Takdir hidup memang tidak ada yang tau,jika memang ditakdirkan untuk menjadi yang kedua, tentulah ada caranya,agar tidak ada yang merasa terdzalimi. jika Islam tidak mengenal karma, percaya lah hukum tabur tuai itu nyata adanya, karena sesuatu yang direbut secara paksa tidak akan pernah berakhir bahagia.karena ada hati yg terluka didalamnya. Perkenalkan namaku Salamah, mungkin sebagian yang tau kisah ku, tidak akan pernah menaruh rasa iba padaku, karena kehidupan rumah tangga ku yang kandas. tapi mungkin ini imbas karena dulu ibu ku merebut ayah dari tangan istri sah nya. dia merampas kebahagiaan seorang istri yang mati-matian mempertahankan rumah tangganya. inilah aku anak dari seorang pelakor.
View More"Bu, aku pergi dulu." Ibu dan ayahku terkejut melihat perubahan penampilanku. "Wah, anak ayah cantik sekali, sudah seperti anak gadis saja," puji ayah. Ibuku langsung tersenyum, "Kan sekarang memang sudah gadis lagi Ayah." Ibu mencoba merubah ucapan ayah menjadi candaan, tetapi Nabil, putraku, dengan sigap menepisnya. "Gadis yang sudah punya anak itu Mama kan, ya Kek?" Tawa bergema di ruangan itu, mengusir kegelisahan yang sempat menghinggap di hati, seperti orang yang sangat dewasa sekali Yahya, aku tidak tau apa dia mengerti dengan ucapannya itu atau tidak.Putraku yang masih kecil, langsung berlari memelukku dan berkata dengan suara gemetar, "Mama cantik." Aku tersenyum melihat semangatnya. "Terima kasih, anakku. Nanti Yahya dan Nabil tinggal bersama Nenek dulu, ya. Karena Mama mau kerja mencari uang banyak, agar bisa membelikan Nabil dan Yahya mainan yang banyak," kataku meyakinkan mereka. Melihat kebahagiaan mereka membuat aku semakin yakin dan bersemangat untuk bekerja ker
Sudah tiga bulan berlalu sejak keguguran yang menimpa diriku, aku telah melewati masa nifasku dan juga masa iddah secara agama. Kini aku menjanda selama tiga bulan lamanya, meskipun belum diurus secara resmi oleh Mas Surya, tapi aku akan mengajukan gugatan sendiri, karena bukti-bukti semuanya sudah aku pegang. Aku mulai berusaha untuk menerima kenyataan yang begitu pahit ini. Berat, tentu saja. Aku merasa terpuruk dan kesepian. Namun, yang paling membuatku tersiksa adalah melihat sikap Nayla saat berpapasan denganku, dia seakan tak punya malu. Dengan mendongakkan kepala, dia seolah bangga telah merebut suami orang lain. Mungkin bagi Nayla, hal ini merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Aku tak habis pikir, mengapa seseorang bisa merasa bangga melakoni hal yang tak benar? Hubungan Nayla dan Mas Surya semakin mesra, mereka bahkan tak sungkan lagi untuk memamerkan kemesraan secara nyata, di depan banyak orang. Tak hanya itu, banyak warga yang mendukung hubungan mereka, mungkin karena
Raut wajahnya berubah drastis, tidak seperti biasanya. Dia menatapku dengan penuh iba. "Aku sudah memaafkan segalanya, Nak. Tak ada yang perlu kau khawatirkan," ujarnya. Semakin dia berbicara seperti itu, aku semakin yakin betapa besar rasa sakit yang dia rasakan, namun sepertinya dia telah berdamai dengan masa lalunya. Aku merasa penyesalan mendalam. "Aku meminta maaf, Bu, atas dosa yang telah dilakukan oleh kedua orang tuaku. Aku mohon ibu bisa memaafkan mereka," tangisku kembali pecah, terharu mendengar ucapan wanita yang memiliki hati malaikat ini. Aku berpikir, bagaimana bisa dia begitu ikhlas memaafkan? Wajahnya juga terlihat jauh lebih muda dari usianya, mungkin karena ibunya Mas Fadlan memiliki hati yang tulus. Aku merenungi, berbeda dengan ibuku yang meski telah menggunakan skincare paling mahal sekalipun, tetap saja wajahnya tidak bercahaya. Apakah ini konsekuensi dari ketidakikhlasan hati yang tak mampu disembunyikan oleh mahalnya produk perawatan? Entahlah, hanya Tuhan
