“Bagaimana Mas Satya? Apakah urusannya belum juga selesai?” Pak Rama mencoba kembali mencairkan suasana. Aku menarik napas yang terasa berat. Jangankan mengetahui kapan kepulangannya. Bahkan dia tak pernah mencoba menghubungiku sekalipun. Anehnya, dia pun tak pernah menghubungi Bintang. Apakah urusannya teramat menyita waktu lelaki itu hingga tak sempat berkabar dengan anakku? Beruntung Bintang tak pernah menanyakan lagi kabar Satya. Biarlah dia belajar menerima hidup ini dan mengelola emosinya dengan baik. “Terakhir menghubungi saya dua hari kemarin. Sepertinya dia memang tengah sibuk sekali,” lanjut Pak Tama yang perkataannya sudah membuatku tak tertarik untuk larut dalam pembicaraannya. Kurasa aku harus segera menyudahi pembicaraan kali ini. Aku tak mau membahas lebih jauh mengenai Satya. Apalagi saat membayangkan Satya otomatis ingatanku langsung tertuju ke wajah cantik Andira yang saat itu pun didekap Satya penuh kehangatan. Tidak. Selama ini aku sudah membatasi hubunganku de
“Ayah menemuimu?” Giandra memulai pembicaraan kami dengan pertanyaan itu. Kedua alis lelaki itu nampak berkerut, membingkai kedua mata yang menatapku penuh permohonan. Dia tak bisa menyembunyikan wajahnya yang sendu. “Ndu,” panggilnya setelah sekian lama aku terdiam. Entah bagaimana menjawab pertanyaan lelaki yang kali ini memakai hem warna putih tulang yang dipadukan dengan celana kain berwarna krem. Tak berapa lama, tangannya bergerak hendak meraih tanganku yang bertaut di atas meja. “Jangan melewati batasanmu, Gi!” Astaga. Aku benci sekali dengan bibirku kali ini. Panggilan yang memang khusus aku berikan untuk lelaki ini. Aku mendengkus kesal. Justru berbalik dengan raut wajahnya yang mendadak berbinar dan bersemu merah. “Akhirnya aku bisa mendengar panggilan itu lagi setelah sekian lama. Terima kasih,” ucapnya penuh ketulusan. Aku tak bisa lagi menatap wajah di depanku. Aku hampir kehilangan harga diri karena terpancing tingkah nekatnya yang hendak meraih tanganku. Hingga tan
Aku hampir menubruk tubuh anakku sesaat setelah menjejakkan kaki di dalam rumah. Hingga pemandangan di depan mataku menghentikan laju gerak tubuhku. Dengan mata kepalaku sendiri kulihat Bu Pertiwi menyuapi anakku dengan mangkuk keramik di tangannya. Aku tercekat. Hampir saja aku meraih mangkuk itu dan menyingkirkannya jauh jika tak melihat wajah Bintang yang tampak antusias dengan keberadaan wanita itu di sisinya. “Mama,” seru Bintang yang sudah menyadari keberadaanku. “Ada Nenek,” tunjuk anak lelakiku pada wanita yang duduk di sebelahnya. Sebaris senyum yang sempat kulihat perlahan mulai tertarik dari bibirnya. “Sini, Ma. Nenek bawa bubur ayam buat Bintang,” lanjut Bintang sambil menarik tanganku untuk duduk di sebelahnya. Aku tak bisa menolak. Terpaksa aku bersisian dengan Bu Pertiwi meski dengan hati yang berkecamuk hebat. Terlebih mengingat bagaimana kesombongan Pak Prihandono padaku. “Nenek juga bawa mainan untuk Bintang.” Bintang meraih dus mainan yang kutebak isinya adalah
Sepasang mata itu menatap nyalang ke arahku dan Bu Pertiwi. Aku mengusap wajahku kasar. Rasanya aku sudah kehilangan daya untuk meladeni kemurkaan Aluna yang sudah siap menyembur. Kulihat wajah Bu Pertiwi yang sedikit menegang. Hanya saja tak ada kegentaran yang begitu kentara. “Bu, perlukah Ibu kuingatkan apa yang bisa orangtuaku lakukan jika mereka tahu anaknya diperlakukan securang ini oleh Ibu dan Mas Giandra?” Suara Aluna terdengar pelan namun penuh penekanan. Bahkan sikapnya itu menunjukkan dirinya sedang mengintimidasi mertuanya. Wanita itu duduk tanpa kupersilahkan. Bahkan yang membuatku terheran, kakinya langsung disilangkan tanpa rasa segan sedikit pun di depan sang mertua yang kali ini lebih memilih mengalihkan pandangan ke arah lain. “Kita sudah membahasnya kemarin. Apakah Ibu lupa? Atau…perlu kupanggil Ayah mertua kemari? Bukankah kemarin kita sudah sepakat…”“Bukan aku yang sepakat, tapi kau dan suamiku!” Suara Ibu bergetar. Aku hanya diam melihat pertikaian yang mula
