“Apa yang lo minta?” tanya Rara penasaran.“Selama kita pacaran pura – pura, lo harus bersikap peduli ya sama gue,” pinta Jevan.“Ah itu, gampang,” balas Rara santai.“Kalau seandainya, gue tiba – tiba megang tangan lo di depan kedua orang tuanya Sandra dan di depan bokap gue…lo harus siap ya,” lanjut Jevan.“Kalau untuk itu…” Rara terdiam beberapa saat, tampak berpikir lama.“Lo kalau keberatan gue –““Gue bisa!” seru Rara cepat.Akibat teriakan Rara, dirinya dan Jevan menjadi pusat perhatian. Mereka menatap Rara penasaran.“Hahaha iya iya,” kekeh Jevan mengacak surai hitam Rara.“Rambut gue, Jev,” ucap Rara sembari merapikan rambutnya.Jevan tersenyum tampan, ia ikut membatu gadis di sampingnya untuk merapikan rambut.“Gue udah janji sama lo. Gue akan berusaha keras,” kata Rara bertekad.“Kalau gak ada lo, gue kayanya kebingungan untuk cari orang,” ujar Jevan.“Padahal, lo kalau nanya kelas lain bisa loh. Mereka penggemar lo, pasti mereka sukarela nawarin diri,” terang Rara.“Guenya
Bersamaan dengan ucapan Ferdi, suara ketukan di luar membuat Naren panik.“Nanti, saya akan hubungi kamu lagi” ujar Naren kemudian memutuskan panggilan telepon keduanya.“Masuk,” kata Naren.Lelaki tampan itu bernapas lega menemukan sosok Rara yang masuk. Ia menyandarkan tubuhnya di ranjang.“Naren, gue balik,” ucap Rara mengulas senyum manis.Naren mengangguk. Ia memperhatikan Rara yang tampak bahagia.“Nona terlihat bahagia,” komentar Naren.Rara tertawa kecil, ia menggeleng. “Gue tadi bilang iya. Terus kita bahas beberapa hal yang sekiranya akan ditanyain pas makan malam,” cerita Rara.“Semoga lancar ya, Non,” tanggap Naren tersenyum.Rara mengangguk dengan semangat. Ia mengambil segelas air yang ada di ruangan.“Oh iya, lo tadi kenapa kaget pas gue masuk?” tanya Rara mengingat ekspresi Naren.“Tidak ada apa – apa, Non,” tanggap Naren. “Jevan kemana?”“Dia pulang soalnya ngurus beberapa hal,” info Rara.“Nona diantar sampai mana?” tanya Naren.“Sampai lift kok,” sahut Rara.“Tidak
Ayah Zarhan tiba - tiba bertepuk tangan. Rara mengangkat alisnya bingung. Sedangkan Naren, hanya menatap pria di depannya. “Iya kamu pintar. Alasan yang kamu beritahu pada Ayah tak akan mempan pada Ayah,” balas Ayah Zarhan. “Terus kenapa?” tanya Rara bingung. “Ayah sudah menduga kamu akan menjawab dengan cerdas,” balas Ayah Zarhan. “Itu artinya Naren gak akan digantikan?” tanya Rara semangat. “Ayah hanya ingin membuat kamu aman. Ayah berencana untuk memberikan pengawal selama Naren sakit,” jelas Ayah Zarhan menatap Rara dan Naren bergantian. “Kenapa aku harus dikasih pengawal lagi?” tanya Rara melirik Naren sekilas. Ayah Zarhan terdiam beberapa saat. Pria setengah abad itu sudah menduga putrinya akan menolak usulnya. “Sebentar lagi Naren sehat kok,” sambung Rara. “Kamu ke sekolah tanpa pengawalan rasanya berbahaya,” ujar Ayah Zarhan. “Tapi, ada Jevan dengan Sandra. Aku akan nempel sama mereka,” janji Rara. “Kamu itu tak mau di jaga pengawal selain Naren?” tanya Ayah Zarhan.
