“Kanjeng ibu, kenapa diriku selemah ini menghadapi siluman itu?” Tanya Ajiseka kepada Dewi Panguripan.“Jangan pernah meremehkan lawanmu, Ajiseka. Terlebih siluman wilayah Punden, kekuatan mereka berbeda dengan siluman di luaran sana. Banyak energi manusia yang telah mereka serap. Bahkan, jauh sebelum dirimu lahir, oleh sebab itu berhati-hatilah.” jawab Dewi Panguripan.Ajiseka mengangguk, tetapi setelah itu dirinya langsung lunglai. Hal itu tentu membuat dirinya kebingungan, pasalnya ia sama sekali tidak merasakan pukulan yang membahayakan. Bahkan, Ajiseka tidak merasa kalah saat bertarung dengan Duripati, hanya sedikit luka dalam dan sesungguhnya tidak begitu berarti untuk dirinya.Tetapi nyatanya Ajiseka harus dipapah warga untuk sampai di kediamannya. Anehnya setelah mengucap terimakasih kepada warga yang memapah dirinya, keadaan Ajiseka sudah benar-benar pulih. Hal itu terjadi karena tubuh Ajiseka memiliki kekuatan yang dapat mempercepat pemulihan.Bersamaan dengan datangnya Ajis
Sejenak Ajiseka terdiam, tentu dirinya tidak meragukan kekuatan wanita muda itu. Ia malah memikirkan dirinya sendiri yang masih begitu lemah, terlebih terakhir di tepi Timur saat melawan Duripati.“Anakku... dengan cara seperti itulah digdaya aslimu tumbuh, tidak perlu khawatir. Dan perlu kau ingat, jangan lagi meragu. Terlebih untuk hal kebaikan, baca pikiran setiap lawanmu terlebih dahulu agar kau tidak salah sasaran, gunakan energi batinmu dengan maksimal, Anakku...” Ujar Dewi Panguripan.“Dan kamu Galuh.” Ucapan Dewi Panguripan terhenti sesaat. Netranya terpejam, lalu tidak lama kemudian di tangan kanannya menyembul sebuah kain panjang berwarna pelangi.“Ini untuk laku tirakat yang kau lakukan, gunakan pusaka selendang pelangi ini untuk kebaikan. Sebab, selendang ini salah satu pusaka terbaik di Padepokan Kahuripan.” Ucap Dewi Panguripan sembari memberikan benda yang disebutkan olehnya.“Terimakasih, Nyai Guru.” Galuh menerima pemberian dari gurunya. Banyak wejangan yang di terima
Buuush...Angin berhembus kencang, menerpa pepohonan dan juga dua sosok yang tengah berdiri di depan wanita tua. Rupanya angin ciptaannya bukanlah angin biasa, pasalnya Jawa panas turut menyeruak manakala hembusan-nya semakin kencang. Hal itu membuat Ajiseka dan Galuh memasang kewaspadaan yang tinggi.“Siapa dia sebenarnya, Aji? Kenapa dia begitu menginginkan dirimu?”“Aku tidak tau, Mbakyu. Tetapi aku mengenalnya sebagai wanita penguasa alam mimpi, namanya Ajeng Ratri,”“Artinya saat ini kita terperangkap di alam mimpi ciptaannya, begitu?”“Ya, dan kita tidak menyadarinya, Mbakyu? Baiknya kita berhati-hati.”DharDharDua larik sinar kemerahan memancar dari dua telapak tangan Ajeng Ratri dan melesat seperti seutas tali yang mengarah ke tubuh Ajiseka juga Galuh. Tatapi keduanya serentak menghindari serangannya. Sehingga sinar merah itu menyambar ke sembarang arah dan menghantam pepohonan, akibatnya pohon itu pun terbakar.Galuh merasa geram dengan tindakan Ajeng Ratri, rupanya wajah t
Alam mimpi ciptaan Ajeng Ratri porak-poranda akibat pertarungan yang sengit antara Ajiseka, Galuh dan Ajeng Ratri sendiri. Kedua murid padepokan Kahuripan itu senyatanya belum bisa lolos dari alam buatan wanita tua yang mereka lawan. Ya! Sekuat apa pun digdaya yang dimiliki, tetap saja Ajeng Ratri lah, yang menentukan kalah dan menangnya pertarungan itu sendiri.“Sajian yang menarik bukan? Bahkan, digdaya kalian hanya menjadi tontonan yang menarik di tempat ini. Mue he he he”“Seperti itu? Baiklah. Mbakyu, menyingkirlah.” Ajiseka menatap kakak seperguruannya dan memberi isyarat agar menjauhi lokasi pertarungan.Lalu ia melesat tinggi, dan kembali dengan sosok yang berbeda. Ya, Nogoweling telah siap menambah kehancuran di alam ciptaan Ajeng Ratri. Wujudnya bukan lagi Ajiseka, tetapi seekor naga belang berukuran besar yang meliuk-liuk di udara.Ghooar....Auman yang di Sertai dengan semburan api membakar hutan buatan Ajeng Ratri, sengaja ia tidak menyerang pemilik alam mimpi. Tetapi mema
