"Kemaren Rhea naik kereta ke Semarang. Tapi ... habis itu jejaknya ilang. Dia nggak pesen hotel, nggak pesen transportasi online. Kayaknya dia bener-bener bertransaksi secara manual. Mungkin juga dia ke rumah saudara atau temennya. Yang jelas jejak terakhir yang didapetin anak buah gue, ya cuma sampe di Stasiun Semarang Tawang."Naren tiba-tiba saja berdiri. "Gue mesti berangkat ke Semarang sekarang.""Trus lo mau lontang-lantung di Semarang? Yang bener aja, Ren." Pras menatap Naren dengan bingung. Sepengetahuannya, Naren adalah orang yang sangat rasional. Yang Pras lupakan, bahwa setiap orang rasional bisa berubah menjadi irasional saat berhubungan dengan 'cinta'."Tunggu dulu sehari dua hari, Ren. Semoga aja anak buah gue bisa nemuin petunjuk lebih jelas."Naren menghela napas berat. "Paling nggak gue selangkah lebih dekat sama dia kalo gue berangkat ke Semarang sekarang."Ketiga temannya hanya bisa menggeleng pasrah melihat tingkah Naren.***"Vic, saya masuk cuma demi rapat gabung
Sekitar pukul delapan pagi, Naren menapakkan kaki di Bandara Dewadaru, bandara yang lebih mirip seperti rumah dibanding bandara. Bahkan rumah Naren yang di Cempaka Putih lebih besar tiga kali lipat dibanding bandara itu.Tak pernah terpikirkan seumur hidupnya ia akan berada di pulau ini, yang bahkan nama pulaunya saja baru menarik perhatiannya beberapa hari lalu.Kalau bukan demi Rhea, pulau ini tak akan ada dalam kamus hidupnya.Naren langsung mengaktifkan ponselnya, membuka salah satu foto Rhea dan bertanya ke salah satu petugas bandara. Ia sangat berharap salah satu saja dari petugas bandara itu mengetahui keberadaan Rhea."Permisi, Pak. Mau numpang tanya." Naren menunjukkan foto Rhea di layar ponselnya. "Mungkin Bapak pernah ngelihat cewek ini? Beberapa hari yang lalu ke sininya."Lelaki yang diperkirakan Naren berusia sekitar empat puluhan itu menatap foto Rhea dengan seksama, kemudian memanggil salah seorang temannya. "Pak Gatot, sini, Pak. Ini masnya nyariin Mbak yang nginep di
"Minta maaf ke aku? Buat apa? Jingga yang nelen sakit hati, bukan aku!" ucap Leny sambil mendengkus dengan ekspresi galak yang sebenarnya jarang ia keluarkan. Leny menggelengkan kepala seakan tidak mengerti, bagaimana sahabatnya bisa mencintai lelaki di depannya itu walau sudah berkali-kali disakiti.Demi menjaga hubungan baik di antara mereka, Brian setengah mati meminta kepada Leny untuk ikut berkumpul bersama teman-temanya sekaligus untuk berbaikan dengan Naren. Brian bahkan mengajak Leny dan teman-temannya berkumpul di rumah orang tuanya, bukan apartemennya, agar Leny tidak terlalu 'liar' seperti sebelumnya."Aku tau, tapi aku nggak bisa minta maaf sama Rhea kalo aku nggak ketemu sama dia, Len."Leny kembali mendengkus kesal. Tidak mungkin ia akan memberitahukan keberadaan Rhea, seandainya ia tahu.Brian bertatapan dengan Rama, seakan mengirimkan kode yang hanya mereka pahami."Gue bikinin cemilan dulu ya.," ucap Brian kemudian."Aku ikut, Bang. Nggak mau aku ditinggal di sini," r
"Vic, saya cuti ya beberapa hari, mulai besok," ucap Naren sebelum lupa, selagi ia melewati depan meja Vica."Kalau boleh tahu, selama Pak Naren cuti, posisi Pak Naren di mana ya, Pak?"Dengan kecurigaan Naren bahwa ada orang-orang terdekatnya yang bekerja sama dengan Rhea, ia berniat untuk menutupi keberadaannya, dari siapa pun, teman-temannya, sekretarisnya, bahkan papanya. Mungkin hanya kakeknya yang tahu kalau ia akan berkunjung ke kediaman kakeknya di Dieng."Ya di mana aja yang penting bisa istirahat," kilahnya."Di Jakarta, Pak? Kalau ada yang urgent?""Ya ... telepon aja, whatsapp, email, kan banyak media, Vic.""Baik, Pak." ucap Vica yang menunduk tidak nyaman kalau Naren sudah mulai mengeluarkan aura intimidasinya.Setelah melalui perdebatan panjang dengan diri sendiri, Naren akhirnya memutuskan untuk mengunjungi kakeknya sesuai kebiasaannya. Lagipula sudah hampir seminggu Naren menunggu kabar dari anak buah papanya dan anak buah Rama tentang keberadaan Rhea dan hasilnya mas