“Ada apa Bu Yuni?” tanya Ayah Haris menatap sekretarisnya.Bu Yuni menatap Ayah Haris dan Jevan bergantian. Ia buru – buru menunduk sopan karena tingkahnya yang memalukan.“Maaf, Pak Haris dan Nak Jevan, tapi ada wartawan yang menerobos masuk,” info Bu Yuni.“Mau apa mereka?” tanya Ayah Haris mengerutkan dahinya.“Begini…” Bu Yuni melirik Jevan sekilas. “Gosip mengenai Nak Jevan.”“Kalau gitu, sebaiknya aku langsung pulang aja,” putus Jevan bersiap untuk berdiri.“Justru kamu seharusnya diam disini, Nak,” saran Ayah Haris.“Emangnya separah itu wartawannya?” tanya Jevan menatap wanita yang lebih tua darinya.“Mereka menunggu di pintu utama, kemudian saya khawatir ada yang sudah menerobos masuk,” terang Bu Yuni.“Aku mau pulang, ingin istrirahat,” keluh Jevan.“Kamu bisa tidur di ruangan Ayah,” ucap Ayah Haris.“Tapi, aku mau pulang, Yah,” balas Jevan.“Ya sudah kamu pakai pintu belakang saja,” saran Ayah Haris tak tega melihat wajah memelas putra kesayangannya.“Segera antar Jevan, Bu
Naren menarik tangan orang yang ada di depan pintu ruangannya. Ia hendak mengangkat tangannya sebelum langkahnya terhenti saat orang itu adalah pengawalnya.“Fajar?” tanya Naren.“Iya, Kak. Saya Fajar,” jawab lelaki itu takut.“Kamu ngapain disini?” tanya Naren bingung. Lelaki tampan itu menerima uluran tangan Fajar agar dibantu untuk kembali ke ranjang.“Uh, saya diperintahkan untuk menemani Kak Naren,” sahut Fajar.“Oh iya. Kamu tidak apa harus menemani aku?” tanya Naren khawatir.Naren tahu kalau Fajar tinggal bersama ibunya. Fajar biasanya selalu pulang ke rumah untuk menjaga ibunya yang sakit.“Gak apa,” timpal Fajar.“Ibu kamu ditemani siapa?” tanya Naren.“Teman saya menawari untuk menemani Ibu,” terang Fajar tersenyum tipis.Naren mengangkat alisnya melihat telinga Fajar yang memerah. Senyum jail terukir di wajah tampannya.“Teman apa teman?” tanya Naren jail.“Dia benar – benar teman saya kok. Lagipula, saya tak berani mengaku,” ujar Fajar lirih.“Oh kamu rencananya akan meng
"Mamah?" tanya Rara memastikan.Wanita yang memakai masker itu melepaskan maskernya. Ia mengulas senyum dan menatap Rara."Kamu sudah pulang dari sekolah?" tanya Iby Windia.Rara memaksakan senyumnya. Ia menatap sopir dan pengawalnya. "Kalian bisa pergi. Aku sama mamah aku," kata Rara."Tapi, Non -""Gak apa, Pak," sela Rara tersenyum.Pengawal dan sopir berkontak mata sebentar, kemudian berlalu dari hadapan Rara dan Ibu Windia."Ibu mau masuk dulu?" tanya Rara.Ibu Windia menatap Rara dari atas ke bawah. "Bu?" panggil Rara ragu."Iya, sayang?" tanya Mamah Windia."Ayo masuk dulu," jawab Rara. Sepasang ibu dan anak itu masuk ke kediaman Rara. Rara melirik Bibi Ica dan Bibi Nia yang menatapnya khawatir."Ibu ingin berbicara berdua denganmu. Apa boleh?" tanya Ibu Windia menatap sekitarnya."Boleh kok, Bu," tanggap Rara."Tanpa pengawal dan pelayan di sekitarmu," sambung Ibu Windia."Kalau itu ...""Ibu tahu kalau ibu memang memperlakukan kamu dengan buruk. Tapi, Ibu harap kamu bisa
Suara ketukan mengalihkan keduanya. Naren melangkah ke pintu, ia membulatkan matanya melihat sosok di depannya "Loh Nona ngapain disini?" tanya Naren bingung. "Hai Naren," sapa Rara ceria. Rara segera masuk ke dalam ruang inap Naren. Ia tersenyum tipis melihat Fajar yang tampak terkejut dengan kehadirannya. "Halo Fajar," sapa Rara. "Halo Nona Rara," balas Fajar sopan. "Kamu disini yang jagain Naren?" tanya Rara seraya melangkah ke sofa untuk duduk. "Iya Nona," jawab Farjar. Naren duduk di sofa single. Ia menatap Rara yang datang tanpa memberitahu dirinya. "Kenapa gak bilang ke saya kalau Nona akan datang? Saya bisa meminta bawahan saya untuk menjemput Nona," tanya Naren. "Gue pingin cerita sama lo," balas Rara tak mengindahkan pertanyaan Naren. "Saya akan membeli minum terlebih dahulu," kata Fajar yang sadar diri kalau Naren butuh waktu untuk mengobrol dengan Rara. Setelah Fajar pergi, Naren menatap Rara dengan tanya. "Cerita apa, Non?" tanya Naren. "Nyokap gue ngaja
Rara duduk di bangkunya seorang diri. Ia hari ini akan dijemput oleh suruhan sang ibu dan ia akan mengambil beberapa buku dan perlengkapannya terakhir mereka datang ke rumah sang ibu. Sandra dan Jevan sudah pulang terlebih dahulu karena mereka akan mengikuti rapat ayah masing - masing."Orang suruhan Ibu ternyata lama ya," gumam Rara menguap lebar. Rara membaringkan kepalanya di atas meja. Ia memang diminta untuk menunggu di kelas, padahal ia bisa saja menunggu di pos satpam. Sayangnya, sang ibu memintanya untuk menuruti perintah wanita itu."Gue bisa ketiduran nih entar," monolog Rara."Nona Rara?" tanya seorang pria yang menggunakan jas hitam."Iya saya Rara. Apa anda adalah orang yang dikirim Bu Windia?" tanya Rara buru - buru bangkit dari duduknya kemudian mendekati pria itu."Maaf karena saya terlambat," sesal pria itu."Tidak apa, Pak," sahut Rara tak enak."Mohon jangan beritahu Nyonya Besar ya, Non. Tadi ban mobil bocor sehingga saya harus ke bengkel terlebih dahulu," jelas p