren berdebar saat melihat mobil Rhea berada di pelataran parkir Amigos."Pasti lo berharap ada Rhea di dalam?" ledek Pras yang melihat Naren menegakkan punggungnya dan menatap mobil Rhea tanpa berkedip."Bisa nggak sih gue make keberuntungan gue seumur hidup untuk kesempatan kali ini? Gue rela nuker keberuntungan gue seumur hidup asal gue bisa ngelihat Rhea sekarang.""Jangan sembarangan lo! Lo masih butuh keberuntungan lo buat dimaafin sama Rhea, lo juga butuh keberuntungan lo buat berdiri di pelaminan sama Rhea.""Ah iya." Naren menghela napas berat lalu turun dari mobil yang dikendarai Pras.Lagi, ia menatap mobil Rhea, berharap ada keajaiban yang terjadi.Coffee shop itu tampak lebih padat daripada biasanya. Mungkin karena weekend, banyak pasangan yang menghabiskan waktu bersama. Ada juga beberapa meja yang diisi beberapa orang yang tampak bercanda sampai terbahak.Ah, semua orang terlihat bahagia. Naren merasa semakin terpuruk dengan keadaannya. Kapan ia bisa berduaan l
"Kalian dari mana? Kok bisa bareng?" tanya Brian saat membukakan pintu unit apartemennya.Siang itu, mereka tiba-tiba mengatur janji temu untuk membahas beberapa permasalahan, termasuk hubungan Naren dan Rhea.Naren dan Pras masuk bergantian, lalu langsung menjatuhkan diri di kursi meja makan, di mana Rama sudah duduk menunggu."Kalian kayak baru pulang dari medang perang," ledek Rama melihat kondisi kedua temannya yang kelelahan."Iya.""Emang"Naren dan Pras menjawab bergantian. Keduanya menghela napas. Apalagi Naren yang terlihat seperti benang kusut.Bagaimana mungkin mereka bisa menjawab 'tidak,' atas pertanyaan Rama itu. Keduanya baru saja kembali setelah semalaman mengawasi Zanna, kemudian menerima kalimat-kalimat pedas yang keluar dari mulut sahabat Rhea.Pras yang hanya menemani Naren saja sampai menelan ludah berkali-kali saat menghadapi Amee, apalagi Naren yang terus di-supply cerita penderitaan Rhea.Pasti saat ini lelaki itu semakin hancur. Seakan sakit hati Rhea bermingg
"Kemaren Rhea naik kereta ke Semarang. Tapi ... habis itu jejaknya ilang. Dia nggak pesen hotel, nggak pesen transportasi online. Kayaknya dia bener-bener bertransaksi secara manual. Mungkin juga dia ke rumah saudara atau temennya. Yang jelas jejak terakhir yang didapetin anak buah gue, ya cuma sampe di Stasiun Semarang Tawang."Naren tiba-tiba saja berdiri. "Gue mesti berangkat ke Semarang sekarang.""Trus lo mau lontang-lantung di Semarang? Yang bener aja, Ren." Pras menatap Naren dengan bingung. Sepengetahuannya, Naren adalah orang yang sangat rasional. Yang Pras lupakan, bahwa setiap orang rasional bisa berubah menjadi irasional saat berhubungan dengan 'cinta'."Tunggu dulu sehari dua hari, Ren. Semoga aja anak buah gue bisa nemuin petunjuk lebih jelas."Naren menghela napas berat. "Paling nggak gue selangkah lebih dekat sama dia kalo gue berangkat ke Semarang sekarang."Ketiga temannya hanya bisa menggeleng pasrah melihat tingkah Naren.***"Vic, saya masuk cuma demi rapat gabung
Sekitar pukul delapan pagi, Naren menapakkan kaki di Bandara Dewadaru, bandara yang lebih mirip seperti rumah dibanding bandara. Bahkan rumah Naren yang di Cempaka Putih lebih besar tiga kali lipat dibanding bandara itu.Tak pernah terpikirkan seumur hidupnya ia akan berada di pulau ini, yang bahkan nama pulaunya saja baru menarik perhatiannya beberapa hari lalu.Kalau bukan demi Rhea, pulau ini tak akan ada dalam kamus hidupnya.Naren langsung mengaktifkan ponselnya, membuka salah satu foto Rhea dan bertanya ke salah satu petugas bandara. Ia sangat berharap salah satu saja dari petugas bandara itu mengetahui keberadaan Rhea."Permisi, Pak. Mau numpang tanya." Naren menunjukkan foto Rhea di layar ponselnya. "Mungkin Bapak pernah ngelihat cewek ini? Beberapa hari yang lalu ke sininya."Lelaki yang diperkirakan Naren berusia sekitar empat puluhan itu menatap foto Rhea dengan seksama, kemudian memanggil salah seorang temannya. "Pak Gatot, sini, Pak. Ini masnya nyariin Mbak yang nginep di
