“Rhea!” seru Hani lumayan kencang sambil menepuk lengan atas Rhea agar wanita itu tersadar dari lamunannya.‘Ck! Ngehayal aja Rhe,’ rutuknya dalam hati.Teh hangat yang tadi disodorkan Brama masih ada di tangannya. Ia meletakkannya di atas meja tanpa berniat sedikit pun untuk menyentuhnya.Brama menatap Rhea yang tidak berani menyentuh minuman darinya. “Teh buatan saya nggak dicobain, Mbak Rhea?”Untungnya Rhea memasang earphone ke telinganya sejak beberapa menit yang lalu, ia berpura-pura sama sekali tidak mendengar ucapan dari Brama.Naren yang sudah ditolak, dijauhi, dan diabaikan Rhea berulang kali, mulai merasakan keanehan pada diri Rhea. Wanita itu juga menghindari Brama, entah karena apa. Haruskah ia senang dengan kenyataan ada orang lain yang diperlakukan layaknya kuman oleh Rhea?“Setelah ini kita balik ke villa dulu aja,” ucap Naren. “Istirahat dulu, data-data yang kita butuhkan udah disiapkan, nanti kita pelajari di sana aja.”Semua bersorak mendengarnya, termasuk Rhea yang
Rhea berlari menaiki anak tangga. Puas rasanya bisa menendang lelaki itu tepat di kemaluannya. Dulu, setelah kejadian tidak mengenakkan itu, orang tua dan sahabat-sahabatnya jadi over protective padanya. Jangankan untuk menampar atau menendang Brama, bahkan untuk bertemu meminta penjelasan pun ia tidak diizinkan.Rhea menutup pintu—lebih seperti membanting karena ia menutupnya sambil berlari dan tidak lupa menguncinya.“Brama, kok kamu di sini?” tanya Naren yang baru keluar dari kamarnya karena mendengar pintu kamar Rhea yang dibanting.Brama yang tengah menaiki anak tangga—sesaat setelah rasa sakitnya mulai mereda—cukup terkejut ketika melihat Naren berada di puncak tangga dan menegurnya. “Hmm ... saya nganter bandrek, Pak. Kebetulan ada bandrek yang enak deket sini.”“Oh, makasih ya. Trus kamu mau ke mana?” Naren menatap Brama penuh curiga. Kalau memang hanya mengantar bandrek, untuk apa lelaki itu sampai berniat naik ke lantai 2?Lagi, Brama tergagap mendengar pertanyaan Naren. Tid
"Kamu belum mau cerita?" Naren mulai melajukan mobilnya, jarak antara gudang dan kantor memang cukup dekat, karena itu ia memilih bertanya langsung sebelum mereka tiba di kantor."Tentang?"Naren menghela napas. Ia tadi menyaksikan sendiri bagaimana Rhea memancarkan tatapan permusuhan kepada Brama dan bagaimana wanita itu selalu menghindar atau menjaga jarak dari Brama. Bagaimana bisa dia masih bertahan pada pendiriannya untuk menyimpan semuanya sendiri."Aku udah ngelihat semuanya, Rhe. Gimana kamu sembunyi di samping atau di belakangku selama ada Brama. Aku nggak bisa ngelindungin kamu kalo kamu nggak cerita.""Aku bisa ngelindungin diri sendiri.""Oh ya? Kamu sadar nggak kalo semalem Brama hampir naik ke lantai 2?"Rhea tertegun sesaat. Ia tidak menyangka kalau malam sebelumnya setelah ia menendang Brama, lelaki itu benar-benar tidak tahu malu dengan berniat menyusulnya. "Tapi kan kamarku kukunci.""Aku nggak bilang kalo Brama mau ke kamarmu loh."'Ah sial! Kejebak!' batin Rhea.Ti
"Jadi belom ada kemajuan?" tanya Pras yang berkunjung ke rumah Naren di kala matahari belum terbit sempurna.Pras, mungkin memang yang paling peka di antara member The Troublemakers. Ia yang pertama kali menyadari kalau perasaan Naren kepada Rhea jauh lebih serius daripada kelihatannya. Ia juga yang pertama kali memaki-maki Naren karena memutuskan Rhea demi obsesi pacaran tiga puluh harinya, dan kini ia satu-satunya yang tahu kalau Naren tengah mendulang karmanya.Naren menjawab pertanyaan Pras dengan gelengan. "Masa ya gue mesti kesiram air panas dulu baru dia bisa kalem di deket gue," imbuh Naren sambil menunjukkan lengannya yang sebenarnya sudah tidak ada bekas luka lagi.Pras puas terbahak melihat kesengsaraan sahabatnya itu. "Sejak kapan sih lo nyadar kalo lo udah ... let's say jatuh cinta sama dia?"Naren mengedikkan bahu. "Mungkin waktu Kakek gue bilang kalau hati gue yang bakalan tau ketika gue jatuh cinta sama seseorang.""Trus kenapa sekarang lo balik ke Jakarta? Kata lo dia
