Bab 58[Di, lagi ngapain?] Aku yang memulai kirim pesan ke Diana.[Tumben lo, malam gini belum tidur] balasnya.[Andre kemaren kirim kembang, Mas Irfan marah lagi, lalu dibuang di tong sampah kembangnya]Diana mengirim sticker tertawa. Aku cemberut, kenapa malah tertawa. Apa yang lucu?[Sebenarnya biasa aja, wajar kalau hanya mengirim ucapan lewat bunga, toh dia yang menolongmu ketika lo pingsan] balas Diana.[Mas Irfan mikirnya si Andre kaya nglunjak, gitu, Di][Bisa juga Mas Irfan takut Andre kebablasen. Apalagi Andre ada kerjasama dengan kantormu. Ditakutkan kalian akan sering bertemu, dan ...][Hush! Nama Andre kan sudah kuhapus dihatiku, gak mungkinlah aku aneh-aneh. Trus aku kudu piye, Di?] Diana hanya mengirimkan emot lucu, kemudian ada emot tangan yang mengatup di dada. Itu tandanya Diana nyerah, tidak mau ikut campur rumah tanggaku terlalu dalam. Aku membuang nafas kasar.Selanjutnya aku cerita hal lain yang mengingatkan masa kuliah dulu, Diana emang tidak ada habisnya kala
59 POV IRFANSebagai suami aku merasa terhina, bagaimana tidak? Laki-laki yang pernah singgah dihati Dela--istriku membuat hatiku meradang. Apa pasalnya?Tiba-tiba saja Diana teman akrab Dela dan Laki-laki itu maaf aku malas menyebut namanya, mengabari kalau Dela berada di klinik bersalin, karena pingsan ketika berada di kantor.Darahku mendidih dan merasa harga diriku terinjak-injak, kenapa harus laki-laki itu yang mengantar Dela ke tempat bersalin?Dela juga tidak nurut dengan usulku, berkali-kali sudah kusuruh ambil cuti, jawabnya nanti dan nanti.Akhirnya apa? Aku gegas menyusul ke klinik dan menemukan si brengsek dan Diana berada di sana. Kami sempat cek-cok dan hampir adu jotos. Kutarik krah laki-laki itu, hampir saja bogem mentah mendarat ke wajahnya. Si brengseng itu rupanya menarik krah kemejaku juga. Sehingga wajah kami berhadapan.Tanganku masih mengepal, tinggal hajar saja. Beruntung Diana buru-buru memisahkan kami, sehingga kami urung untuk berantem."Apa-apan sih, b
60 POV IRFANAndre? Laki-laki brengsek itu? Tanganku mengepal, nafasku naik turun. Ingin kudatangi dia, akan kutantang, sekarang maunya apa?Entah ini sudah dipicu emosi sebelumnya, atau aku memang cemburu, sehingga darahku langsung mendidih sampai di ubun-ubun.Saat itu juga tanpa pikir panjang, buket yang menurutku sangat bagus dan tentu saja mahal, langsung kubuang ke tempat sampah.Harga diriku sebagai suami terasa terhina dan terinjak-injak. Hatiku sakit sekali, sungguh aku sangat cemburu. Kenapa laki-laki brengsek itu sengaja memancing masalah.Menunggu Dela keluar dari kamar mandi rasanya bertahun-tahun, perasaanku campur aduk. Langsung kupasang wajah angker, sehingga ketika ibu bayiku itu keluar kamar mandi, dia kelihatan terkejut melihat perubahan di wajahku. Dahinya mengernyit."Mas, sudah pulang?" Nadanya gugup.Kulihat matanya mencari sesuatu yang ada diatas meja, kemudian beralih ke tempat sampah, lalu menatapku nanar. Kuikuti gerak-geriknya.Tiba-tiba wajahnya pucat pa
Bab 61Aku masih terngiang-ngiang dengan ucapan Mas Irfan. Bahwa pada ulang tahun Fara akan diberi kejutan, kira-kira apa ya kejutannya?Apa yang direncanakan ibu mertua itu yang akan disampaikan kepadaku? Tentang Mbak Nung dan Mas Irfan pastinya.Baiklah, aku harus mulai berbenah, menyiapakan diri, menyiapkan mental. Aku tidak boleh lemah, harus siap apapun yang terjadi.Menjelang sarapan pagi, aku tidak masak, takut nanti di cela kurang ini, kurang itu, tidak enaklah dan lainnya, lebih baik aku tidak masak apapun.Aku hanya menggoreng telor mata sapi, dan sambal kecap. Aku berharap Mas Irfan ikut sarapan, karena kalau hanya mata telor sapi, masa iya akan di cela.Sengaja memancing supaya Mas Irfan mau duduk dan sarapan bersama, aku ingin menanyakan sesuatu yang semalam ditolaknya. Baru satu sendok masuk kemulutku, kudengar langkah kaki yang sangat kuhafal. Laki-laki yang dipanggil Papa oleh anakku itu masuk dapur, dia celingukan mencari sesuatu."Sarapan, Mas?" tanyaku sambil meman