Masih dalam keadaan nelangsa, aku mencoba mengumpulkan keberanian untuk mencari sosok ibunya Mas Fadlan. Aku hanya ingin menemuinya dan minta maaf karena perbuatan orang tuaku, walau aku tahu aku tidak terlibat dalam masalah rumah tangga mereka di masa lalu. "Mungkin dengan melakukannya, aku bisa merasa sedikit lebih lega," gumamku dalam hati, tak peduli apakah ia mau memaafkan atau tidak. "Salamah, kamu mau ke mana?" tanya ibuku yang buru-buru menghampiriku. "Mau keluar sebentar, Bu. Mau membeli sesuatu," jawabku singkat. "Jangan lupa dandan yang cantik, jangan perlihatkan kesedihanmu pada dunia. Kau anak baik dan cantik, tak ada yang harus dikhawatirkan. Apalagi dengan lelaki pengangguran seperti Surya, jangan bodoh," imbuhnya. Aku hanya bisa tersenyum kecut, mendengarkan nasihat darinya. Ingin rasanya kupikir, apakah dulu dia pernah paham bagaimana rasanya menjadi ibunya Mas Fadlan? Kenapa ibuku tidak pernah merasa bersalah atau pun mengakui kesalahan mengerikannya itu?
Ayah dan ibuku duduk di depan tampak saling berpandangan, seperti mencari jawaban tentang apa yang terjadi. Bibi berusaha menenangkanku, namun hatiku masih terasa panas. "Sudah, Nak, jangan..." ucap Bibi pelan."Tapi, Bi, mereka harus sadar bahwa selama ini kejahatan yang mereka lakukan pada orang lain berdampak pada hidupku," kataku sambil mengejapkan air mata yang menggenang. "Lihat sendiri bagaimana hidupku menjadi begini gara-gara ulah mereka."Ayahku yang mendengar itu langsung membentakku dengan wajah memerah. "Diam kamu! Kamu pikir ayah ibu ini pendosa? Apa kamu menyesal memiliki kami sebagai orang tua?" katanya dengan penuh amarah. Entah apa yang mendorongku berkata begini, tapi hatiku berkobar dan suaraku gemetar. "Kalau memang iya, kenapa? Aku lebih baik tidak dilahirkan di dunia ini daripada memiliki orang tua seperti kalian. Ayah bukan sosok yang pantas disebut laki-laki yang baik, menelantarkan anak istri dan menikah dengan ibu!" Tiba-tiba, Nabil dan Yahya memeluk Bibi
Semalaman aku tidak bisa tidur, hati ini rasanya remuk redam. Aku bertanya-tanya, apakah mati bisa menjadi solusi? Mungkin jika itu bisa menghapus semua derita ini, aku sudah tidak ada lagi di dunia ini. Dalam kegelapan, aku membuka layar handphone, menggulir foto-foto Nabil dan Yahya. Terbayang di sana betapa lucu dan menggemaskan mereka waktu masih bayi, dan Mas Surya yang memeluk mereka dengan penuh rasa bahagia. Aku menahan isak dalam hati, merindukan masa-masa indah itu, merindukan keharmonisan keluarga kecilku dulu. Namun, kini semua itu hanya tinggal kenangan, bagai mimpi yang sirna. Aku harus menelan pil pahit karena tak mampu mempertahankan segalanya, terombang-ambing di derasnya ombak kenyataan. Ah, mengapa Mas Surya harus berubah hingga tak mencintaiku lagi? Mengapa hatinya memilih jauh dariku? Dalam kesunyian, terlihat Bibi masih tertidur di bawah ranjangku. Rasa cinta pada anak-anakku semakin membara. Saat ini yang aku inginkan hanyalah segera pulang menemui kedua putra
