Arrgghh andai saja dia bukanlah calon mertuaku sudah pasti aku akan menutup mulutnya pakai lakban atau menyumpal nya dengan kertas. Wanita ini ternyata benar-benar tak semudah yang kubayangkan untuk mendapatkan hatinya. Tapi aku memilih diam saja, tidak bicara apalagi menanggapi sindirannya itu. aku hanya terus berpura-pura mempercepat pekerjaanku membereskan berkas-berkas itu."Iya Ibuku sayang, mana mungkin Sultan berani macam-macam, Sultan gak tertarik dengan siapapun di sini, Sultan hanya mencintai menantumu itu saja, justru Sultan memanggil Mila kesini untuk membicarakan masalah Nila, Sultan meminta Mila agar dia mengatur ulang jadwal rapat, Sultan berniat akan pergi ke Jawa dan menyusul Nila ke sana.""Bagus, memang itu yang Ibu harapkan, pergilah, Nak, pastikan istrimu itu baik-baik saja di sana, entah kenapa Ibu sangat khawatir, perasaan Ibu juga gak tenang dan cemas sekali rasanya. Beberapa kali ini Ibu juga mimpi buruk soal Nila, entahlah tapi Ibu harap Nila baik-baik saj
"Kalau begitu gimana kalau saya ke rumah Bapak, sekarang? Ibu mungkin sedang butuh bantuan untuk menyiapkan sarapan, istri Bapak belum pulang juga 'kan?""Oh enggak, gak usah, di rumah saya ada banyak pegawai," tolaknya.Aku mengerling bebas lalu bergeming sebentar.Kamu boleh menolakku sekarang Bani Azhar, tapi tidak lama lagi efek obat itu akan berreaksi dan akan membuatmu pasrah padaku."Ya sudah saya permisi, Pak."Bani Azhar mengangguk sambil terus memegangi kepalanya.Belum juga kaki ini sampai di dekat pintu ....Brukk. Gedebussshh.Bani Azhar pingsan. Bergegas aku kembali ke arahnya."Kamu bandel sih sayang, makanya aku main sedikit kasar. Maaf ya," bisikku di telinganya.Setelah ku pandangi setiap inci wajahnya yang tampan bak raja itu, aku segera menelepon bagian security agar membantuku membawanya ke dalam mobil."Eh ya ampun Bapak kenapa ini, Mbak?" tanya sang sopir panik."Pingsan, ayo bawa kami pulang."-Aku duduk di jok belakang bersama Bani Azhar."Enggak ke rumah sak
Saat aku sedang mencoba menormalkan diri, Bani Azhar mulai tersadar. Segera aku bangkit dan duduk di sampingnya."Pak."Kening Bani Azhar sontak mengerut."Kamu di sini Mil?" tanyanya lemah."Jangan banyak tanya dulu Pak, ayo diminum dulu air nya."Butuh waktu agak lama untuk Bani Azhar benar-benar membuka matanya dan meraih air dariku. "Saya ada di mana ini?" tanyanya dengan kepala dan mata yang tampak berat."Bapak ada di rumah, Pak.""Di rumah? Bukannya saya tadi di kantor?""Iya, Pak, saya yang membawa Bapak pulang, tadi Bapak pingsan di kantor, karena sudah menunggu lama gak sadar-sadar, saya khawatir, saya pikir istirahat di rumah akan membantu Bapak cepat sadar dan pulih."Bani Azhar mencoba bangun."Tapi saya harus kerja Mila, ada banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan.""Bapak enggak usah pikirin soal kerjaan, biar semua itu saya yang handle, sementara Bapak istirahat aja dulu di rumah."Bani Azhar tak banyak bicara lagi, ia kembali membaringkan bobotnya."Kenapa kepala
Selesai menelepon aku pun melelapkan diri sebentar. Niat hati ingin menghilangkan penat sedikit tapi aku malah menyesal.Bagaimana tidak? Di dalam mimpi aku kembali didatangi Nila, ia tengah terisak-isak dengan air mata yang bersimbah darah.Kemudian ia melambai ke arahku dengan sorot mata yang menghujam. Sebelah kakinya putus dan sebelah lagi tampak menggantung dari tanah.Napasku tercekat rasanya, aku ingin berteriak namun entah kenapa tenggorokanku seperti dihalangi sesuatu. Dan semakin aku mencoba ingin lari kakiku terasa semakin berat seperti terbelenggu sesuatu.Perlahan dengan langkah melayang ia berjalan ke arahku dan ... brak, secepat kilat leherku dicekiknya hingga aku terengah-engah."Nil-la, amp-pun."Nila tak bersuara, cengkraman tangannya yang sedingin es di leherku malah makin kuat dan menjadi."Nilaaaa!" Aku tersentak bangun dengan keringat yang sudah membasahi seluruh tubuhku.Kupegangi leher yang tadi dicekiknya, ternyata ada terasa dingin seperti es. Aneh, padahal a