"Minta maaf ke aku? Buat apa? Jingga yang nelen sakit hati, bukan aku!" ucap Leny sambil mendengkus dengan ekspresi galak yang sebenarnya jarang ia keluarkan. Leny menggelengkan kepala seakan tidak mengerti, bagaimana sahabatnya bisa mencintai lelaki di depannya itu walau sudah berkali-kali disakiti.Demi menjaga hubungan baik di antara mereka, Brian setengah mati meminta kepada Leny untuk ikut berkumpul bersama teman-temanya sekaligus untuk berbaikan dengan Naren. Brian bahkan mengajak Leny dan teman-temannya berkumpul di rumah orang tuanya, bukan apartemennya, agar Leny tidak terlalu 'liar' seperti sebelumnya."Aku tau, tapi aku nggak bisa minta maaf sama Rhea kalo aku nggak ketemu sama dia, Len."Leny kembali mendengkus kesal. Tidak mungkin ia akan memberitahukan keberadaan Rhea, seandainya ia tahu.Brian bertatapan dengan Rama, seakan mengirimkan kode yang hanya mereka pahami."Gue bikinin cemilan dulu ya.," ucap Brian kemudian."Aku ikut, Bang. Nggak mau aku ditinggal di sini," r
“Hei Ren,” sapa Dio yang terlihat membawa tumbler dengan merk sebuah gerai kopi ternama.Siapa yang tidak mengenal Narendra di perusahaan tempatnya bekerja. Casanova yang juga menjabat Direktur Legal. Tidak ada seorang pun di perusahaan itu, atau mungkin bahkan di Jakarta, yang memiliki jam terbang pacaran sebanyak dirinya.“Lo masih sama Ratri?” Dio menarik lengan Naren untuk mengajaknya ke tukang bubur yang berada di belakang kantor mereka.Dio yang juga merupakan teman semasa kuliah Naren dan masuk ke perusahaan yang sama—hanya berbeda departemen—tentu saja tahu sepak terjang Narendra.“Ratri?”“Shit! Masih aja lo ya. Abis macarin anak orang trus dilupain begitu aja.”Naren masih terlihat berpikir keras mengingat-ingat siapa sosok Ratri yang dibicarakan Dio.“Adiknya Friska, temen kuliah kita. Friska juga pernah lo pacarin. Pasti lo lupa juga. Udah deh, capek bikin lo inget. Intinya, sekarang lo lagi ada cewek nggak?”“Ada. Danisha.”“Siapa lagi itu Danisha?”Naren mengedikkan bahu
“Rhea kenapa?” tanya Dio yang kaget melihat Rhea tiba-tiba menunduk. “Ada yang jatuh?”“Oh, nggak, Pak. Lagi nyari lap buat kacamata saya, Pak.” Rhea berakting membuka tasnya dan mencari apa yang ia sebut tadi dengan asal.‘Oh shit! Gue nggak mungkin buka kacamata gue, pasti bakal langsung ketahuan.’ Rhea merutuki kebodohannya.“Kai, aku ke toilet dulu ya,” bisik Rhea ke Kaira.“Pak, saya permisi ke toilet sebentar,” ucap Rhea meminta izin kepada atasannya.Rhea merasa sedang beruntung, Naren sama sekali tidak memperhatikan sekitar karena sedang sibuk memainkan ponselnya.Setibanya di dalam toilet, Rhea langsung mengelurkan barang-barang bawaannya yang ada di dalam tas. Dia mengingat-ingat kembali bagaimana penampilannya saat SMA.Rhea seketika tersenyum miris, tidak banyak yang berubah pada dirinya. Bahkan panjang rambutnya masih sama. Satu-satunya yang mungkin bisa jadi penyelamatnya adalah kacamata. Dulu semasa SMA ia tidak memakai kacamata, jadi harusnya Naren tidak akan menyadari