Naren mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi sambil berusaha tetap fokus menyetir, padahal otaknya dipenuhi pertanyaan tentang kondisi Rhea saat ini. Leny tidak menghubunginya lagi sejak telepon terakhirnya, bisa diasumsikan tidak ada hal buruk lagi terjadi setelahnya. Tapi tetap saja ia resah sebelum melihat langsung kondisi Rhea.Apa ada hubungannya dengan Brama? Pertanyaan itu begitu mengganggu pikirannya. Andai saja ia tidak kembali ke Jakarta.Pukul 21.30, akhirnya Naren sampai di villa kakeknya yang berlokasi di Puncak Bogor. Sembilan puluh menit perjalanan yang bagai sembilan jam bagi Naren. Ia langsung turun dari mobil dan menemukan Bi Mar dan Mang Sam sedang duduk di teras villa menunggunya. "Rhea mana?" tanyanya langsung."Mbak Rhea di kamarnya sama Mbak Leny, Mas. Mungkin Mas Naren perlu lihat kondisi dapur dulu sebelum naik ke atas. Soalnya Mbak Leny ngelarang bibi buat ngebersihin, katanya biar Mas Naren bisa ngelihat dulu."Naren mengikuti langkah dua orang keperc
"Ngga, gue perlu ambil cuti nggak buat nemenin lo di sini?" tanya Leny saat menemani Rhea sarapan di teras rumah.Rhea memang sudah jauh lebih tenang setelah cerita kejadian buruknya kepada Naren. Leny yang malam itu akan mengantar chamomile tea ke kamar Rhea, tidak sengaja mendengar sebagian ceritanya, tapi itu saja sudah sangat menyesakkan. Rasanya ia tidak bisa tenang meninggalkan Rhea sendiri. Kini Leny sadar, ternyata permasalahannya dijodohkan oleh orang tuanya hanya seujung kuku dibanding permasalahan Rhea."Lo mau cuti berapa lama? Gue aja nggak tau bakal di sini berapa lama,” jawab Rhea."Jadi ceritanya ngusir nih? Mentang-mentang udah ada Kak Naren."Rhea melemparkan tisu bekasnya mengusap mulut kepada Leny, yang ditimpali sahabatnya itu dengan gelak tawa."Bilang ke Kak Naren aja kalo lo mau balik ke Jakarta. Harusnya setelah kejadian semalem, dia nggak bakal ngelarang.""Nope. Ada yang harus gue selesaikan.""Tapi hati-hati ya, Ngga. Gue nggak tenang nih.""Ada gue Len. Te
"Kalian masuk dulu!" perintah Naren.Sudah beberapa hari mereka berangkat dengan mobil kantor, termasuk Naren yang terpaksa mengikuti kemauan Rhea untuk bergabung bersama anggota tim yang lain.Rhea berdecak pelan melihat ke mana arah Naren berjalan. 'Begitu bilang suka sama aku? Ck!' batinnya."Cemburu, Rhe?" ledek Hani yang selalu menempel dengan Rhea sejak mendapat perintah untuk selalu ada di sekitar Rhea termasuk ke toilet."Nggak ya ....""Lagian Pak Naren gimana sih, katanya lagi ngedeketin kamu, kok sekarang malah nyamperin cewek lain."Rhea mengedikkan bahu. "Once a player always be a player. Sekali buaya ya tetep buaya.""Kan buaya itu hewan yang paling setia, Rhe.""Oh iya ... buaya darat maksudku. Buaya darat yang ada definisinya di KBBI." Rhea melangkahkan kakinya masuk ke dalam gedung, tanpa menengok lagi ke arah Naren yang sebelumnya terlihat berbincang dengan seorang wanita.***"Pagi, Yu."Wanita mungil yang disapa Naren itu melemparkan senyum manisnya. "Pagi, Pak. Ba
"Ini apa?" tanya Rhea bingung.Keduanya masih berada di balkon, dengan tangan Naren yang menengadah untuk melingkupi tangan Rhea, seakan apa yang ada di tangan Rhea memiliki beban yang sangat berat."Flashdisk.""Aku tau ini flashdisk, maksudku isinya apa?""Laporan asli yang sudah dimanipulasi Brama. Belum semuanya aku dapet. Aku masih terus usaha."Mata Rhea membelalak sempurna. Harusnya laporan asli itu hanya Brama dan (mungkin) orang kepercayaan Brama yang memegang. Tapi bagaimana caranya Naren bisa mendapatkan laporan itu hanya dalam waktu beberapa hari?"Kamu dapet dari mana?"Naren terdiam, masih menimbang-nimbang apakah Rhea akan bisa menerima apa yang akan dijelaskannya."Brama nggak muncul beberapa hari ini." Rhea menatap Naren penuh curiga. "Kamu nggak ngapa-ngapain dia kan?""Aku dapet dari Ayu." Setelah mempertimbangkan sesaat, lebih baik Rhea mengetahui bagaimana cara ia mendapatkan laporan itu daripada Rhea tahu apa yang telah dilakukannya pada Brama.***-Beberapa hari