"Terus siapa yang ngurus ibunya?""Ada Mae dan Ibu juga yang akan membantu mengurusnya, lagipula sekarang Aminah 'kan udah semakin membaik sejak operasi cangkok ginjal nya dilakukan."Aku menarik napas berat. Sial, setelah dia mendapatkan apa yang dia mau sekarang si Sarah malah pergi. Enak sekali hidupnya itu.Apa dia gak mikir kepergiannya itu akan mengancam keselamatan aku dan dirinya juga?Kalau dia sekarang sudah enggak ada di desa lalu untuk apa juga aku pulang? Di mana sekarang anak itu? Aku juga tidak bisa menelponnya sama sekali."Ada apa, Nak?" tanya Ibu lagi. Aku mengerjap dan membuyarkan kekesalan "Enggak apa-apa, Bu, Mila cuma kaget aja denger Sarah sekarang udah merantau ke luar." "Ya begitulah, anak itu keras kepala banget, walaupun kakak angkatnya udah nyuruh Sarah tetep diem di rumah tapi dia bersikeras, katanya kalau dia gak kerja sekarang gak ada lagi yang akan menghidupi dia dan ibunya itu."Aku menggigit bibir sedikit. Anak itu nyari kerja aja kenapa mesti di
Brukk. Bi Aminah didorong ibu hingga terjatuh ke atas kasur. Dan sejurus kemudian Bi Aminah seperti tersentak, ia langsung memegangi kepalanya."Masitah kamu di sini?" tanyanya lemah.Aku dan ibu saling melirik dengan wajah tegang.Ibu lalu merunduk."Aminah, kamu baik-baik aja?""Emangnya aku kenapa? Ya tentu aku baik, Tah.""Tapi tadii ... tadi kamu ...." Ibu kebingungan."Aku kenapa?""Tadi kamu nyekik anakku Nah, kamu minta pertanggungjawaban sama ank saya, maksudnya apa?"Bi Aminah terperangah."Masa sih? Aku gak inget Tah.""Iya bener."Malam itu seperti biasa aku melewati malam-malam yang panjang dan menyeramkan lagi sampai aku tidak bisa tidur dengan benar selama aku di rumah ibu.Setiap malam bayangan Nila selalu menghantuiku dan sekalinya aku bisa memejamkan mata Nila akan datang dalam mimpi.Argghh. Andai kalau bukan untuk menyelesaikan masalah penting aku pasti sudah enyah dari rumah ibu."Mil, kamu masih lama 'kan di sininya?""Emm rencananya sampai hasil surat autopsi it
"Mil, kepala saya kenapa pusing lagi?"Bani Azhar mulai memegangi kepalanya, segera kupapah dia keluar kantor."Kita pulang saja, Pak."Aku bergegas memasukan Bani Azhar ke dalam taksi online yang sudah siap sejak tadi.Untunglah Pak Anwar juga tak ada di depan kantor, hanya ada beberapa karyawan saja yang melihat kami.---"Astagfirullah, ya Allah."Bani Azhar melonjak kaget ketika ia tersadar. Aku ikut mengucek mata dan berpura-pura bangun dari tidur."Ya ampun Bapak, apa ini? Apa yang sudah Bapak lakukan?" Aku bertanya dengan wajah cemas dan tegang.Semampunya aku harus bisa menjebak Bani Azhar dan membuatnya tersudut hari ini."Anu itu Mil ... anu." Bani Azhar mulai kebingungan, wajahnya berubah pias dengan mulut tergagap."Saya juga bingung kenapa saya ada di sini?" katanya lagi."Tadi Bapak minta diantarkan ke hotel karena mau istirahat tapi saya bingung apa yang terjadi setelah itu? Kenapa kita ...?" Aku menutup mulut dan mulai terisak kemudian menelungkupkan wajahku pada lut
"Ibu tenang saja Bu, misalnya Bani Azhar nanti terbukti bersalah, Mila ikhlas, asal bayi yang tumbuh di rahim ini sudah jelas punya bapak.""Itu betul, Bu," sahut Bapak lagi.Ibu pun memegang kepalanya yang tampak berat kemudian menyeka air matanya yang tak kunjung reda."Ibu bingung, sedih dan marah, kenapa takdir harus membawa kita pada keadaan seperti ini? Kemarin Ibu benar-benar dibuat shock dengan kepulangan Nila yang sudah tak bernyawa dan sekarang kamu ...?""Sudahlah Bu, jangan sampai semua ini terdengar oleh orang lain."Ibu mendesah kesal lalu masuk ke dalam kamarnya. Sementara aku juga bangkit ke dapur."Mila." Bapak menarik lenganku lagi."Apa sih?""Dari kemarin Bapak ingin bertanya," katanya serius.Aku mengerling malas."Apa?""Soal luka lebam di tubuh Nila dan soal kedatangan Nila yang tiba-tiba sudah ada di sini, katakan, apa yang sebenarnya terjadi? Dan apa ini? Tiba-tiba kamu akan menikah dengan Bani Azhar? Apa kamu sudah gila?"Aku mendelik tak suka, bisa-bisanya b