"Loh kamu udah pulang, Rhe? Gimana ibu-ibu di sana? Pada ngerti kan setelah kamu ajari beberapa hari?"Rhea tersenyum sambil mengangguk. Di antara kegiatannya akhir-akhir ini, bisa dibilang permintaan Aditama untuk mengajarkan sedikit ilmu akuntansi, atau lebih tepatnya pembukuan sederhana kepada beberapa orang yang memiliki usaha rumahan, adalah hal yang paling berfaedah.Rhea memang datang ke Dieng, ke rumah Aditama, setelah ia berhasil menghindari Naren di Malang. Semula ia hanya ingin menghubungi kakek Naren itu via telepon, untuk membicarakan masalah ruko di Bintaro yang tidak ingin dikelolanya lagi. Bagaimana pun harus ada orang yang menggantikannya mengawasi finishing interior ruko yang dirombak menjadi coffee shop itu.Tapi Aditama tidak menerimanya begitu saja. Ia meminta Rhea untuk bertemu langsung dan mendiskusikan semuanya.Rhea yang saat itu tengah berada dalam perjalanan ke Surabaya, akhirnya mengalah dan mengubah tujuannya ke Wonosobo. Toh dia memang tidak punya tujuan
“Hei Ren,” sapa Dio yang terlihat membawa tumbler dengan merk sebuah gerai kopi ternama.Siapa yang tidak mengenal Narendra di perusahaan tempatnya bekerja. Casanova yang juga menjabat Direktur Legal. Tidak ada seorang pun di perusahaan itu, atau mungkin bahkan di Jakarta, yang memiliki jam terbang pacaran sebanyak dirinya.“Lo masih sama Ratri?” Dio menarik lengan Naren untuk mengajaknya ke tukang bubur yang berada di belakang kantor mereka.Dio yang juga merupakan teman semasa kuliah Naren dan masuk ke perusahaan yang sama—hanya berbeda departemen—tentu saja tahu sepak terjang Narendra.“Ratri?”“Shit! Masih aja lo ya. Abis macarin anak orang trus dilupain begitu aja.”Naren masih terlihat berpikir keras mengingat-ingat siapa sosok Ratri yang dibicarakan Dio.“Adiknya Friska, temen kuliah kita. Friska juga pernah lo pacarin. Pasti lo lupa juga. Udah deh, capek bikin lo inget. Intinya, sekarang lo lagi ada cewek nggak?”“Ada. Danisha.”“Siapa lagi itu Danisha?”Naren mengedikkan bahu
“Rhea kenapa?” tanya Dio yang kaget melihat Rhea tiba-tiba menunduk. “Ada yang jatuh?”“Oh, nggak, Pak. Lagi nyari lap buat kacamata saya, Pak.” Rhea berakting membuka tasnya dan mencari apa yang ia sebut tadi dengan asal.‘Oh shit! Gue nggak mungkin buka kacamata gue, pasti bakal langsung ketahuan.’ Rhea merutuki kebodohannya.“Kai, aku ke toilet dulu ya,” bisik Rhea ke Kaira.“Pak, saya permisi ke toilet sebentar,” ucap Rhea meminta izin kepada atasannya.Rhea merasa sedang beruntung, Naren sama sekali tidak memperhatikan sekitar karena sedang sibuk memainkan ponselnya.Setibanya di dalam toilet, Rhea langsung mengelurkan barang-barang bawaannya yang ada di dalam tas. Dia mengingat-ingat kembali bagaimana penampilannya saat SMA.Rhea seketika tersenyum miris, tidak banyak yang berubah pada dirinya. Bahkan panjang rambutnya masih sama. Satu-satunya yang mungkin bisa jadi penyelamatnya adalah kacamata. Dulu semasa SMA ia tidak memakai kacamata, jadi harusnya Naren tidak akan menyadari
“Sore Mel. Pak Dio ada?”Kedatangan Naren ke Departemen Finance bukan hal yang aneh, tapi juga bukan hal yang lumrah. Para pegawai tahu kalau Naren dan Dio berteman. Karena itu, memang beberapa kali mereka mendapati Naren di ruangan Dio atau sebaliknya.Sekretaris Dio menjawab dengan sapaan yang luar biasa ramah. Senyuman menghiasi bibirnya kala sahabat dari atasannya itu menyapanya. “Ada Pak.”Setelah lelah bekerja seharian, kehadiran Naren layaknya oase di gurun pasir. Bukan hanya bagi Amel, tetapi bagi pegawai wanita di departemen itu, entah itu masih single atau sudah bersuami.Naren mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencoba menemukan sosok yang dia cari, yang sebenarnya menjadi alasannya sore itu untuk datang ke ruangan Dio.“Pak Naren, ada yang bisa dibantu lagi?” tanya Amel, sekretaris Dio.“Oh, nggak, nggak, saya boleh langsung masuk?”“Selagi ngga ada tamu kan biasanya Pak Naren langsung masuk.”Menyadari keanehan sikapnya, Naren memutuskan menghentikan aksi pencariannya d