Bab 68 Hari ini pertama kali aku masuk kerja, setelah 3 bulan cuti melahirkan. Zaqi terpaksa kuajak bekerja karena di perusahaan menyediakan penitipan bayi dan anak.Dengan begitu aku bisa setiap saat memberika ASI eklusive, lewat pumping ASI.Seperti biasa diantar oleh Mas Irfan sekaligus mengantar Mbak Nung dan sekolah Fara. Ibu tidak ikut, agak pusing katanya. Aku duduk di depan bersama Zaqi yang kugendong.Mbak Nung dengan Fara di belakang, dalam perjalanan sekian menit semua diam. Hanya terdengarkan ocehan kriwil yang tidak jelas, tetapi kalimatnya ada yang keceplosan tanpa disadari membuatku menautkan alis."Nanti kalau Mama menikah sama Papa, Fara minta adik cewek ya, Ma." Dengan polosnya si kriwil mengungkapkan pendapatnya.Terdengar Mbak Nung tertawa sumbang. Hatiku langsung menciut. Papa? Pasti yang dimaksudkan itu Mas Irfan, siapa lagi? bisikku dalam hati.Nafasku langsung naik turun, aku berusaha menahan emosi supaya tidak meledak. Sementara aku diam menyimak obrolan mer
Bab 69Semalam aku tidak bisa tidur, kebetulan Mas Irfan lembur di bengkel, ada beberapa mobil yang harus segera diselesaikan karena akan dipakai pemiliknya.Dia tidak sendiri ada karyawan yang membantu, tetapi harus diawasi supaya hasilnya memuaskanSelesai menidurkan Zaqi, aku langsung mojok menghubungi Diana, kesempatan untuk diskusi rumah yang akan kubeli. Banyak pilihannya, Diana mengirim beberapa brosur, aku harus meneliti satu persatu."Semua bagus, Di," komentarku."Iya sih. Tentukan lokasinya dulu, baru disainnya. Kemudian kita datangi kalau kamu sudah ada waktu," usul Diana."Di, aku pingin rumahnya kecil, tapi halaman belakangnya luas.""Yakin kamu pingin rumah kecil?" ledek Diana.Aku tertawa tapi tidak berani keras, bisa diomeli Mas Irfan. Hubunganku dengan Diana masih kurahasiakan, takutnya nanti dituduh macam-macam tentang Andre.Hampir tengah malam aku ngobrol kesana kemari, tentu saja tidak hanya membahas rumah yang akan kubeli, tapi kenangan masa lalu ketika masih m
Bab 70Sebelum jam kerja usai, mobil laki-laki halalku sudah parkir di depan kantor. Aku bisa melihat karena cendela ruangan kantorku menghadap ke jalan. Aku tersenyum senang.Hm, laki-laki itu menemati janjinya. Ups! untuk apa dulu, bukankah ibunya yang akan mengajakku bicara di meja makan sepulang kerja nanti?Sehingga anak bungsunya disuruh segera menjemputku karena akan ada berita besar yang akan disampaikannya, begitu 'kan, Bu?Entahlah.Kujemput malaikat kecilku di Penitipan Bayi dan Anak, disambut salah satu suster yang menggendong Zaqi, siap diserahkan kepadaku. Tidak lupa aku mengucapkan terima kasih kepadanya."Zaqi gak rewel, kan?" sambut Mas Irfan ketika aku masuk ke dalam mobil. Tangan kirinya mengelus pipi gembul."Alhamdulillah, enggak." jawabku singkat."Mau mampir kemana, nih?" tanyanya lagi."Tidak usah, Mas. Terima kasih." Mas Irfan memutar mobil ke arah utara, menuju pulang kerumah karena aku tidak ingin kemana-mana."Tidak sekalian jemput Mbak Nung?" Aku sengaja
Bab 71"Assalamualaikum, Bu Dela.""Walaikumssalam, Pak Syamsul,""Maaf Bu Dela, boleh mengganggu sebentar waktu Ibu? Saya dan team menuju Jogja, kira-kira tiga jam kedepan sampai sana. Mohon di sharelock, terima kasih,""Alhamdulillah. Baik, Pak."Setelah sambungan terputus segera kukirim lokasi kantor ke ponsel Pak Syamsul. Aku bernafas lega, bersyukur tidak terhingga. Tidak percaya kalau prosesnya secepat ini, semua ini atas kinerja beliau dan team.Berita dari Pak Syamsul bisa mengobati hatiku yang sedang tidak baik, setidaknya aku segera membeli rumah. Kalau terjadi apa-apa aku bisa langsung angkat kaki.Pagi ini tugas kantor segera kukerjakan, supaya kalau rombongan dari Sragen datang tidak mengganggu pekerjaanku.Kulihat laporan bagian distribusi pengiriman barang ke seluruh Indonesia lancar tidak ada hambatan yang berarti. Kuteliti satu persaru untuk membuat laporan jurnal, setelah itu kubuat grafik, ternyata penjualannya meningkat tajam.Aku tersenyum puas, kerjasama antara ma