Minggu pagi ini aku sengaja meliburkan diri dari sekian banyak aktivitasku di restoran dan kafe. Kuhubungi orang-orang kepercayaanku di sana. Pak Rama yang sebenarnya hari ini meminta waktu untuk bertemu pun terpaksa kugagalkan. Aku benar-benar menginginkan waktu intens bersama Bintang. Anakku itu pun amat antusias saat aku mengatakan padanya hari ini ibunya sengaja mengosongkan waktu demi menemaninya berjalan-jalan di sebuah perbelanjaan ternama di kota ini. Mbak Tini pun sudah kuminta untuk libur dan kuizinkan dia pulang ke rumahnya untuk bertemu keluarganya. Dia yang tulang punggung keluarga sama sepertiku pun butuh kebersamaan dengan keluarga dimana kebahagiaan mereka pun tengah diusahakannya. Senyum wanita itu tak pernah lepas saat membantu anakku memakai pakaian yang sudah kusiapkan untuk menghabiskan waktu di luar. Bibirnya tak berhenti merapalkan petuah panjang lebar untuk putraku. Aku tersenyum geli. Wanita itu bahkan sepertinya lebih cerewet dari yang kukira. Mungkin ked
Pertemuan Dengan Lelaki Asing Kutatap lekat-lekat anakku yang lahap menyantap ayam tepung di salah satu gerai makan siap saji. Tadinya aku ingin mengajak Bintang ke tempat lain yang sudah kurekomendasikan dan awalnya dia setuju, tetapi saat indra penciumannya menghirup aroma gurih dari makanan tersebut akhirnya pilihannya berbalik. Rasanya sudah lama sekali aku tak menghabiskan waktu santai seperti ini bersamanya. Ada rasa sedih, namun ketika teringat bahwa semua yang kulakukan adalah untuk kebahagiaannya membuatku cukup menerima keadaan yang harus kujalani ini. Jika bukan aku yang mengusahakannya, maka siapa lagi?“Mbak Rindu?” Aku menoleh cepat. Ternyata Pak Rama, dengan seorang wanita yang kutaksir adalah istrinya. Aku mencoba beramahtamah dengan wanita itu dengan mengulurkan tangan ke arah wanita itu.“Saya Kemala, istri Mas Rama,” ucapnya dengan senyum yang mengembang. Ini kali pertama kami bertemu setelah sekian waktu mengenal investor pembangunan kafeku itu. Kukenalkan dir
Deg. Om Satya lagi?Kenapa anakku mendadak aneh seperti ini?Apakah kehilangannya akan sosok itu membuatnya berhalusinasi?“Bintang…Jangan ngomongin Om Satya terus. Nanti kalau urusannya selesai juga pulang. Bintang doakan Om Satya ya.” Aku mengusap lembut kepala anakku. Ada rasa miris, namun buru-buru kuhentikan laju perasaanku agar tak makin berlanjut. “Sepertinya Bintang sangat dekat dengan Pak Satya,” ujar Mbak Kemala dengan cukup hati-hati. Aku hanya menimpalinya dengan senyum karena memang tak tahu harus menjawab dengan jawaban seperti apa. Bintang dan Satya bagai dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Bunyi dering ponsel Mbak Kemala membuatnya segera meraih benda pipih itu. Aku masih sempat melihatnya menampilkan raut wajah aneh, namun buru-buru kualihkan tatapanku ke arah ponsel yang juga berbunyi menandakan sebuah pesan masuk ke dalam sana. Sebuah pesan dari Putri, salah satu pegawai yang membantuku di kafe. [Mbak, ada Mbak Andira. Dia nyari Mbak R
Kucermati barisan tulisan yang tertera dari laporan keuangan yang disodorkan padaku. Mataku membesar seiring angka-angka bernilai fantastis itu seolah meluruhkan rasa lelah yang akhir-akhir ini hampir membuat tubuhku tumbang. Rasanya aku hampir tak percaya bahwa pencapaian bulan ini benar-benar melampaui target penjualan. Kedatangan beberapa foodvlogger nampaknya berpengaruh cukup signifikan dengan penjualan produk baik di restoran maupun kafe yang baru buka satu bulan yang lalu itu. Meski harus ada sedikit drama karena beberapa pelaku industri digital itu yang didominasi anak muda itu harus diperlakukan bak raja. Namun tak masalah, selagi permintaan mereka masuk akal dan tetap menerapkan sopan santun aku pun tak keberatan. Beberapa dari mereka sudah kutandai, bahkan mereka yang juga terkesan dengan makanan di kedua tempat usahaku ini tanpa ragu memberikan review cukup memuaskan sesuai harapanku. “Mbak. Ada tamu,” ucap Putri sesaat setelah ketukan pintu terdengar. Aku mengingat-in