Tidak lama setelah itu, Dewi Panguripan datang menghampiri Ajiseka, wanita pemilik padepokan Kahuripan itu menelisik raut wajah putra angkatnya.“Ada apa Ajiseka ... sepertinya ada sesuatu yang kau temui di luar sana, hm?” tanya Dewi Panguripan sembari mengulas senyum tipisnya.“Ada kanjeng Ibu, sepertinya saya harus melakukan sesuatu, saya melihat perilaku kekejian yang melebihi binatang. Tetapi saya tidak bisa melakukan apa-apa untuk menyelamatkan mereka yang menjadi korban, lalu apa yang harus saya lakukan?” adu Ajiseka kepada gurunya.“Kekejian seperti apa yang Kau maksud anakku? Banyak macam kekejian yang terjadi, baiknya sebutkan yang Kau lihat,” Ajiseka menjelaskan semua yang ia saksikan kepada Dewi Panguripan.“Itulah mengapa Romomu menitipkan dirimu kepada Ki Sawung, begitu banyak kekejian serupa, salah satunya berada di wilayah Punden,” ujar Dewi Panguripan.“Apakah yang saya lihat itu berada di kawasan Punden?” tanya Ajiseka.“Tidak, sebab di wilayah Punden tidak ada pemuki
Di alam yang sama sekali tidak tampak matahari Ajiseka melatih dirinya sendiri. Hal itu dilakukan Ajiseka untuk menghilangkan kebosanannya saat mendalami digdaya yang diajarkan oleh Dewi Panguripan. Beruntung Ajiseka pernah belajar Kanuragan dengan Janudoro, sehingga dirinya dapat mempelajari kembali dan memodifikasi jurus-jurus yang pernah ia pelajari. Hal itu membuat Dewi Panguripan urung menitipkan Ajiseka ke salah satu guru di padepokannya.Tidak disangka jika aktivitas Ajiseka di alam lelembut sudah berjalan lama, bahkan kini Ajiseka sudah tumbuh menjadi seorang remaja.“Ajiseka anakku, sepertinya Kau sudah siap untuk melakukan pembuktian diri. Belajarlah ilmu Kanuragan bersama murid-murid yang lain, sebab disana nanti akan ada banyak Pengalaman. Setiap tingkatan akan mendapatkan ujian yang berbeda, Kau juga akan menemukan teman-teman baru. Ibu harap kamu bisa menjaga diri, tetap merendah dan yang paling penting, jangan mencari musuh. Sebab disana Kau akan bertemu berbagai ragam
Dua energi berbenturan cukup keras, pasalnya keduanya sama-sama menyerang, jika semula Ajiseka masih menahan diri agar tidak terjadi perkelahian, kali ini ia melawan dengan digdaya yang tidak ia sadari.“Ah! Seperti melawan Ki Kumbolo saja,” gerutu Ajiseka manakala lawannya terus bergerak cepat merangsek ke arah dirinya.“Bocah! Lawan dia! Atau Kau akan terluka dan pulang sia-sia, dasar bod*h!” ucapan Kumbolo membuat Ajiseka kebingungan. Pasalnya ia merasa Kumbolo begitu dekat, bahkan suaranya seperti tidak berjarak darinya.“Hoy! Ki! Dimana dirimu, he?” tanya Ajiseka sembari menoleh kesana kemari.“Berisik! Aku berada di alam bawah sadarmu bod*h! Lawan atau lebih baik Kau pulang sekarang juga!” umpat Kumbolo.“Iya, iya ...” jawab Ajiseka sembari melesat menyambut serangan yang sudah mulai mengancam posisinya.Kumbolo sendiri tengah duduk di singgasana kecilnya, tepat di alam bawah sadar Ajiseka. Menonton jalannya pertarungan antara Ajiseka dengan penjaga padepokan yang berada di bawa
“Ada apa, Kakang Rimpang. Sepertinya ada sesuatu yang membuat dirimu khawatir,” ucap Ajiseka manakala pemuda yang memanggilnya berada tepat di depannya.“Gawat! Ki Balung Wojo akan memilih salah satu dari kita untuk mengikuti pertandingan perguruan, jujur aku belum siap untuk hal itu,” ucap Rimpang.Mendengar itu Ajiseka dan Condro Kumolo malah saling pandang, keduanya tidak langsung menjawab ucapan dari rekannya.“Pertandingan atau latihan gabungan Kang?” Ajiseka merasa ucapan kedua temannya tidak sama.Menurutnya jika latihan gabungan tentu tidak ada adu kekuatan antar murid. Namun, jika yang terjadi adalah pertandingan tentu akan berbeda lagi.“Akan ada murid dari perguruan lain selain dari padepokan Kahuripan, aku tidak tau persis apa namanya,” jawab Rimpang.“Kalaupun ada pertandingan pasti kita akan dipilihkan lawan yang seimbang,” ucap Ajiseka. Ia sendiri tidak terlalu menghawatirkan soal itu, pasalnya dirinya sudah pernah melawan musuh yang memiliki digdaya melebihi dirinya.“
