“Beneran, loh, aku gak bohong, tadi, tuh ada memar kayak bekas cubitan sama kayak benturan benda keras di tubuh kakek itu.”“Eh, yang bener kamu?”“Iya, masa suamiku bohong, sih, tadi dia yang mandikan jenazahnya.”“Udah, ah, aku gak mau ikut-ikutan,” tutup salah seorang tetangga yang diajak bergosip oleh tetangga lainnya.***Suasana di ruanganku menjadi sedikit tegang kala Bang Jaya masuk ke dalam. Ia menatap mata Kak Nur tajam. Seketika kakakku tertunduk. Aku tak tahu apa yang terjadi di luar tadi.“Nur, kenapa tadi kau sekejam itu dengan ibunya?” Kalimat pertama dari Bang Jaya membuatku sedikit memicingkan mata.“Kalau dia gak seperti itu pada adikku, mana sampai aku bisa sekejam itu padanya.”“Tapi bukan dengan menghukumnya seperti tadi!”“Itu pantas diterimanya atas semua yang dilakukannya pada Ratih!”“Nur, kau gak bisa berbuat seenaknya, bisa-bisa kau dituntut atas perbuatanmu tadi.”“Aku gak takut dituntutnya karen aku bisa lebih kejam menuntutnya balik!” Tak mau kalah, Kak N
“Jangan-jangan ibuku tahu soal ini, Pak.”“Begini, Nak, sebaiknya ini dibicarakan dengan pihak keluarga, jangan sampai isu ini menyebar dan nama baik keluarga nak Haris jadi kurang baik. Niat saya menyampaikan ini supaya kamu sebagai anak lelaki bisa mengambil keputusan dengan bijak.”“Iya, Pak, saya mengerti maksud bapak. Sebelumnya saya juga mau minta maaf bila tadi tidak bisa ikut memandikan jenazah bapak saya.”“Iya, Nak.“Istri saya melahirkan di malam itu, Pak.”“Astaghfirullahalazim.” Sejenak mereka bertiga terdiam.“Kenapa bapak beristigfar?” tanya Haris heran.“Tidak, Nak, tidak apa-apa, Nak.”“Katakan saja, Pak. Saya tidak akan merespon buruk apa yang bapak pikirkan.”“Ehm ... tadi Bu Painem bilang kalau kamu tidak peduli lagi dengan kedua orang tuamu. Ah, tapi ya sudahlah, mungkin ibumu kecapean. Kalau begitu, kami pamit pulang dulu, ya, Nak Haris. Semoga kau bisa menyelesaikan masalah ini dengan bijak. Assalamualaikum,” ucap kepala desa sebelum akhirnya mereka berpencar k
“Astaghfirullah, Bu, kenapa ibu lakukan itu.” Haris menutup kedua matanya dengan tangannya dan spontan terduduk sambil menangis. “Dia itu suamimu, Bu! Gak pantas ibu perlakukan bapak kayak gitu!”“Cukup ... cukup!” Suara Haris yang begitu menggelegar membuat Painem ketakutan.“Apa, sih, yang bikin ibu jadi segitu bencinya sama bapak? Dari dulu ibu selalu aja perlakukan bapak gak baik, kenapa, Bu, kenapa?” sergah Haris.“Karena bapakmu baik dengan istrimu! Bapakmu selalu aja belain istrimu!”“Ya Allah, Bu, Ratih itu istriku, Bu, ibu dari cucumu!” Kenapa, sih, kui gak ngerti juga. Posisimu itu orang tua di keluarga kita ini, harusnya kui bisa bersikap adil antara pasangan Hana dan juga pasanganku. Kui bisa baik sama suami Hana, kenapa dengan istriku, kui malah segitu bencinya. Apa salah Ratih, Bu? Apa!”“Dia misk*n!”Sesaat Haris menatap ibunya nanar, namun seketika tatapan itu berubah menjadi tatapan penuh kekecewaan.“Aku ... aku kecewa, sangat kecewa denganmu, Bu!” ucap Haris lalu pe
“Bu ....” Segera kutolong ibu mertuaku berdiri. Namun saat ia menatapku, sontak ia melepaskan genggamanku dan mendorongku. Masih cukup terasa sisa-sisa kekuatannya untuk menolak bantuanku.“Ora sudi aku dibantu karo kui!” (gak sudi aku dibantu olehmu).“Bu, ayolah biar kubantu.” Kupaksakan diri untuk tetap mengangkat bagian ketiaknya agar dapat berdiri. Namun usahaku tak digubrisnya. Dengan gemetar, ia tetap memilih tuk bangkit sendiri dan menganggap aku tak ada di dekatnya.“Ratih, ada apa ini?” tanya salah salah seorang temanku yang juga bertugas hari itu.“Ibu ini terjatuh, tapi pas kubantu ia tak mau,” jawabku senyum tipis.“Kamu kenal ibu ini?” tanyanya.“O ... ora! (eng ... gak) Aku gak kenal sama perempuan ini. Udah, minggir, aku mau jalan.” Belum sempat kujawab pertanyaannya, ibu mertuaku sudah menjawab duluan. Yang bahkan itu bukanlah jawaban sebenarnya.‘Ya Allah, Bu. Mau sampai kapan ibu memusuhiku seperti ini?’ batinku sedih.Akupun kembali melanjutkan pekerjaanku setelah