Bam!Dua energi beradu cukup keras. Pada saat itu juga Ajiseka sudah berpindah tempat, seketika itu beberapa prajurit yang mengawal Kolowono mengelilingi Ajiseka dan Galuh. Sedangkan sosok yang semula duduk santai di alam bawah sadar Ajiseka mulai terpancing dengan banyaknya musuh gaib yang mengelilinginya. Namun, ia tidak berniat menampakkan dirinya.Kumbolo lebih memilih memberikan suplai kekuatannya secara total kepada Ajiseka. Ya, dirinya beranggapan jika Kolowono harus di beri pelajaran berharga karena selama ini sungguh-sungguh berniat mencelakai Ajiseka. Rupanya bangunnya Kumbolo dari singgasananya memicu roh Nogoweling yang juga menunggu reaksi lanjutan Ajiseka.“Tampaknya kau memiliki keinginan membinasakan makhluk gaib itu, adakah sesuatu yang meresahkan dari makhluk-makhluk itu?” tanya roh Nogoweling kepada Kumbolo.“Tentu saja Nogoweling, Kolowono merupakan makhluk yang gemar bersekutu dengan orang yang hendak berbuat jahat. Tidak hanya itu saja, aku meyakini ia juga bagia
Matahari sudah condong ke barat, tetapi Ajiseka dan Galuh masih belum juga menemukan perkampungan. Bahkan, raut lelah tercetak di wajah ayu Galuh, tidak heran jika gadis itu kelelahan. Sebab selama ini dirinya tidak pernah bepergian jauh.“Aji, di daerah ini tidak ada perkampungan ya? Sudah seharian jalan tetapi kita belum menemukan adanya kehidupan manusia lho ini,”“Aku tidak tau, Mbakyu? Kalaupun tidak ada juga tidak ada masalah kan? Toh selama ini kita sudah terbiasa,” jawab Ajiseka.“Bukan itu, Aji? Ah sudahlah, lebih baik kita lanjutkan perjalanan.” Ucap Galuh.Gadis itu berjalan mendahului Ajiseka. Berharap ia menemukan pemukiman warga dan menyapa, itulah keinginan Galuh saat ini. Dan tampaknya keinginan itu sedikit ada titik terang, pasalnya di kejauhan asap tipis tampak mengepul di celah-celah rerimbunan hutan.“Aji! Lihat itu!” teriak senang Galuh manakala melihat ada tanda kehidupan.“Iya, Mbakyu? Ayo.” Jawab Ajiseka.Ayunan langkahnya di percepat, begitu juga dengan Galuh.
Cicit burung menyapa pagi yang cerah. Di dalam gubuk, makanan khas pedesaan tersaji di atas meja milik sang sepuh. Ya, Ajiseka dan Galuh baru boleh meninggalkan kediaman sang sepuh setelah mengisi perutnya. Perbincangan kecil terjadi, hanya sedikit saran dan mengingatkan kembali pesan yang semalam telah di sampaikan.Kini, langkah riang mengayun terarah, sebab Ki Ageng Pamungkas sudah memberitahukan lokasi keberadaan padepokan pertama yang harus di sambangi Ajiseka. Ya, mereka tidak perlu menjelajahi seluruh daerah di wilayah tengah. Begitu juga dengan wilayah lainnya, karena setelah menemui pimpinan padepokan, Ajiseka harus segera bertolak ke padepokan kecil di wilayah selatan.Tempat itu tidak lain adalah kediaman Ki Haryo Wicaksono. Rumah sekaligus tempat berkumpulnya orang-orang yang menentang adanya sekte Kembang Kenongo secara diam-diam. Sayangnya, Ajiseka tidak menanyakan alasan Ki Ageng Pamungkas memintanya segera kesana.Terik mentari mulai menghangat, dan sosok burung Elang
Raksa Bumi, padepokan olah Kanuragan yang berdiri kokoh di daerah perbatasan. Tidak megah, tetapi cukup luas dan begitu rapi. Hari ini mereka kedatangan tamu tak di undang yang mengaku utusan dari seorang sepuh dunia persilatan.“Seluruh wilayah sedang bergolak, lalu tiba-tiba Kisanak datang dan mengaku utusan dari sesepuh aliran putih yang kami hormati. Sebagaimana kami ketahui, sejak lebih dari sepuluh tahun lalu beliau menghilang tanpa jejak. Lalu, bagaimana mungkin kami percaya begitu saja, terlebih yang mengabarkan hal itu Kisanak yang masih begitu muda,” ujar Adhinata. Lelaki setengah baya yang menjabat sebagai pimpinan padepokan Raksa Bumi.“Menurut, Ki Adhinata apa yang harus saya buktikan, sedangkan saya kesini tidak membawa bukti apa pun,” jawab Ajiseka.“Lakukan sesuatu yang dapat membuat diriku yakin, tidak mungkin Ki Ageng Pamungkas begitu saja mempercayai seseorang, suuah...” ujar pimpinan padepokan Raksa Bumi sembari melesat ke arah Ajiseka.Ia menghendaki pembuktian da