Aku mencermati wajah lelaki itu yang penuh ketegaran, tapi dalam benakku terus muncul pertanyaan mengapa ayah dan ibu tidak pernah menceritakan tentang dia, bahkan fotonya saja tidak ada di rumah. "Mengapa mereka tidak pernah menyebutkannya? Seharusnya ayah dan ibu bangga karena memiliki anak yang sukses dan berani dengan seragamnya." Pikirku penasaran. "Kamu jangan khawatir, Mas pasti akan menghajar wajah laki-laki yang membuat kamu seperti ini." Ucapnya dengan tegas, membuatku tersenyum bahagia. Rasanya aneh, namun aku merasa lega karena ternyata memiliki seorang kakak laki-laki yang bisa melindungiku. Namun, masih banyak pertanyaan yang ingin kuhantarkan padanya. Tak lama kemudian, dokter masuk bersama ibuku, sehingga kami tidak bisa melanjutkan obrolan lagi. Ibuku terlihat tergesa-gesa dan sangat cemas, bahkan tak berani menatap laki-laki muda ini. Aku merasa ada sesuatu yang disembunyikannya dariku. "Kemungkinan besok sudah boleh pulang, kita observasi dulu malam ini, jika
Aku langsung menoleh ke arahnya, namun perempuan yang melontarkan ucapan tersebut dengan segera menutup mulutnya. Nayla bergegas masuk ke dalam rumah dan berteriak, "Lihat saja, aku akan merebut apa yang seharusnya menjadi milikku!" Ibu Nayla, dengan wajah penuh simpati, menghampiri dan berkata, "Sebaiknya kau pulang saja dulu, Nak. Bawa anak-anakmu ke rumah orang tuamu, bicarakan masalah ini baik-baik." Mendengar itu, aku pun menangis. "Tapi, anak Ibu sudah merusak rumah tanggaku. Mengapa dia tak bisa menjauh dari hidupku? Kenapa dia harus merebut suamiku? Apa dia tidak bisa mendekati laki-laki lain saja, yang sebaya dengannya? Kenapa harus suamiku, Bu?", aku merasa bahwa segala kebahagiaan yang aku raih selama ini hancur seketika karena sikap Ibu dan anakny.Di lubuk hatinya, Salamah ingin melawan dan membela diri, namun hati kecilnya juga menjerit agar jangan sampai menyerah begitu saja. "Aku harus menghadapi kenyataan ini," gumamnya sembari menyeka air matanya. "Tidak pedu
Wajah Mas Surya mulai berubah, sepertinya ia merasa tidak nyaman dengan pertanyaan ibuku. Hal itu membuatku semakin cemas, karena aku tahu, akibatnya nanti akan kembali menimpa diriku. Aku merasa takut, apa jadinya jika Mas Surya melampiaskan kekesalannya padaku? "Lalu kenapa wajahmu itu memar Salamah?" tanya ibuku, saat ia mendekat dan melihat bekas memar yang masih terlihat di wajahku, meski hanya sedikit. Bahkan, tampak pula bekas pukulan baru di dekat bibirku. "Tidak apa-apa Bu, tadi aku jatuh di kamar mandi," jawabku, berusaha mengalihkan perhatian ibuku. Aku lalu memanggil Nabil dan Yahya yang masih bermain di kejauhan. "Ayo Nabil, Yahya, kita pulang. Lihat, Papa juga sudah di sini." Namun, Nabil menjawab dengan tegas, "Tidak mau pulang, nanti Papa jahat lagi sama Mama. Papa jahat, Nek. Nabil nggak mau pulang, mau tinggal di sini saja." Perasaan campur aduk merasuki hatiku. Apakah aku seorang istri yang buruk, sehingga membuat Mas Surya melampiaskan kemarahannya padaku? A
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.