Dena dan Adim duduk di sofa ruang tamu. Keduanya datang karena ingin menjenguk Ningsih, kebetulan Dena dan Adim baru cek kehamilan di rumah sakit sebelum mereka ke kantor lagi memutuskan mampir ke rumah keluarga Tara.
"Dena dan Mas Adim sebentar aja, Pak, mau ke kantor habis ini," tukas Dena. Bapak mengangguk, Adim baru saja melarang bapak untuk membuatkan suguhan. Dena menggendong Ibnu, tak ada kecanggungan, karena anak bayi itu tak berdosa. Hanya saja Adim tampak sedikit BT, dengan melirik sesekali ke Dena yang gemas dengan Ibnu. Namun, hal itu justru membuat Dena ingin tertawa dan jail ke suaminya, ia menyodorkan Ibnu ke arah Adim yang tersenyum memaksa.
Anak bayi aja dicemburuin, Dim."Kita... mau ke Ibu, boleh, Pak?" Adim meminta izin. Bapak mengangguk. Ibnu diletakkan Dena ke box bayi, di dalam kamar Sofia tampak panik, ia bingung harus bersikap apa saat tadi mendengar suara Dena, ia tak keluar kamar ibu.
Tara kembali cerai, iya, cerai lagi, duda lagi, yasudah lah, ya... semua ada resiko dan sebab akibatnya. Maka dari itu, sebagai manusia yang dikasih hati juga akal pikiran, sebelum melakukan sesuatu dipikir berkali-kali.Ia duduk menatap kedua mata Ibnu yang sudah mulai Mpasi, bubur bayi yang ia beli dipenjual dekat rumah menjadi piliham simple untuk ia dan bapak supaya tak repot masak, stok susu dan pampers juga banyak, uang dari kedua orang tua Kanti dibelanjakan kebutuhan putranya itu.Tatapannya mendadak sendu, Ibnu tak mendapatkan pelukan hangat seorang ibu, hatinya nyeri seperti diremas. "Jangan jadi kayak Papa ya, Nak, Papa gagal jadi laki-laki bertanggung jawab untuk seorang wanita. Ibnu harus jadi laki-laki yang sayang dan hormati istri," ucapnya sembari menyuapi Ibnu makan di teras rumah sambil ia pangku."Nyesel, kan? Makanya apa-apa dipikirin," suara itu membuat Tara menoleh. Argi pulang, berasam
4 bulan sudah Ningsih berpulang, kehidupan tampaknya normal bagi Dena, tapi tidak dengan Tara. Tanpa sengaja, keduanya berpapasan saat sedang berada di bank yang ada di sebelah gedung kantor Dena. Tara sedang mengantre di teller satu, sedangkan Dena berjalan dari arah kantor kepala cabang karena ikut mendampingi pak Galih rapat.Dena diam, tampak menunduk tak ingin membalas senyuman Tara, ia sungguh berhati-hati dengan sikapnya, selain takut Adim cemburu yang kalau BT baikinnya harus disayang-sayang gemes dulu oleh Dena, juga karena Adim tak kan segan mendamprat Tara. Mantan yaudah jadi manta, sekali pun tegur sapa baiknya nggak usah. Begitu lah prinsip Adim yang Dena aplikasikan pada sikapnya.Tara tersenyum miris, Dena bahkan mengabaikannya. Ia kini menjadi seorang single parents, belum ada pikiran mau menikah atau mendekati perempuan lain, hatinya seolah sengaja ia kunci. Kehidupan Tara di rumah itu justru begitu nyaman setelah kepergian ibunya. Kamar bahkan ia cat baru dengan wall
Saski meringis saat melihat Dena terus menahan mulas, semalam, mendadak Dena melihat flek darah di celana dalamnya. Adim sedang dinas ke Jambi, bersama pak Galih dan manajer produksi, hanya satu malam. Mama, dan Elmer membawa Dena ke rumah sakit, bagusnya ada Saski yang memang sudah dua hari pulang, niatnya, mereka semua akan ke Jogja, survey lokasi kantor tempat magang Saski. Tapi ternyata, kehamilan Dena yang sudah 37 minggu itu mendadak tak bisa diajak kompromi. "Bukannya tiga sembilan atau empat puluh minggu, ya, Mbak?" Saski duduk di sofa bed kamar VIP itu. "Teorinya gitu, ini prakteknya, udah pembukaan satu," jawab Dena dengan kedua mata melirik ke jam dinding yang menunjukkan angka empat subuh. "Mas Adim pesawat paling pagi, kan?" lanjut Saski. Dena mengangguk. Pembukaan satu, masih bisa ditahan mulasnya, Dena juga diminta mondar mandir di dalam kamar, kalau bosan bisa keluar. Induksi melalui infus juga tak diberikan karena semua masih normal. Pintu kamar terbuka, perawat m
Adim buru-buru berlari menuju ke parkiran bandara, Papa dan Elmer menjemput suami Dena itu yang tampak khawatir, terlihat dari wajahnya yang panik. "Adim!" teriak Elmer sembari mengangkat tangan. Adim berlari, ia tak membawa koper pakaian, ditinggalkan begitu saja di Jambi, biar nanti dititipkan pak Galih, sedikit kurang ajar, tapi pak Galih pun memaklumi. "Ayo cepat, Mas!" perintah Adim. Elmer tertawa, papa yang tetap duduk di dalam mobil hanya terkikik geli. "Dena gimana, Pa?" tanyanya sembari mengatur napas. "Anakmu udah lahir, setengah jam lalu," jawab papa sembari memberikan air mineral botol ke tangan menantunya. "HAH!!" Adim pun melongo. Setibanya di rumah sakit, Adim berjalan kurang bersemangat, ia kecewa karena tak bisa melihat kelahiran putra pertamanya, janjinya meleset. Perasaan sedih di dalam dadanya semakin dekat dirinya tiba di ambang pintu kamar rawat, semakin memuncak. Pintu dibuka papa, Elmer menepuk bahu Adim supaya ikhlas karena tak melihat proses Dena mela