Kedua sahabat Ajiseka berteriak hampir bersamaan. Pasalnya mereka melihat benda tajam itu melesat cepat ke arah tubuh bagian atas Ajiseka, tentu jika sasarannya tubuh bagian atas maka akan sangat sulit untuk menghindarinya. Namun, nyatanya bukan anggota tubuh Ajiseka yang dituju, melainkan akar yang membelitnya.“Ah! Terimakasih kisanak,” ucap Ajiseka sembari menurunkan tubuhnya secara perlahan, Ya! Ajiseka tidak terjatuh seperti dua temannya, ia masih tetap mengambang. Bahkan, tidak bergerak saat akar itu terlepas dari kakinya.“Kau rupanya yang dipilih oleh Ki Balung Wojo, heah ...” pemuda itu langsung menyerang Ajiseka. Ia tidak memberi kesempatan sedikit pun kepada Ajiseka. Bahkan, serangannya terhitung cukup tajam, ia mengincar titik vital di tubuh lawan. Namun, Ajiseka cukup lihai menghindari semua serangan yang di terima.“Siapa Kau kisanak!” ucap Ajiseka. Dirinya tidak tau asal-usul dan tujuan pemuda asing yang menyerangnya. Hal itu membuat Ajiseka ragu melakukan perlawanan, i
“Raja Tirtadunya.” Setelah berucap Kumbolo langsung lesap. Begitu juga dengan si pemuda, ia kembali tersadar.Kehadiran raja Tirta Dunya membuat pemuda itu enggan berhadapan dengan Ajiseka. Jika saja ia tau sejak awal, tentu dirinya tidak akan pernah berniat menguji putra angkat Dewi Panguripan. Namun, hal itu sungguh percuma, pasalnya belum lama tersadar dirinya sudah dihadapkan dengan serangan tajam dari Ajiseka, akibatnya ia harus mati-matian menghindarinya.Dhar!Dhar!Dua bola energi melesat ke arah Ajiseka, juga pemuda yang melawannya, rupanya ada sosok lain yang memperhatikan perkelahian kedua pemuda itu.Tekanan dari dua bola energi yang menyeruak terasa begitu kuat, sehingga membuat Ajiseka dan pemuda itu sama-sama terpental berjauhan.“Cukup Calingkolo!” sosok sepuh dan bersahaja tiba-tiba muncul di tengah keduanya. Ki Balung Wojo, guru dari semua murid di padepokan Kahuripan yang berada di jalurnya.“Diakah orangnya Ki?” ucap pemuda berkepala Babi itu. Ki Balung Wojo pun me
Langkah kedua pemuda itu begitu mantab, jalanan setapak yang dilewati cukup terjal. Tetapi semua itu tidak membuat semangat keduanya luntur.“Ajiseka, apakah manusia-manusia itu tidak melihat keberadaan dirimu? Kenapa mereka seolah tidak melihatnya?” tanya Calingkolo manakala berpapasan dengan manusia.“Tidak kakang, aku menghendaki agar tidak terlihat oleh mereka,” jawab Ajiseka. Calingkolo mengangguk paham, langkah mereka terhenti manakala sebuah keributan terjadi tidak jauh dari tempatnya. “Apa yang mereka ributkan,” gumam pelan Calingkolo. Ajiseka sendiri tidak merespon ucapan kakak seperguruannya, ia lebih serius memperhatikan keributan yang terjadi, dirinya mencium aroma penindasan yang dilakukan oleh sekelompok orang kepada seorang lelaki Tua.“Kakang Calingkolo. Sepertinya aku harus membantu kakek itu,” ujar Ajiseka kepada Calingkolo.“Lakukanlah Ajiseka, bukankah itu tujuanmu berguru di padepokan Kahuripan? Aku akan menontonmu, tenang saja,” jawab Calingkolo. Pemuda itu ter
Ajiseka sendiri mulai bertarung dengan keempat orang yang tersisa. Ya! Empat orang yang ragu untuk menyerang lawannya. Fokus mereka terganggu oleh keberadaan satu orang yang memilih duduk dan linglung.Hal itu memudahkan Ajiseka untuk melakukan perlawanan fisik, beberapa pukulan telak mendarat. Setidaknya titik organ lawan cedera karenanya, formasi yang semula mampu membuat Ajiseka terkungkung kini tidak lagi berguna.“Siapa Kau anak muda!” ucap salah satu dari kelima orang yang mengeroyok Ajiseka.“Aku? Rasanya kalian tidak perlu tau siapa aku, berhentilah melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, terlebih orang itu sudah sepuh,” jawab Ajiseka. Ia melangkah maju mendekati lelaki yang juga bergerak mundur menjaga jarak dengannya.“Kau akan menyesal anak muda!” ucap lelaki itu.Ia menghunus senjata yang sejak tadi tidak ia gunakan. Seketika Kilauan terpancar dari benda panjang di tangannya, ya! Sebuah pedang digenggam erat oleh lelaki itu. Namun, Ajiseka hanya tersenyum dengan pol