Bab 72"Andre?" bisikku ketika kulihat laki-laki yang duduk dibelakang kemudi itu orang yang selama ini dicemburui Mas Irfan. Dadaku bergetar kencang, keringat dinginku mengucur deras memenuhi wajah dan seluruh tubuh, lututku terasa tidak bertulang."Dede!" Suaranya berat.Aku seakan mendadak mati rasa, ini akan terjadi perang dunia kedua jika Mas Irfan tahu kalau aku diantar Andre. Tapi aku bisa apa, semua terjadi begitu saja.Ya Robb, aku tidak berdaya. Aku tidak kuasa menolak, karena saat ini aku sedang membutuhkan tumpangan untuk Zaqi. Lindungilah hambamu ini."Aku tidak tega melihat kamu dan bayimu kedinginan di luaran sana. Kalian baik-baik saja 'kan?" Suara khas yang dulu pernah kurindukan.Aku tidak menyanggah, kenyataannya aku kesulitan mencari tumpangan, sementara anakku semakin panas badannya. Andre melihatku dari kaca spion, kemudian menoleh kebelakang lalu pandangannya ke bawah, melihat ujung bajuku yang basah."Bajumu basah, kita mampir ke toko baju dulu. Aku khawatir k
Bab 73"Dela!" Suara khas ibu mertua, wajahnya merah menahan marah. Dadaku bergetar kuat, lututku lemas terasa tulang lepas dari tempatnya, aku seperti kehilangan tenaga.Mas Irfan bertepuk tangan sambil menggelengkan kepala. Netranya tajam bagaikan pedang yang menghunus tepat di jantungku."Wanita macam apa kamu! Pergi dengan laki-laki lain tanpa izin suami! Mentang-mentang kamu sudah bekerja, seenaknya kamu jalan bersama orang yang bukan dengan mukrimnya." Omel wanita yang sejak dulu membenciku.Ya Alloh Ya Kareem, dalam hati aku menjerit. Kejam sekali tuduhan ibu mertuaku, aku berusaha menggigit bibir untuk mengurangi rasa sakit hatiku. Netraku mulai mengembun."Maaf, Bu ...""Tidak usah berkelit!" potong wanita yang selalu kuhormati dengan suara kasar. Aku terhenyak, hatiku terasa sakit sekali."Halah, maling tidak mungkin ngaku!" semprotnya lagi. Aku tidak diberi kesempatan untuk membela diri.Mata ibu mertua melotot, tangan kirinya berkecak pinggang, tangan kanan jari telunjukny
Bab 74 POV IRFAN"Fan, mumpung keluarga Nungky datang dari Surabaya, ayuk kita menemuinya," ajak ibu ketika aku akan ke bengkel memeriksa mobil-mobil yang sedang dikerjakan oleh karyawan dan mitra kerjaku."Untuk apa, Bu?" Aku mengerutkan dahi. Bukankah keluarga mereka sering kesini juga, aku sedikit memberi pengertian."Gimana sih Fan! Kamu gak ngerti-ngerti juga maksud Ibumu ini, kamu lelet kaya istrimu!" bentak Ibu.Sebenarnya aku paham maksud wanita yang menjadi pintu surgaku, tapi sengaja aku mengulur waktu.Jujur aku masih ragu dan tidak tega menyakiti Dela dengan cara menduakan dia.Walaupun ada laki-laki yang mengusik istriku, tapi aku masih ingin memastikan. Aku niat memberi kesempatan, siapa tahu hubunganku hangat kembali seperti saat kami masih belum punya anak."Ibu sudah beli oleh-oleh. Nanti setelah ngantar istrimu, kamu cepat pulang, bantu ibu ngemas oleh-oleh ini," titahnya penuh semangat, sambil tangannya menunjuk beberapa bungkusan di dalam tas kresek warna putih.
POV IRFANMobil kuparkirkan di halaman rumah Pugeran, berjajar dengan mobil lain dengan nomor polisi luar kota. Ada tiga mobil yang parkir disitu."Banyak juga tamunya," aku membatin.Ibu turun terlebih dahulu membawa dua jinjing tas, sedangkan aku membawa beberapa dos isi oleh-oleh, harus bolak-balik karena tidak bisa kubawa sekaligus.Fara dan Ilham yang melihatku dan neneknya datang langsung berteriak sambil melonjak kegirangan, mereka berlari kearah kami."Nenek! Papa! Asyik mereka datang!" sambutnya sambil berlari memeluknya sang nenek."Ma, Nenek dan Papa datang!" si kecil ikut membeo juga lari mengikuti kakanya memelukku.Duh, mereka dengan tegas memanggilku Papa, itu memang ibu yang menyuruh. Dan suka cita dua bocil itu dengan bangga berteriak dengan lantang.Aku tidak enak, apalagi di depan keluarga Mbak Nung. Nanti dikira aku sudah menjadi Papa mereka, mana tatapan keluarga Mbak Nung sebegitunya. Aku risih dan salah tingkah. Mbak Nung, dan keluarga besar dari Surabaya berdi