"Ki... Saski tunggu! Kamu kenapa kabur gini?!" panggil Argi saat mengejar Saski yang keluar rumah karena terkejut dengan lamaran dadakan yang sebenarnya udah ketebak. Tapi tetap saja, membuat Saski kesal. "Balik sana ke Jogja! Udah dibilang aku nggak mau nikah sekarang!" tolak Saski. "Iya, aku kan izin ke Kakak kamu, kalau dia restuin, aku langsung ke Papa Mama kamu, Ki. Lagian kita nanri di Jogja, kan, kita pasti sering ketemu, aku nggak mau timbul fitnah! Mas Adim jug--"Saski menghentikan langkah kakinya, ia berbalik. "Mas Adim? Dia yang usulin kamu untuk nikahin aku sekarang? Iya?" Pelototnya. Argi keceplosan, lalu mengangguk. "Kakak kandungmu Tara, bukan Adim, kenapa kamu dengerin Mas Adim terus, sih!?" geram Saski. "Karena sikap Mas Adim sosok Kakak laki-laki yang bisa jadi panutan aku, bukan Mas Tara. Kadang yang bukan sedarah jauh lebih seperti saudara kandung. Saski, kita obrolin di rumah, yuk, sayang...." Nah, mulai nih, si bucin beraksi. "Aku kangen kamu, Sas, kita berap
Dua pasang mata saling menatap, lekat, kemudian helaan napas menjadi pemutus keheningan mereka. "Jadi... mau diundur, Sas?" Argi menatap Saski yang memberikan jawaban dengan anggukan kepala."Aku, mau kerja dulu, Gi. Bukannya mau nolak lamaran kamu, cuma... diundur sampai aku punya pengalaman kerja." Saski mencoba tersenyum, namun sayang, Argi justru menggelengkan pelan kepalanya."Aku nggak larang kamu kerja, Sas. Kamu bisa jalani peras jadi istri, juga berkarir, kita bahkan sepakat nunda punya anak juga, kan?" Argi mencoba meyakinkan Saski kembali."Gi, nikah itu bukan perkara aku, kamu, bersatu. Tapi banyak hal lainnya, bahkan, kebebasan juga nggak bisa sama, mencoba untuk eksplor banyak hal lain juga terbatas. Kamu pikir, apa nikah cuma perkara sesederhana itu? Nggak, kan, Gi? Kegagalan kedua Kakak-kakak kita bisa jadi pelajaran penting untuk kita berdua." Saski beragumen."Dan... apa menurut kamu, aku akan batasi semua yang mau kamu lakuin? Sama sekali nggak, Sas." Argi meraih je
Saski berjalan bersama pria yang menjemputnya, keduanya tiba di lokasi tujuan. Jemari Saski mengusap layar ponsel, sepuluh panggilan masuk dari Argi, dan lima pesan singkat yang belum dibacanya. Saski menghela napas, ia memilih memasukkan ponsel ke dalam tas."Sebelah sini, Sas," ujar pria itu. Saski masuk, lalu semua di mulai.Sementara, Argi yang baru tiba di Jogja setelah menempuh perjalanan dengan pesawat terbang selama beberapa waktu. Tampak kesal juga khawatir. Ia masih ada yang tak biasa dengan sikap Saski."Kamu kenapa sih, Sas, kenapa jadi cuek ke aku gini," kesal Argi. Ia masih berusaha menghubungi Saski dengan ponselnya sambil mendorong troly menuju ke lobi bandara. "Aku tau, ada yang nggak beres sama kamu, please jelasin ke aku," gumamnya lagi. Nyatanya semua percuma, Saski tak menjawab telpon Argi juga.Ia menghentikan taksi, setelah memasukan dua koper besar--karena satunya berisi baju kerja juga baru lainnya yang ia beli di Jakarta--ia segera mengarahkan ke rumahnya. Ru
Argi duduk dengan gusar, keputusannya sudah bulat untuk meninggalkan apa yang ia punya di kota gudeg, kembali ke Jakarta dengan tangan kosong. Ia berhenti bekerja, juga kuliah, sangat disayangkan memang, tapi untuk apa jika hanya ia yang terlihat bahagia diluar namun tersiksa didalam hati. Argi tau mau itu terjadi. Karena belum genap menyelesaikan status kontraknya sebagai karyawan, ia tak mendapatkan tunjangan sesuai yang disepakati, justru Argi terkena pinalty dengan hanya mendapat gaji bulan itu. Tak masalah. Argi menerima dengan lapang dada. Sera yang diberitau kabar itu, ia meminta Argi membiarkan rumah yang mereka sewa, karena beberapa pakaian Sera juga masih di sana. Tak perlu Argi rapikan lalu membawa ke Jakarta. Pandangan Argi menuju ke langit luas, ia tak masalah harus melepaskan impiannya, Saski masa depan yang harus ia jaga dan ia mau, tak ada kata mundur, ia siap melakukan apa saja untuk kekasihnya itu. Argi memutuskan naik kereta, setibanya di Jakarta, segera menuju