gak boleh bilang gitu, Wo!” sanggahku.“Yah, untuk apa lagi kasihan sama orang kayak mereka, Bu. Toh, dari dulu, apa pernah mereka bantu atau kasihan sama kita?”“Kita, kan, gak tahu bagaimana hati orang, Wo.”“Udahlah, Bu. Aku gak jadi tambah. Selera makanku hilang kalau udah bicara tentang mereka.” Dewo beranjak dan membawa piring kotornya.Anakku Dewo sangat berbeda dengan Masno. Dia cenderung lebih keras daripada abangnya. Tapi aku tak menyalahkannya atas keadaan ini, sebab semua yang ia katakan adalah benar.***“Bu, aku titip Dewo hari ini, ya. Soalnya aku ada rapat di Pakam dan pulangnya agak lama. Kasihan kalau harus kubawa jauh-jauh,” pintaku pada ibu. Waktu itu usianya masih lima tahun.“Awas aja kalau anakmu ini nyusahin aku di rumah, habis dia kubuat!” ancam ibu mertuaku. Segera kuhampiri Dewo dan mengingatkannya untuk jadi anak baik selama bersama neneknya.“Bu, aku gak mau cama nenek, aku mau ikut ibu ajalah.” Dewo menolak kutinggalkan bersama neneknya.“Gak bisa, Sayang
“I ... ibu!” Mataku terbelalak melihat siapa yang bersujud di hadapanku.“Siapa yang datang, Bu?” ucap Masno saat melihatku berdiri di depan pintu depan. Aku yang masih terpaku dengan kedatangan ibu mertuaku, hanya bisa diam seribu bahasa. “Nenek?”“Siapa, Dek?” Bang Haris menghampiriku.“Ibu, Bang.”Bang Haris dan Dewo menyusul Masno yang telah sampai lebih dulu.“Maafkan aku, Nak.” Wanita tua yang dulu sangat kukenal kuat, kini telah renta dan tampak sangat lemah. Ia bersimpuh di hadapan kami.“Untuk apa meminta maaf ke tempat orang yang nenek hinakan dari dulu!”“Dewo, jangan bicara gitu sama nenekmu!” bantahku pada anak keduaku ini.“Nenek?” Dia tersenyum sinis menatap ibu mertuaku. “Apa masih pantas kami memanggilnya nenek? Sedangkan dia tak pernah menganggap kami cucunya!”“Astaghfirullah, Dewo, jaga ucapanmu! Nenek ini udah tua. Ibu gak pernah ajarkan kamu tuk melawan kayak gini.” Kulihat ibu mertuaku hanya diam terpaku dengan wajah yang lugu, menatap kami satu persatu. Tak ada
‘Ya, Gusti, kenapa hidupku jadi begini,’ keluh Painem.CETEKDUAAAR“Tolong ... tolong ....”“Ada apa ini, Nek?” tanya Endi panik. Disusul Renata yang berlari dari kamarnya menuju kobaran api yang setengah menyala di dekat Painem. Dengan segala upaya, Endi berusaha memadamkan api itu dengan kain yang sudah dibasahi air.“Alhamdulillah, ya, Gusti. Syukurlah apinya udah padam,” ucap Painem yang seketika itu terduduk di atas lantai dapur.“Kok, bisa sampai kebakaran gini, sih, Nek?” tanya Renata.“Tadi, ibumu nyuruh nenek masak mi.”“Ehm, itulah, lihat ibumu, Bang. Nenekmu yang udah tua renta gini aja masih disuruh-suruh sama dia. Punya hati, gak, dia, tuh!” celetuk Renata.Tanpa basa basi, Endi segera menuju kamar Hana.“Bu!” Tampak Hana yang sedang ngorok tak mengindahkan kejadian yang baru saja terjadi. “Kompor gas meledak di dapur, ibu gak dengar! Nenek udah pingsan, tuh, di sana.”“Apa!” Segera ia bangkit dan spontan berlari menuju dapur. “Ya Tuhan, Bu, kok, iso meledak ngono, sih?
“Bang, jangan!”Sontak Jefri mendorong Painem dari peraduannya hingga terjatuh.“Aduh ... aduh Gusti, bok*ngku sakit, aduh. Memang anak a*u kui, yo, anak anj*ng kui, yo. Haris, anakku, tolong aku, Ris ... tolong.”“Gak usah panggil-panggil lagi nama anakmu itu. Memang manusia macam kau gak pantas jadi orang tua!” Sergahan itu benar-benar membuat Painem murka.“Kualat kui podo!” (Kualat kalian duanya)“Cukup, Bu! Kerjaanmu nyumpahi anak aja. Kekmana bang Haris dan Yuk Ratih mau betah tinggal sama ibu, wong kerjamu sikit-sikit nyumpahin anak! Bersihkan itu semua, kalau gak, kui gak dapat jatah makan!” amcam Hana lalu beranjak dari kamar yang sebenarnya lebih pantas dikatakan sebuah kand*ng.***Tak lama berselang, siang itu Jefri sedang berkumpul bersama teman sejawatnya di warung kopi langganannya.“Aku kalau jadi abang iparku itu, udah kutarok ibuku di panti jompo. Untuk apa lagi coba dibiarkan tinggal sama kita. Kan, nambahin dosa kami aja dia tinggal sama dia.” Nada bicara yang berk