Bab 62 "Perkenalkan saya, Bu. Saya Syamsul, Notaris yang ditunjuk oleh almarhum Bapak Suparman untuk mengabarkan kepada ahli waris, bahwa Ibu ditunggu kehadirannya ke Sragen untuk tanda tangan.""Tanda tangan?" batinku.Aku bergeming, dadaku mulai sesak kalau mengingat kota kelahiranku. Pasti aku akan terkenang masa kecilku bersama almarhum kedua orang tuaku, yang sudah tidak bisa kugapai lagi."Halo Bu, maaf, apa Ibu masih disitu?" Suara yang mengenalkan diri sebagai Pak Syamsul itu ragu-ragu."I-iya Pak, saya dengar semua. Kapan saya harus menghadap bapak?" Dadaku bergetar."Secepatnya, Bu. Ini penting sekali. Nanti saya terangkan semuanya kalau Ibu sudah sampai di kantor kami.""Ya, Pak. Terima kasih."Setelah telepon terputus, air mataku meleleh tidak terbendung. Perih sekali mengingat kenangan indah disana. Banyak kenangan yang diuntai oleh kedua orang tua bersamaku, putri tunggalnya.Tidak kusangka hanya sependek ini kami lalui bersama. Aku sedih kalau mengingat semua ini, kenan
Bab 63 Setelah Zaqi kutidurkan dengan nyaman di stroller bayi, kudorong pelan menuju kantor Notaris milik Pak Syamsul Hamami. Dari luar bangunannya bagus, semua dicat berwarna putih, kesannya bersih. Walaupun berada ditengah kampung, kiri kanannya sudah banyak bangunan baru, dengan disain minimalis.Halamannya luas, ditengahnya ada air mancur, disekitarnya banyak ditanami pohon yang rindang, sangat asri. Sehingga adem dan sejuk.Belum sampai aku masuk, sudah ada yang menyambutku. Wanita cantik berkulit bersih tersenyum manis, bajunya warna pastel dengan kerudung senada."Selamat siang. Ibu Dela?" sambutnya ramah."Selamat siang. Ya, saya Dela." balasku."Kenalkan, saya Amira, seketaris Pak Syamsul," Wanita bergigi gingsul tu mengulurkan tangannya."Silahkan Bu, sudah ditunggu Pak Syamsul di ruangannya." Aku mengangguk, lalu mengikuti langkahnya. Netraku menindai ruangan yang sangat artistik, kulirik juga prestasi-prestasi yang diraih pemilik kantor ini.Ada juga foto-foto yang di
Bab 64 Saat ini Diana semakin kubutuhkan untuk menjadi penasehatku, apalagi setelah Mas Irfan semakin jauh dariku. Sahabatku yang sudah kuanggap saudara itu tulus, tidak mempunyai kepentingan apapun selain ingin membantu untuk membahagianku."Serius, Del? Alhamdulullah aku ikut seneng dengernya," jawab Diana ikut bungah."Di, trus aku harus bagaimana?" tanyaku. "Terima saja, Del. Kamu butuh uang untuk masa depan Zaqi juga, walaupun Papahnya mampu, setidaknya kamu punya simpenan sendiri. Menjadi wanita harus mandiri, jangan sampai kita hanya berharap dengan uang suami." "Bener juga, Di. Aku sendiri mempunyai pendapat seperti itu.""Gak mungkin kamu mau ngelola sawah sendiri, 'kan? Apalagi tinggal di Sragen, rumah almarhum saja sudah diwakafkan. Makam bapak dan ibu juga gak disana, mending dijual, trus beli rumah di Jogja, untuk investasi. Trus dibangun kos-kosan, duit kamu dijamin mengalir banyak."Pikiranku terbuka setelah mendapat masukan dari Diana, bagus juga idenya. Kujual semu
Bab 65"Jangan lupa nanti sore ulang tahun Fara, kita semua harus hadir." Mas Irfan mengingatkan ketika aku menemaninya sarapan."Ya, Mas," jawabku sambil memberesi piring kotor bekas nasi gudeg.Tadi pagi Mbok Rah mengantarkan sebungkus nasi gudeg untuk sarapan Mas Irfan, katanya yang menyuruh Mbak Nung.Kemaren juga dikirimi bubur ayam, kemarennya lagi nasi pecel. Masing-masing satu bungkus untuk sarapan Mas Irfan saja.Alhamdulillah, ringan sekali pekerjaanku, tidak usah repot-repot masak. Toh kalau masakpun belum tentu dimakan.Ketika aku mencuci piring dan gelas, dari ekor mata aku bisa melihat kalau Mas Irfan menatapku, kalau aku boleh nebak, pasti dia kasihan kepadaku.Atau mungkin dia akan tertawa senang kalau nanti aku mendapat kejutan dari ibunya. Dikiranya aku histeris lalu strok.Atau malah Mas Irfan sok pahlawan kesiangan, pura-pura menolak dan berpihak kepadaku. Kemudian ibunya memohon supaya aku menyetujuinya, lalu Mas Irfan terpaksa menerimanya.Aku tersenyum miring.K